Senin, 24 Maret 2014

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH




A.   Pendahuluan
Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan, yaitu pertama : Potensi psikologis dan paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat mulia melebihi makhluk-makhluk lainya.
Kedua: Potensi pengembangan kehidupan sebagai khalifah dimuka bumi yang dinamis dan kreaktif serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang ijtimaiyah, dimana Tuhan menjadi potensi sentral perkembangannya.[1]
Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut ke dalam pribadi manusia diperlukan upaya kependidikan yang sistematis dan terencana dengan baik sehingga dapat menghasilkan pribadi manusia yang berkualitas yaitu manusia atau peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.[2]
Sebelum Nabi Muhammad SAW memulai tugasnya sebagai Rasul yaitu : melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya. Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna melalui pengalaman, pengenalan, serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan, dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat tetapi tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya.[3]
Dalam sejarah pendidikan Islam, Nabi Muhammad SAW mulai menerima wahyu dari Allah SWT sebagai petunjuk dan instruksi untuk melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun yaitu pada tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriyah (6 Agustus 610 M)petunjuk dan Instruksi tersebut.[4] Yang berbunyi :






ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$#$tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Artinya :
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah demi Tuhanmu yang paling pemurah, yang mengajar dengan perantara kalam, yang mengajar manusia apa-apa yang tidak ia ketahuinya “. (QS. Al-Alaq : 1-5).[5]

Kemudian disusul dengan wahyu yang kedua, berbunyi :
$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ tô_9$#ur öàf÷d$$sù ÇÎÈ Ÿwur `ãYôJs? çŽÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ šÎh/tÏ9ur ÷ŽÉ9ô¹$$sù ÇÐÈ
Artinya :
“Hai orang-orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah untuk memberi peringatan (kaummu)! Dan agungkan (nama) Tuhanmu! Dan bersihkan pakaianmu! Dan tinggalkan perbuatan dosa (berhala)! Jangan engkau memberi, untuk mendapatkan (balasan) yang lebih banyak! Dan sabarlah (menurut perintah) demi Tuhanmu!” (QS. Al-Mudatsir : 1-7).[6]

Perintah dan petunjuk tersebut pertama-tama terjadi kepada Nabi Muhammad Saw tentang apa yang harus dilakukan. Baik terhadap pendidikan diturunkan secara beransur-angsur sedikit demi sedikit, setiap menerima wahyu, segera beliau sampaikan kepada umat diiringi penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh bagaimana pelaksanaannya.
Disamping itu, Nabi Muhammad SAW telah mendidik umatnya secara bertahap, ia mulai dari keluarga dekatnya, yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi mulai diajak istrinya Khadijah dan kemudian diikuti anak angkatnya Ali Bin Abi Thalib (anak pamanya) Zaid bin Haritsah (seorang pembantu rumah tangganya, dan kemudian kepada sahabat karibnya Abu Bakar Siddiq dan lain-lain, mereka disebut sebagai Al-Sabiquna Al-Awwalun).
Pada tahap awal pusat kegiatan pendidikan Islam tersebut diselenggarakan secara tersembunyi di Rumah Arqam sebagai markas pusat pendidikan bagi kaum muslimin. Rumah Arqam terletak di Bukit Shofa yang letaknya sangat baik terlindung dari penglihatan kaum Quraiys sehingga akan memberikan keamanan dan ketenangan kepada kaum muslimin yang sedang mengadakan kegiatan dan pertemuan untuk menerima pelajaran atau wahyu yang disampaikan Rasulallah pada saat melakukan shalat.[7] Sampai lebih dari tiga tahun sampai akhirnya turun petunjuk dari Allah SWT, agar Nabi memberikan pendidikan dan seruannya secara terbuka.
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚ̍ôãr&ur Ç`tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÒÍÈ         
Artinya : “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. (QS. Al-Hijr : 94).[8]

Dengan turunnya perintah tersebut, maka mulailah Muhammad SAW memberikan pengajaran kepada umatnya secara terbuka dan meluas bukan hanya dilingkungan kaum keluarga penduduk makkah, yang datang dalam rangka ibadah haji dan berdagang. Kegiatan pendidikan/dakwah dijalankan tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih, hasil yang diharapkan mulai terlihat sebab ajakan dan pendidikan Nabi Muhammad SAW penuh kasih sayang dan lemah lembut.[9]
Kebutuhan prioritas pendidikan pada masa itu adalah penanaman dan penumbuhan akidah tauhid yang berproses selama 10 tahun pada periode Makkah, kemudian disusul dengan pembinaan masyarakat dalam praktik ibadah pada periode madinah selama 13 tahun lebih.[10]

B.   Pendidikan Islam Pada Masa Rasulallah SAW
Pelaksanaan pembinaan pendidikan Islam pada zaman Nabi tersebut dapat dibedakan menjadi dua tahap, yaitu : Pertama : Fase Makkah, sebagai fase awal pembinaan pendidikan Islam, Makkah sebagai pusat kegiatannya, dan Kedua : Fase Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan pendidikan Islam dengan madinah sebagai pusat kegiatannya.
1.    Pelaksanaan Pendidikan Islam di Makkah
Allah SWT telah mempersiapkan pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul pilihannya yang utama, pendidik dan pembina utama yang diamatkan oleh Allah untuk menyebarkan risalah Islam sebagai jalan dan pedoman hidup manusia seluruh alam. Nabi Muhammad Saw dikenal sebagai sosok yang lembut, tawadhu, prilaku yang konsisten, istiqomah, amanah, dan akhlaknya yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin yaitu ’Aisyah bahwa sesungguhnya  Rasulallah adalah : كَانَ خُلُقِ الْقُرْأَنْ  (akhlak beliau adalah al-Qur’an) dalam seluruh aspek kehidupan beliau adalah aplikasi dari ajaran al-Qur’an yang menuntun umatnya ke jalan yang lurus dan benar.
Risalah adalah bagan pendidikan yang Allah SWT sediakan bagi manusia. Rasul adalah pilihan Allah yang menerima wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan apa yang telah diwahyukan kepadanya. Risalah secara umum dihadapkan untuk membimbing manusia agar beriman kepada Allah dan hari akhir, serta kebaikan dalam berinteraksi antara sesama manusia.[11]
Awal terjadinya pendidikan Islam semenjak Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah di Kota Makkah, beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto type yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan pada zamannya.[12] Pendidikan Islam mulai dilaksanakan Rasulallah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau menyeru kepada Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an.[13] dan penulis sudah menyajikan ayat tersebut sebagaimana diawal pendahuluan.
Dalam usahanya Nabi Muhammad SAW menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim, Muhammad menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat sekitarnya. Diantara tradisi yang terdapat dikalangan masyarakatnya, yang rupanya warisan Ibrahim adalah tradisi bertahannus, yaitu suatu cara menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan bertahannus dan berdo’a mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Muhammad pun sering melakukan tahannus ini untuk mendapatkan petunjuk dan kebenaran dari Tuhan.[14]
Hal ini beliau lakukan karena melihat situasi masyarakatnya yang semakin jauh dari prinsip-prinsip kebenaran. Muhammad memutuskan untuk banyak melakukan kontemplasi. Orang muda yang pada zamannya dijuluki al-Amin (terpercaya) ini ingin mendapatkan jawaban tentang situasi dan nasib manusia. Renungan yang mendalam tentang apa yang terjadi pada masyarakatnya itu membuat dadanya sesak dan punggungnya terasa penuh beban. Orang muda yang banyak berkontemplasi ini akhirnya diamanahi Allah SWT untuk menjadi Nabi dan Rasul Allah. Penunjukannya sebagai Nabi ditandai dengan turunnya wahyu Illahi ketika berada di Gua Hira.[15] tepatnya saat beliau berusia 40 Tahun.[16] Disanalah beliau mendapatkan apa yang dicarinya yaitu kebenaran dan petunjuk yang berasal dari Allah. Disana pulalah Muhammad dilantik oleh Allah untuk menjadi Rasul, menjadi pendidik bagi umatnya.[17] Adapun wahyu pertama yaitu :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ
Artinya:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah demi Tuhanmu yang paling pemurah, yang mengajar dengan perantara kalam, yang mengajar manusia apa-apa yang tidak ia ketahuinya “. (QS. Al-Alaq : 1-5).[18]

Sebelum ini telah dikemukakan bahwa wahyu diterima Muhammad SAW dengan amat berat. Dikali pertama, menurut penuturan Nabi SAW sendiri, beliau dirangkul sedemikian keras oleh Malaikat Jibril sehingga beliau mencapai puncak keletihan. Beliau diperintahkan oleh Malaikat Jibril agar membaca ”Iqra” bacalah! Kata Jibril. Nabi Muhammad Saw menjawab ”ma ana biqooriin” aku tidak dapat membaca.
Setelah tiga kali diperintahkan demikian, barulah beliau berucap ”apa yang harus saya baca”. Lalu Jibril menyampaikan lima ayat pertama dari firman Allah pada surat al-’Alaq itu.
Sementara para pakar berkata bahwa rangkulan yang demikian keras dan selama tiga kali itu untuk menekankan pentingnya kandungan perintah, dalam hal ini membaca, dan pentingnya peristiwa yang terjadi atas beliau itu. Sejak saat itu hingga bertahun-tahun kemudian terjalinlah hubungan antara langit dan bumi yang selama sekian ratus tahun terputus.
Syaikh al-Buthi mengemukakan bahwa apa yang dialami itu merupakan ”kejutan bagi Nabi Muhammad Saw” karena tidak pernah terbayang dalam benak beliau bahwa beliau akan ditugaskan menjadi seorang Nabi dan Rasul, dan bahwa wahyu itu bukanlah sesuatu yang bersumber dari dalam diri beliau, tetapi itu semata-mata informasi yang datang dari luar diri beliau. Pelukan Malaikat yang demikian keras dan terulang tiga kali bertujuan menekankan sumber luar itu. Rasa takut itu juga membuktikan bahwa sumber peristiwa tersebut bukan dari dalam diri beliau, karena yang ini tidak menimbulkan rasa takut, apalagi perubahan air muka. Tidak ada kiatan yang erat antara pemikiran dan renungan dengan rasa takut mendadak. Demikian lebih kurang Said Ramadhan al-Buthi dalam sirahnya.[19]
Metode yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad SAW adalah personalisasi berdasarkan pendekatan personal individual, kemudian meluas ke arah pendekatan keluarga yang pada gilirannya meluas ke arah pendekatan sosiologis (masyarakat). Pendekatan personal, keluarga, dan masyarakat tersebut merupakan proses ke arah pendekatan sistematik yang memandang bahwa orang perorang merupakan bagian dari unit keluarga, sedangkan keluarga menjadi subsistem masyarakat, dan masyarakat semakin berkembang menjadi makro-sistem dalam bentuk negara.[20]
a.    Pendidikan Tauhid DalamTeori dan Praktek
Pendidikan/ajaran Tauhid yang intisarinya adalah bagaimana dalam surat al-Fatihah : 1-5 pokok-pokonya adalah :
1)    Bahwa Allah adalah pencipta alam semesta dan yang sebenarnya di Atas satu-satunya yang menguasai dan mengatur alam ini.
2)    Bahwa Allah telah memberikan nikmat memberikan segala keperluan bagi semua makhluknya
3)    Bahwa Allah adalah Raja hari kemudian yang memberikan pengertian bahwa segala amal perbuatan manusia sewaktu di Dunia akan diperhitungkan disana sebesar biji sawi
4)    Bahwa Allah adalah sesembahan yang sebenarnya, yang satu-satunya hanya kepada Allah segala betuk pengabdian ditujukan. Bahwa Allah adalah penolong segala-galanya.[21]
5)    Bahwa Allah sebenarnya yang membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh dengan rintangan, tantangan dan godaan.[22]

Mahmud Yunus mengatakan bahwa pembicaraan pendidikan Islam pada masa makkah meliputi :
1). Pendidikan keagamaan.
2). Pendidikan akliyah dan ilmiah.
3). Pendidikan akhlak dan budi pekerti.
4). Pendidikan jasmani (kesehatan).[23]

b.  Pengajaran Al-Qur’an di Makkah
Al-Qur’an adalah merupakan intisari dan sumber pokok ajaran Islam. Yang disampaikan kepada manusia terbaik, Nabi terbaik, dan Rasul termulia, Muhammad SAW. Orang muslim menyakini bahwa Al-Qur’an kitab yang mengandung Undang-undang Rabbani terbesar. Allah SWT yang menurunkannya menjamin bahwa orang yang mengambilnya, pasti akan bahagia di kehidupan dunia dan akherat.[24] Tugas Muhammad disamping mengajarkan Tauhid juga mengajarkan al-Qur’an kepada umatnya, agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya dan warisan ajaran secara turun menurun menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum muslimin sepanjang zaman.[25]
2.    Pelaksanaan Pendidikan Islam di Madinah
Kedatangan Nabi Muhammad Saw bersama kaum muslimin Mekkah, disambut oleh penduduk madinah yang gembira penuh dengan rasa persaudaraan. Maka Islam mendapat lingkungan yang bebas dari ancaman para penguasa quraiys Mekkah, lingkungan yang memungkinkan bagi Nabi Muhammad Saw, untuk meneruskan dakwahnya menyampaikan ajaran Islam dan menyebarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembinaan pendidikan Islam di Makkah titik beratnya adalah menambahkan nilai-nilai Tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya adalah merupakan lanjutan dari pendidikan Tauhid di Makkah, yaitu permintaan dibidang sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran Tauhid sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cerminan dan pantulan sinar Tauhid tersebut.[26]
Kebijakan Nabi Muhammad Saw, dalam mengajarkan al-Qur’an menganjurkan pengikutnya untuk menghafal dan menulis ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu wahyu tersebut ditulis dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Kuttub al-Wahy yang telah dibentuk oleh Rasulallah. Mereka ini terdiri dari sahabat yang telah dapat menulis dan membaca, baik dari golongan muhajirin maupun ansor, baik ketika masih berada di Makkah maupun di Madinah. Penulis wahyu itu antara lain : Abu Bakar as-Shiddiq, umar ibn khattab, Utsman bin affan, ali bin abi thalib, ubay bin khatab, Zaid bin Tsabit, Zubair bin al-Awwam dan Muawwiyah.[27]
Adapun bentuk-bentuk pendidikan di Madinah diantaranya adalah :
a.    Pembentukan dan Pembinaan Masyarakat Baru, Menuju Satu Kesatuan Sosial dan Politik.
b.    Pendidikan Sosial Politik Dan Kewarganegaraan.[28]

C.   Lembaga-lembaga Pendidikan Sebelum Madrasah
Adapun lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada masa klasik antara lain :
1.    Shuffah.
Pada masa Rasulallah Saw shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal al-Qur’an secara benar dan hukum Islam di bawah bimbingan langsung dari Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu setidaknya telah ada sembilan Shuffah yang tersebar di Kota Madinah. Sala satu diantaranya berlokasi di samping Masjid Nabawi. Rasulallah Saw mengangkat Ubaid Ibn Al-Samit sebagai guru pada sekolah Shuffah di Madinah. Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, dan ilmu fenotik.[29]
2.    Kuttab/Maktab.
Kuttab/maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu Kataba yang artinya menulis. Sedangkan Kuttab/Maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.[30] Kebanyakan ahli sejarah sepakat bahwa Maktab/Kuttab adalah lembaga pendidikan dasar.[31] Dalam arti tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis, kemudian meningkat pada pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan agama tingkat dasar.[32]
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Kuttab ini berorientasi kepada al-Qur’an sebagai suatu texbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal, bahasa Arab, sejarah hadits Nabi.[33]
Sejak abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum di samping ilmu agama. Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam  budaya Helenisme.[34] Sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Bahkan dalam perkembangan berikutnya Kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu Kuttab yang mengajarkan pengetahuan non agama (seculer learning) dan Kuttab yang mengajarkan ilmu agama (religius learning).
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa Kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan terbuka terhadap pengetahuan umum termasuk didalamnya adalah filsafat.[35]
3.    Halaqah
Halaqah artinya lingkaran. Lembaga ini secara umum dikenal dengan sistem halaqah. Seorang guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran. Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lanati yang melingkari gurunya. Metode ini bahkan masih berkembang sampai sekarang seperti di Pesantren-pesantren.
Kegiatan halaqah bisa terjadi di Mesjid-mesjid atau di Rumah-rumah. Halaqah yang di Rumah biasanya dilaksanakan oleh seorang Ulama dengan mengundang ulama-ulama lain atau murid-muridnya untuk berdiskusi atau berdebat atau mengajar kepada murid-muridnya.[36]
Kegiatan di Halaqah ini tidak khusus untuk untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum termasuk filsafat. Oleh karena itu Halaqah dikelompokan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum. Halaqah dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat lanjutan yang setingkat dengan college.[37]
4.    Majlis
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar, pada perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan belakangan ini majlis diartikan sebagai sejumlah aktifitas pengajaran, sebagai contoh, majlis al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh Nabi, atau majlis Al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih Imam Syafi’i.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan transper ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut :
1). Majlis al-Hadits.
Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang ilmu hadits.
2). Majlis al-Tadris.
      Majlis ini biasanya menunjuk kepada majlis selain dari pada hadits, seperti majlis fiqih, majlis nahwu, atau majlis kalam.
3). Majlis Al-Munaszarah.
      Majlis ini biasanya digunakan untuk berdiskusi dan berdebat tukar pandangan antara para ulama intelektual.
4). Majlis al-Mudzakarah.
      Majlis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadits. Majlis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil menungguh kehadiran guru.
5). Majlis al-Syu’ara.
      Majlis ini diselenggarakan sarana belajar syair dan kontes syair.
6). Majlis Adab.
      Majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah dan laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal.
7). Majlis al-Fatwa dan al-Nazar.
      Majlis ini digunakan untuk mencari keputusan suatu masalah dibidang hukum kemudian difatwakannya.[38]
5.    Masjid.
Masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi. Ia mempunyai peranan penting bagi masyarakat Islam sejak awal sampai sekarang. Masjid berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, tempat ibadah, tempat pengadilan dan sebagainya.[39] Kemudian pada masa khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Pada masa Bani Abbas dan masa perkembangan kebudayaan Islam. Masjid-masjid yang didirikan oleh para penguasa pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk pendidikan.[40]
Kurikulum pendidikan di Masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh pejabat-pejabat pemerintah seperti Qadhi, Khotib, dan Imam masjid. Melihat keterkaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa masjid merupakan lembaga pendidikan formal.[41]
6.    Khan
Khan mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di Kota Khan difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko. Tidak sedikit khan dijadikan sebagai benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan bagi kebutuhan umum. Misalnya, khan al-Narsi yang beralokasi di Alun-alun Karkh di Baghdad bagian barat, penghasilannya disalurkan untuk perawatan sebuah jembatan di Sungai Tigris.
Selain fungsi di Atas, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid-murid dari luar kota yang hendak belajar hukum Islam disuatu masjid.[42] Disamping itu juga khan digunakan sebagai sarana belajar privat.[43]
7.    Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. Juga memberikan perhatian terhadap kegiatan keIlmuan yang dipimpin oleh seorang Syaikh yang terkenal denga ilmu dan kesalehannya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah munculnya madrasah, banyak madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribath. Sejak masa dinasti Saljuk, madrasah dan ribath diorganisir dalam satu garis kebijakan yang sama yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.[44]
8.    Rumah-rumah Ulama
Para ulama di Zaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan pelajaran di Masjid. Sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk mempelajari ilmu darinya, seidaknya itulah yang dilakukan oleh al-Ghazali ketika ia memilih kehidupan sufi.[45]
9.    Toko-toko buku dan perpustakaan
Toko-toko buku dan perpustakaan juga berperan sebagai tempat untuk transmisi ilmu dalam Islam.[46] Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku tapi berikutnya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan dilaksanakan disitu.
Di samping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Penguasa-penguasa mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja atau istana raja-raja.
Seorang pelopor pendiri perpustakaan adalah khalifah al-Ma’mun dari dinasti abbasiyah, kemudian diikuti oleh penguasa setelahnya.[47]
10. Observatorium dan Rumah Sakit
Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan.[48] Disamping perpustakaan, penguasa juga mendirikan observatorium sebagai sarana untuk kajian-kajian terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yunani, seperti di Baithul Hikmah yang dibangun oleh al-makmun di Baghdad pada 828 M diperlengkapi dengan observatorium.[49]dengan mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi.[50]
11. Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)
Semenjak berkembang luasnya Islam, bahasa arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang beragama Islam. Namun bahasa arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafadzkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa arab, sehingga bahasa arab menjadi bahasa pasaran. Namun tidak demikian halnya di Badiah-badiah, mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa arab yang amat asli dan murni.
Oleh karena itu badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke Badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan kesusastraan arab. Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[51]

D.   Penutup.
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, pendidikan Islam secara Institusional telah berproses secara mapan dengan embrio model pendidikan, seperti halaqah, majlis, kuttab dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan mengingat pendidikan memiliki peranan strategis dalam penanaman nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat.
Kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan Islam masa klasik berpusat pada ilmu-ilmu keagamaan, seperti membaca dan menghafal al-Qur’an sebagai awal dasar pengetahuan agama diiringi dengan ilmu hadits, tafsir, bahasa dan fiqih/ushul fiqih. Namun perkembangan selanjutnya ketika agama Islam bersentuhan dengan Helenisme maka corak kurikulum tidak lagi berkisar pada ilmu agama, tetapi ilmu umum dipelajari seperti, ilmu kealaman, matematika, kedokteran dan lain sebagainya.






[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam ; Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakata : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 29.
[2] Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi ; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 130.
[3] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Diadit Media, 2010), h. 175.
[4] Ibid, h. 176.
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya : PT. Al-Hidayah, 1998), h. 1079.
[6] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam,Op-Cit., h. 176.
[7] Sukarno, dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : PT. Angkasa, 1983), h. 31.
[8] Ibid, h. 177.
[9]  Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 19.
[10] Abuddin Nata, Op, Cit, h. 30.
[11] Abdul Hamid Al-Hasyimi, Mendidik Ala Rasulallah ; Bagaimana Rasulallah Mendidik, Kitab tersebut diterjemahkan oleh Ibn Ibrahim, (Jakarta : PT. Pustaka Azzam, 2001), h. 43.
[12] Sukarno, dan Ahmad Supardi, Op-Cit, h. 25.
[13]  Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 12.
[14]  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1997), h. 19.
[15] Gua Hira berada dipuncak gunung/bukit, arah sebelah kiri dari jalan menuju ke Mina. Tingginya dari permukaan laut sekitar 621 m, sedang dari permukaan tanah sekitar 281 m, untuk mendakinya, bagi orang kebanyakan, diperlukan waktu sekitar satu jam.
[16] Muhammad Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : PT. Book Publisher, 2007), h. 63.
[17]  Zuhairini, Op-Cit, h. 19.
[18] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op-Cit, h. 1079.
[19] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW ; Dalam Sorotan Al-Qur’an Dan Hadits-Hadits Shahih, (Jakarta : PT. Lentera Hati, 2011), h. 324-325.
[20] Abuddin Nata, Op, Cit, h. 30.
[21] Eneng Muslihah,,Op-Cit, h. 178.
[22] Zuhairini, Op-Cit, h. 25.
[23] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 5-6.
[24]  Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim ; Minhajul Muslim, (Jakarta : PT. Darul Falah, 2003), h. 28.
[25] Eneng Muslihah, Op-Cit, h. 179.
[26] Ibid, h. 180.
[27] A. Chaerudji Abdul Chik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : PT. Diadit Media, 2007), h. 48.
[28] Eneng Muslihah, Op-Cit, h. 180.
[29] Abuddin Nata, Op, Cit, h. 32.
[30] Zuhairini, Op-Cit, h. 89.
[31] Hanun Asrohah, Op-Cit, h. 47.
[32] Abuddin Nata, Op-Cit, h. 33.
[33] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang), h. 17.
[34] Helenisme adalah Kebudayaan Yunani Pada Masa Dulu Yang Mempengaruhi Pola Pikir, Pius A Partanto, dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : PT. Arkola, 1994), h. 216.
[35] Abuddin Nata, Op, Cit, h. 34.
[36] Hanun Asrohah, Op-Cit, h. 49.
[37] Abuddin Nata, Op-Cit, h. 35.
[38] Ibid, h. 36-37.
[39] Hanun Asrohah., Op-Cit, h. 56.
[40] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Op-Cit, h. 99.
[41] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam ; Pada Periode Klasik dan Pertengahan, Op, Cit, h. 39.
[42] Hanun Asrohah, Op-Cit, h. 64.
[43] Abuddin Nata, Op, Cit, h. 39.
[44] Ibid, h. 39-40.
[45] Ibid, h. 40.
[46]  Hanun Asrohah, Op-Cit, h. 68.
[47] Abuddin Nata, Op, Cit, h. 40-41.
[48] Ibid, h. 41.
[49] Hanun Asrohah, Op-Cit, h. 69.
[50] Zuhairini, Op-Cit, h. 98.
[51] Abuddin Nata, Op, Cit., h. 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar