Jumat, 28 Maret 2014

KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MASA KLASIK



A.     Pendahuluan
Pendidikan Islam sesunguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan nabi Muhammad Saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan yang dilakukan secara terus-menerus pasca generasi nabi, sehinggnya dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari segi kurikulum (mata pelajaran). Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa. 
Untuk menjadikan pendidikan yang berarti harus menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada peserta didik. Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan. Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak jantung, karsa dan karya manusia. [1]
Kurikulum pendidikan Islam klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek tujuan, guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan Islam. Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga pemerintah, formal atau non- formal dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam. Kegiatan itu dilakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al- Jamiah).
Ada beberapa terminologi yang tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebelum menguraikan makalah ini lebih lanjut. Menguraikan term-term itu dianggap perlu karena diasumsikan akan memberikan kesamaan pandangan dalam menginterpretasi dan mengeksplanasi makalah ini. Istilah sistem pendidikan biasanya dipahami sebagai suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen, dan organisasi yang memindahkan ( transver ) pengetahuan dan warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual, dan intelektual. Menurut Hasan Langgulung, sistem pendidikan seperti demikian dalam literatur pendidikan Islam klasik tidak pernah dujumpai. Sebab, sistem pendidikan itu tidak terpisah dari sistem-sistem yang lain, seperti sistem politik (al-nizham al-siyasi), sistem tatalaksana (al-nizham al-idari), sistem keuangan (al-nizham al-mali), sistem kehakiman (al-nizham al-qadhi), dan lain-lain. Sistem politik mempunyai program pendidikannya sendiri untuk membentuk kader-kader politik, begitu juga sistem-sistem tatalaksana, keuangan, sosial, dan sebagainya. Jadi, sistem pendidikan Islam sebagai sistem yang berdiri sendiri merupakan satu fenomena baru dalam sejarah Islam.[2]
Kurikulum pendidikan Islam pada periode Rasulullah baik di Makkah maupun di Madinah adalah al-Qur`an, yang diwahykan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami umat Islam saat itu.[3]  Karena itu, dalam praktiknya tidak saja logis dan rasional tetapi juga secara fitrah dan pragmatis. Hasil dari cara yang demikian itu dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya yang dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat yang tangguh, tabah, dan sabar tetapi aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini merupakan kader inti mubaligh dan pendidik pewaris nabi yang berlian dan militant dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.[4]
Kurikulum pendidikan Islam masa klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan modern. Pada kurikulum pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional di Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisai dan strategi.[5]

B.     Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam Masa Klasik
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata Curir, artinya pelari. Kata Curere artinya tempat berpacu. Currikulum diartikan jarak yang ditempuh oleh seorang pelari.pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk mendapatkan ijasah. Rumusan kurikulum tersebut mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijasah.[6]
Adapun pandangan Ahmad Tafsir mengemukakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[7] Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra- kurikuler, yaitu berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada  kmasa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat pengertian tersebut.
Menurut Muhammad Ali Al- Khouly yang dikutif oleh Muhaimin kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.[8]
Sepanjang masa pendidikan klasik Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi berada di tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima secara otoritatif dalam soal-soal agama dan hokum. Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus penolakan atas aliran yang diilhami filsafat Yunani terutama pasca al-Ghazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk secara baku dalam bentuk peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid, akademi dan madrasah mengikuti pola-pola yang dikembangkan dari majlis dan halaqah-halaqah ilmiah. Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pendidikan Islam ini adalah di fokuskan pada kuriukulum pendidikan Islam masa klasik.
Hasan Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah dengan konsep awal klasifikasi ilmu pengetahuan yang diajarkan di madrasah. Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu memahami perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan Muslim. la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli kedokteran, berdasarkan riwayat Ibn Abi Ushaybi’ah, yang mengelompokkan ulama yang wafat pada sekitar pertengahan abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok berdasarkan cabang ilmu yang ditekuni yaitu:
1.    Ilmu-ilmu keagamaan (al-Syar`iyyah),
2.    Ilmu-ilmu klasik (`ulum al-Qudama`),
3.    Ilmu-ilmu sastra (al-`Ulum al-Adabiyah). [9]
Hasan Asari juga mengutip pendapat Ibn Buthlan yang merupakan suatu klasifikasi yang detail; namun ini memadai untuk tujuan kita sekarang ini. Klasifikasi yang lebih lengkap dan detail dapat dilihat dalam beberapa karya Abad Pertengahan yang lain. Perumusan klasifikasi ilmu pengetahuan menjadi satu bidang penting dan mendapat perhatian serius para ilmuan muslim. Pada hakikatnya kurikulum pendidikan Islam klasik berbeda-beda menurut wilayah masing-masing. Tidak ada pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara. Perbedaan kurikulum antara tempat yang satu dengan tempat lainnya bukan didasarkan daerahnya akan tetapi perbedaan tersebut didasarkan kepada guru yang memberikannya. Di Mesir misalnya kurikulum dititik beratkan kepada fiqh, sedangkan di Madinah lebih menitik beratkan kepada kajian hadis.
Meskipun perbedaan kurikulum berbeda dengan tempat yang satu dengan yang lainnya, akan tetapi disepakati bahwa kitab suci al- Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya kurikulum yang diajarkan berkisar pada belajar membaca al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.
Penentuan kurikulum adalah terletak pada ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqh, seseorang mempelajari bahasa Arab mencakup gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi. Studi-studi pendahuluan ini dapat ditempuh dengan tutor pribadi atau dengan menghadirihalaqah dalam bahasa Arab. Pedagogie muslim menerima pandangan Yunani yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir logis dan jelas memiliki korelasi langsung dengan kemampuan berbicara dan menulis secara tepat. Karena itu para tutor sangat menekankan latihan-latihan yang membantu perkembangan kemahiran berbahasa.
Sejalan dengan  waktu, pengertian kurikulum mulai berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang mempengaruhi pribadi saya. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. [10]

C.     Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya Madrasah
Para ahli sejarah mencatat periodisasi sejarah sejarah pendidikan Islam dihubungkan dengan perkembangan lembaga pendidikannya menjadi tiga periodisasi yaitu masa klasik, masa pertengahan dan masa modern.[11]  Namun dalam hal ini penulis hanya mengambil contoh pendidikan Islam masa klasik dalam artian perkembangan kurikukulum dalam pendidikan Islam masa klasik, karena kuriukulum adalah bagian dari pendidikan.
Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga pemerintamal, formal atau non-formla dalam periode tertentu pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam. Kegiatan itu di lakukan di rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).[12]
Meskipun pembagian periode dalam pendidikan Islam merupakan sebuah matarantai yang saling bersambungan dengan periode-periode lainnya, namun masing-masing periode memeliki kekhasan tersendiri baik dari segi kurikulum pendidikan maupun metode pengajarannya.
Pada perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-Qur’an dan hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya :

1.       Kurkulum Pendidikan Rendah
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatkan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam.[13]
Terdapat contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan Baduwi. Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu. Sang ibu menjawab sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya akan menyerahkan pada seorang muaddib (guru) agar ia mengajari menghafal dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan kebanggaan bangsanya dan ia kan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila dewasa, saya akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang akan meminta bantuan. [14]
Kurikulum tingkat rendah meliputi al-Qur’an dan agama, membaca, menulis, sya’ir, dan sebagian prinsip-prinsip pokok agama dan ditambah juga dengan nahwu, cerita dan berenang. Untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya pelajaran khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, di samping ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqh. Penekanan kurikulum berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya.
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari al-Qur`an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar al-Qur`an dan dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan kecenderungannya.[15]
Di Andalusia misalnya, untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an, dan dimasukkan materi lain seperti riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan pembelaan negara sehingga kemampuan anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol. Kemudian kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan cabang-cabang ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.

2.  Kurkulum Tingkat Tinggi
Kurikulum pendidikan tinggi, halaqah - kalau mau menyebut demikian-bervariasi tergantung pada syaikh yang mau mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari sebuah halaqah ke halaqah yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.[16]
Menurut Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa, karena diberikan kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka mengenai Al-Qur’an dan agama.[17]  Kurikulum pada pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua jurusan, pertama jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-naqliyah) dan kedua jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum al-aqliyah).
Kedua macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan pemikiran Islam. Kurikulum pertama sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu agama semata, akan tetapi dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu hadist dan tafsir. Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir al-Qur’an, hadist, fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[18]
Ikhwan Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
a.    Disiplin-disiplin Umum, antara lain: baca-tulis, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra (sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang, dan ketrampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian, dan peternakan, serta biografi dan kisah.
b.    Ilmu-ilmu Filosofis, antara lain: mate-matika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan elemen-elemen metereologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology; anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi dan teologi doktrin esoteris Islam, susunan dan spiritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib.[19]
Sedangkan klasifikasi yang diperkenalkan oleh Al Farabi adalah:
a.    Ilmu bahasa (sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara, puisi).
b.    Logika (pembagian, definisi dan komposisi pikiran secara sederhana).
c.    Ilmu propaedeutic (ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, ilmu  musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat).
d.    Fisika (ilmu alam, metafisika).
e.    Ilmu kemasyarakatan (yurisprudensi, retorika).[20]
Masuknya ilmu-ilmu asing yang notabene berasal dari tradisi Hellenisti ke dalam kurikulum pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah dan Bait al-Hikmah. Syalabi menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan, diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.[21]
D.     Kurikulum Pendidikan Islam Setelah Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi, seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah dianggap sesuatu yang signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).[22] Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damas Di satu sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya. Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi. Legitimasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu ini terpaksa belajar secara otodidak.
Satu pertanyaan yang dapat kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam ? Menurut Fazlur Rahman, ada pandangan  yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di akhirat. [23]
Sedangkan menurut Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi itu sendiri”.[24]

E.     Penutup
Kurikulum pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti tertulis tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah madrasah adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai bidangnya masing-masing.  
Bagaimanapun juga, Islam tetap kreatif dan progresif sepanjang kebebasan berpikir dan investigasi menandingi fatalisme. Sepanjang Islam menganggap dunia adalah buku yang terbuka untuk dibaca dan dipahami oleh semua orang; apabila unsur unsur fatalisme dan ortodoksi tertanam dalam skolastikisme, maka ia dapat member pengaruh yang nyata.











[1] Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 215.
[2]  Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1998), cet. Ke-1, h. 4-5.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. Ke- 4, h. 11.
[4]  Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1990), cet. Ke-2, h. 31.
[5]  Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah: Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta: BPFE, 1988), cet. Ke-1, h. 9-11.
[6] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), h. 1-2.
[7]Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 53.   
[8] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam; kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda, 1993), h. 184.
[9] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 105.
[10]   Abuddin Nata., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Ra Grafindo Persada, 2010), h. 116, cet. Ke-2.
[11]  Sejarah Madrasah; Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama. 2004), h. 57.
[12] Ibid., h. 58.
[13]  Ibid., h. 116.
[14]  Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, h. 59.
[15]  Ibid., h. 59.
[16]  Abudin Nata., Op. Cit., h. 119.
[17]  Fazlur Rahman, Islam, (Bandung; Penerbit  Pustaka, 1994), h. 264.
[18]  Zuhairini, et. al., Sejarah Pendidikan Islam, h. 104.
[19] Mehdi Nakoosteen,  Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, h.  73.
[20] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, h. 29.
[21] Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, h. 181-184. Lihat juga, Muhammad Athiyah Al- Abrasyi , Al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir; Isa Al-Babi Al-Habi, 1975, h. 96-98.
[22]  Fazlur Rahma,., Op. Cit, h. 268.
[23]  Fazlur Rahman, Islam dan Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1995), h. 39.
[24]  Azyumardi Azra, “Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar”, Pengantar Buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994), h. 1

Guru-Guuru MTsNN Ciruas berpose


Kamis, 27 Maret 2014

Keutamaan Shalat Berjamaah



Oleh: H. Ridwan, S.Ag. M.MPd.

Shalat jamaah adalah salah satu ibadah mahdoh yang mempunyai nilai-nilai menumbuh kembangkan hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya. Nilai pahala shalat jamaah jauh lebih besar dari pada shalat sendiri. Sebagaimana Imam Bukhari dan Muslim dalam haditsnya meriwayatkan  Bahwa Rasulullah Saw bersabda:
الصّلاة الجماعة أفضل من صلا ة الفرد بسبع وعسرين درجة
“Shalat Jamaah itu lebih utama dari pada shalat sendirian yaitu pahalanya dua puluh tujuh derajat”
            Kemudian Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw Bersabda: “Barang siapa yang dawam kontinyu terus menerus, tidak putus-putus melaksanakan shalat lima waktu berjamaah di Masjid, maka Allah Swt akan memberikan lima kebersihan kepadanya yaitu:
1.      Dihindarkan dari berbagai macam kesulitan hidup. Semua persoalan hidupnya akan dilalui dengan ketenangan, ketentraman dan penuh dengan kebahagiaan
2.      Dihindarkan dari siksa kubur. Kubur sempit yang luasnya hanya < 2 x 1 M persegi  akan menjadi sangat luas, kubur yang gelap gulita akan menjadi terang benderang. Dan pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir akan mampu dijawab dengan mudah.
3.      Diberikan catatan amalnya  dari sebelah kanan. Berarti ia termasuk kepada golongan orang-orang yang diselamatkan dan diberi kenikmatan oleh Allah SWT.
4.      Diberikan kemampuan untuk melewati jembatan sirathal mustaqim dengan kecepatan bagaikan kilat menyambar,
5.      Dimasukan ke dalam surga tanpa di hisab sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW  yang lain.
اوّل مايحسب عليه العبد يوم القيا مة الصّــلاة وا ذا صلحــت صلح ســـا ئر عمله وإذا فســـدت ســـا ئرعمله
“Yang pertama klai di hisab atas tiap-tiap hamba pada hari kiamat adalah shalat, apabila shaltnya bagus, maka semua amal-amalannya dianggap baus dan apabila shalatnya jelek, maka amal-amal yang lainnya dianggap jelek”


[2]