Senin, 24 Maret 2014

PERTUMBUHAN MADRASAH PADA PERIODE AWAL SEBELUM LAHIRNYA MADRASAH NIZHAMIYAH




A.  Pendahuluan
Berbicara mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud dari pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah. Namun demikian para ahli pendidikan Islam biasanya berpandangan bahwa pendidkan Islam memiliki karakter dan tujuannya sendiri yang khas, karena didasarkan kepada tujuan yang bersifat metafisis-transendental, yaitu untuk mencapai keridhaan Allah SWT, di dunia dan akhirat.
Karena itu, ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang tinggi dan terhormat di dalam konsep pendidikan Islam, tetapi ilmu pengetahuan itu bukanlah tujuan dalam dirinya sendiri. Tujuan ilmu pengetahuan digariskan berdasarkan tuntunan wahyu, sebab ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari wahyu. Ilmu pengetahuan memperoleh maknanya yang hakiki jika ia mampu menghantarkan manusia (Penuntut ilmu) kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarub) kepada Allah Swt, dan kebaikan kepada sesama manusia (akhlakul karimah)
Karena itu akhlak menempati posisi penting, bahkan sentral dalam pendidikan Islam. Hal ini merupakan kelanjutan logis dari pernyataan nabi Muhammad Saw, sendiri bahwa beliau diutus membawa agama Islam ke dunia ini untuk penyempurnaan keluhuran akhlak budi manusia. Jika demikian, pendidikan dalam Islam merupakan sarana untuk menuju kearah penyempurnaan akhlak budi.
Dengan kata lain, pendidikan dalam Islam adalah fungsi untuk mencapai keluhuran akhlak budi, sedangkan lembaga pendidikan adalah aspek material untuk menjalankan fungsi tersebut. Pendidikan adalah substansinya, sedangkan lembaga pendidikan adalah institusi atau pranatanya yang telah terbentuk secara ajeg dan mapan di tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan yang dilaksanakan pada masa awal perkembangan Islam berfilsafat informal yang penamaan lebih terkait dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah, penyebaran dan dasar-dasar kepercayaan serta ibadah Islam. Sedangkan pendidikan formal Islam baru muncul dengan kebangkitan madrasah.
Lembaga pendidikan madrasah adalah kelanjutan dari lembaga pendidikan dalam bentuk masjid, karena banyaknya murid-murid yang datang dari luar kota untuk belajar di masjid menuntut adanya tempat tinggal yang disebut dengan khan (semacam asrama) sehingga terjadi perubahan dari masjid kemasjid khan. Selanjutnya dari masjid khan berubah kebentuknya ke bentuk madrasah.
Dengan adanya madrasah bertanda bahwa pendidikan Islam telah mengalami kemajuan pesat. Masjid yang telah tumbuh sejak masa awal Islam pada dasarnya hanya berfungsi sebagai tempat ibadah dengan sedikit kegiatan pendidikan didalamnya. Masjid khan walaupun telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan namun kegiatan pendidikan bukanlah merupakan faktor utama. Dengan adanya madrasah maka kegiatan pendidikan semakin sempurna. Madrasah bukanlah sebagai pengganti masjid kenyataanya madrasah mempunyai masjid didalamnya namun rumah ibadah bukanlah fungsi utama dari madrasah.
B.  Pengertian Madrasah
Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (dzharaf  makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran".[1] Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat".
Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari Bahasa asing, yaitu school atau sekolah. Menurut pandangan Malik Fadjar pengertian madrasah secara umum dapat diartikan sebagai sekolah umum yang bercirikhas Islam yang menjadi bagian keseluruhan dari sistem pendidikan nasional.[2]
Madrasah pada awal perkembangannya mempunyai beberapa pengertian, diantaranya: berarti aliran atau mazhab, kelompok atau golongan filosuf, dan ahli pikir atau penyelidik tertentu yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama.[3] Pandangan-pandangan atau aliran itu timbul sebagai akibat perkembangan ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam, sehingga mereka berusaha untuk mengembangkan mazhab masing-masing, khususnya pada periode Islam klasik. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran, mazhab, atau aliran tersebut, misalnya madrasah Syafi`iyah, Hanafiyah, Malikiyah dan Hambaliyah.[4]
Sejauh ini tampaknya belum ada data yang pasti kapan istilah madrasah itu muncul, akan tetapi nama tersebut diistilakan  sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran, hal ini  mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem pendidikan atau pengajaran tradisional Islam yang mana pengajaran  tersebut dilaksanakan  baik di masjid,[5] surau dalam istilah (Minangkabau), dayah atau rangkang (Aceh), pesantren istilah (Jawa). [6]
Dalam uraian Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga mentri disebutkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.[7]
Secara teknis, yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan  (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Para ahli sejarah pendidikan seperti A.L.Tibawi dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah (bahasa Arab) merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam (klasik) pra-modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan Islam menulis kata tersebut secara bervariasi misalnya, schule atau hochschule (Jerman), school, college atau academy (Inggris).
Nakosteen menerjemahkan madrasah dengan kata university (universitas). la juga menjelaskan bahwa madrasah-madrasah di masa klasik Islam itu didirikan oleh para penguasa Islam ketika itu untuk membebaskan masjid dari beban-beban pendidikan sekuler-sektarian. Sebab sebelum ada madrasah, masjid ketika itu memang telah digunakan sebagai lembaga pendidikan umum. Tujuan pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk-pikuk, sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusukan beribadah. Itulah sebabnya, kata Nakosteen, pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Maka dicarilah lembaga pendidikan alternatif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum, dengan tetap berpijak pada motif keagamaan. Lembaga itu ialah madrasah.[8]
C.  Latar Belakang Berdirinya Madrasah
Lahirnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan pendidikan yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid. Motivasi  yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu selain motivasi agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga motivasi politik. Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan Islam memasuki periode baru yaitu “pendidikan menjadi fungsi bagi Negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi politik”.[9]
 Tercatat dalam sejarah, bahwa segera setelah wafatnya Rasulullah, persoalan yang pertama timbul dalam Islam adalah persoalan politik itu kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Ini berarti bahwa persoalan politik timbul mendahului perkembangan pemikiran, atau dengan kata lain yang menjadi pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik.
Latar belakang sejarah yang demikian itu, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan sebagai hasil persentuhan dengan kebudayaan lain, berkembang pemikiran-pemikiran dibidang fiqh dan hadits, filsafat, serta tasawuf. Namun demikian tampak bahwa persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan pergumulan pemikiran itu. Sejarah Islam memang mencatat bahwa antara aliran pemikiran dan kekuasaan saling mengambil keuntungan. [10]
D.   Kurikulum Pendidikan Islam  Sebelum Berdirinya Madrasah
Berbicara mengenai kurikulum pendidikan Islam sebelum adanya madrasah dapat dikategorikan menjadi 3 bagian:
1.   Kurikulum Pendidikan Rendah
Mata pelajaran yang terdapat pada pendidikan rendah adalah Al-Qur’an, agama, membaca, menulis, dan syair.dalam beberapa hal kadang-kadang ditambah pula dengan mata pelajaran An-Nahwu,cerita-cerita, dan belajar berenang. Ada pula diantaranya kurikulum yang berisi mata pelajaran yang terbatas pada menghafal Al-Qur’an dan mengajarkan  beberapa dasar-dasar pokok agama. [11]
2.   Kurikulum Pendidikan Menengah
Kurikulum tingkat menengah yaitu: Al-Qur’an, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahu/Saraf/Balaghah, Ilmu-ilmu Pasti, Mantiq, Falak, Tarikh, Kedokteran dan Ilmu Alam.
3.   Kurikulum Pendidikan Tinggi
Umumnya perguruan tinggi itu terdiri dari dua jurusan, yaitu:
a.    Jurusan Ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta kesusastraannya. Ibnu Khaldum menamai ilmu itu: Ilmu Naqliyah
b.    Jurusan Ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Ibnu Khaldum menamainya: Ilmu ‘Aqliyah.[12]
E.  Madrasah Pra Nizamiyah
Sebelum berdiri Madrasah Nizamiyah pada abad ke-5 Hijrah, di kalangan masyarakat Islam telah terdapat beberapa lembaga pendidikan. Para ahli sejarah terutama yang mengkhususkan penelitiannnya pada sejarah pendidikan Islam mencoba memberikan klasifikasi terhadap lembaga pendidikan. Bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut antara lain sebagai berikut :
1.    Kuttab untuk belajar menulis dan membaca
Dimasa sebelum datangnya agama Islam, kuttab (tempat untuk member pelajaran rendah) telah ada juga dinegeri Arab, kendatipun belum tersiar betul. Diantara penduduk Mekkah yang mula-mula belajar menulis huruf arab adalah Sofyan Ibnu Umaijah Ibnu Abdu Sjams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhrah Ibnu Kilab. Kedua orang ini mempelajarinya dari Bisjr Ibnu Abdil Malik yang mempelajarinya dinegeri Hijrah. [13]
Maktab pada masa ini merupakan kelanjutan dari Kuttab, para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa keduanya merupakan istilah yang sama, dalam arti lembaga pendidikan Islam tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis, kemudian meningkat kepada pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan agama tingkat dasar. Namun demikian, ada juga yang membedakan keduanya dalam fase, yaitu bahwa maktab adalah istilah lembaga pendidikan Islam untuk zaman modern, sedangkan kuttab adalah istilah pendidikan untuk zaman klasik[14]
Mengenai waktu belajar di Kuttab, dimulai dari hari Sabtu pagi sampai dengan hari Kamis siang dengan materi sebagai berikut: Al-Qur’an, dari pagi sampai dengan Dhuha. Menulis, dari Dhuhasampai dengan Zhuhur, dan Gramatika Bahasa Arab, matematika dan Sejarah, ba’da Zhuhur sampai dengan siang.[15]
2.    Pendidikan rendah diistana-istana
Adalah satu hal yang terang dan jelas menurut kaum muslimin semenjak zaman-zaman bahari mereka, bahwa rencana pelajaran itu haruslah berbagai rupa, selaras dengan hari depan murid-murid dan pekerjaan-pekerjaan yang menunggu mereka dalam masyarakat.
Maka timbullah pemikiran pendidikan permulaan diistana kalifah-kalifah dan pembesar-pembesar, dimana putera-putera mereka mendapat pendidikan, untuk menyiapkan mereka agar dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dipikulkan keatas pundak mereka dimasa depan.
Sehubungan dengan pelajaran diistana-istana ini, kaum Fathimijin telah melangkah lebih luas dalam hal ini. Mereka mendirikan diistana-istana sekolah-sekolah khusus untuk putera- putera pembesar dan orang-orang kaya. Dalam mendidik putera- putera itu, pendidik-pendidik disekolah-sekolah ini mempunyai suatu rencana khusus yang diarahkan kepada:”menyiapkan  putera- putera itu untuk berbakti kepada kalifah-kalifah dan menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.” . [16]
3.    Kedai-kedai saudagar kitab
Kedai-kedai kitab telah lahir sejak permulaan kerajaan Bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat pesatnya diseluruh ibukota dan berbagai negeri dalam alam Islami. Tiap-tiap kota dan negeri ini telah mempunyai sejumlah kedai-kedai kitab. Al Ja’qubi dalam memaparkan tentang desa-desa sekitar kota Baghdad menyebutkan: “Ada lagi sebuah desa, yaitu desa Wadhah sahaya Amiru’l Mu’minin, didesa ini ada 100 buah lebih kedai kitab”. Sedang di Mesir di zaman kerajaan Thuluniah dan Ichsjidiah ada sebuah pasar besar untuk saudagar-saudagar kitab. Disitu dijual buku-buku, dan kadang-kadang dikedai-kedainya dilangsungkan munazharah- munazharah (diskusi-diskusi).
Saudagar-saudagar buku ini bukanlah semata-mata manusia yang mencari keuntungan dan laba, akan tetapi kebanyakannya adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas, yang telah memilih usaha ini agar mereka mendapat kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga-pujangga. Karena itu diantara saudagar-saudagar kitab itu terdapat tokoh-tokoh yang cemerlang diantaranya yaitu: Ibnun  Nadim pengarang “Al Fihrist”. [17] 
4.    Masjid
Fungsi masjid sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur, bukan sekedar berfungsi sebagai tempat beribadah saja,melainkan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan dankebudayaan.
Sistem pembelajaran didalam masjid, berbentuk halaqah, berkembang dengan baik pada masa Abbasiyah, sejalan dengan munculnya bermacam-macam pengetahuan agama, sehingga terkadang didalam suatu masjid besar terdapat beberapa halaqah dengan materi pembelajaran berbeda seperti; nahu, ilmu kalam, fiqh, dan lain-lain. Ini terjadi di masjid al Kasai dan al Manshur di Bagdad.
Masjid lainnya yang juga terkenal sebagai pusat kegiatan pendidikan ialah masjid Jami’ Damaskus. Didalamnya terdapat halaqah-halaqah pembelajaran bagi murid, guru yang mengajar mendapat gaji yang lumayan. Ada sebuah pojok tempat belajar murid-murid Imam Malik dan pojok yang lain belajr murid-murid Imam Syafe’i. demikian pula di masjid Jami’Amr di Mesir, yang juga terdapat beberapa pojok, tempat murid-murid belajar didalamnya. [18]
5.    Rumah-rumah para Ulama (Sarjana)
Menurut pandangan kaum muslimin rumah itu bukanlah suatu tempat yang baik untuk member pelajaran umum, karena penghuni rumahataupun pelajar tidak dapat merasakan kesentosaan disitu, dan amat sukarlah mereka menyesuaikan antara ketentraman dan keagungan rumah, dengan kesibukan dan kebisingan pelajaran.[19]
Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an tentang hal ini
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? |Nqãç/ ÄcÓÉ<¨Z9$# HwÎ) cr& šcsŒ÷sムöNä3s9 4n<Î) BQ$yèsÛ uŽöxî tûï̍Ïà»tR çm9tRÎ) ô`Å3»s9ur #sŒÎ) ÷LäêŠÏãߊ (#qè=äz÷Š$$sù #sŒÎ*sù óOçFôJÏèsÛ (#rçŽÅ³tFR$$sù Ÿwur tûüÅ¡Ï^ø«tGó¡ãB B]ƒÏptÎ: 4 ¨bÎ) öNä3Ï9ºsŒ tb%Ÿ2 ÏŒ÷sム¢ÓÉ<¨Z9$# ¾ÄÓ÷ÕtFó¡uŠsù öNà6ZÏB ( ª!$#ur Ÿw ¾ÄÓ÷ÕtFó¡o z`ÏB Èd,ysø9$# 4   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar…” (Al-Ahzab: 53).[20]
Sebelum masjid dibangun, Rasulullah s.a.w telah memakai rumah Al Arqam Ibnu Abil Arqam sebagai tempat beliau berkumpul dengan sahabat-sahabat dan pengikut-pengikut beliau. Dirumah itulah beliau mengajarkan kepada mereka pokok-pokok dari agama yang baru, serta membacakan ayat-ayat dari Al-Quranul Karim. Dan dirumah itu pulalah nabi menerima orang-orang  yang telah cenderung hatinya kepada Islam, maka dipenuhilah oleh nabi hati mereka dengan petunjuk-petunjuk dan pelajaran-pelajaran. Dengan demikian mereka anut agama Islam, dan bergabunglah mereka kedalam golongan kaum muslimin. [21]
Diantara rumah-rumah yang amat penting adalah rumah Ar-Rais Ibnu Sina, Al-Djurdjani teman beliau menerangkan: “Dirumah Ibnu Sina berkumpul pada tiap-tiap malam penuntut-penuntut ilmu.


6.    Perpustakaan (al-Maktabah)
Salah satu perpustakaan yang terkenal, yaitu Bait al-Hikmah, didirikan oleh Harun al-Rasyid. Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa dulu, buku-buku sangat mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan untuk selanjutnnya dikembangkan.
Perpustakaan tersebut, dikelola oleh beberapa ahli dari berbagai latar     belakang agama dan kebudayaan, seperti Yuhana ibn Maskawaih (Nasrani Suryani), menterjemahkan buku kedokteran lama, Abu Nubikht (Persia), menterjemahkan buku-buku bahasa Persia, Alan al-Syu’ubi (Persia), menterjemahkan buku-buku Yunani dan Persia semuanya kedalam bahasa Arab. [22]
Dimasa al-Ma’mun, perkembangan perpustakaan ini semakin lebih pesat lagi, setelah adanya kontak dengan berbagai daerah dalam usaha memperoleh buku-buku untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Mereka yang bekerja diantaranya: al-Hajjaj ibn Matar, ibn al-Bathariq, Salman dan Yatmi Hunain ibn Ishak. [23]
7.    Salun Kesusasteraan
Salun kesusasteraan adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh para khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis seperti ini sebenarnya sudah ada sejak zaman Khulafa’al Rasyidin, dan diadakan di masjid. Namun pada masa Umayyah, pelaksanaannya dipindahkan ke istana dan hanya dihadiri oleh orang-orang tertentu saja. Salun sastra yang berkembang adalah salun disekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendikiawan sahabatnya. Majelis sastra ini menjadi tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan.[24]
8.    Al-Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Juga memberikan perhatian terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syeikh yang terkenal dengan ilmu dan kesalehannya. [25]
Ribath biasanya dihuni oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan kegiatan sufidtik. Bangunan ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk beribadah dan mengajarkan pelajaran agama.
9.    Al-Zawiyah
Zawiyah merupakan tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan oleh para sufi sebagai tempat untuk halaqah berzikir dan tafakur untuk mengingat danmerenungkan keagungan Allah SWT.
Kata zwiyah berasal dari kata inzawa,yanzawi berarti mengambil tempat tertentu dari sudut masjid yang digunakan untuk I’tikaf (diam) dan beribadah.
Menurut Stanton, madrasah yang pertama kali didirikan adalah madrasah Wazir Nizhamiyah pada 1040M; madrasah ini dikenal dengan sebutan madrasah Nizhamiyah. Namun penelitian lebih akhir, misalnya yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada dikawasan Nisyapur Iran. Pada sekitar tahun 400H/1009M terdapat madrasah Al-Baihaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan ‘Ali Al-Baihaqi (W. 414H/1023M).
Bulliet bahkan lebih jauh menyebutkan ada 39 madrasah di wilayah Persia yang berkembang dua abad sebelum madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah madrasah Niandahiya yang didirikan Abi Ishaq Ibrahin ibn Mahmud di Nisyapur. Pendapat ini didukung Naji Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya Abdul Al-‘Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud Ghaznawi Sa’idiyah (berkuasa 388-421H/998-1030 M) juga terdapat Madrasah Sa’idiyah.
Kurikulum madrasah yang diajarkan di Nisyapur tersebut meliputi agama dan filsafat. Pada masa periode ini telah muncul term ijazah. Ijazah pada waktu itu merupakan sebuah lembaran kertas yang menunjukkan bahwa sang penerima diberikan wewenang untuk mengajar apa yang dimaksud oleh ijazah tersebut. Namun ijazah ini mempunyai skop yang terbatas yang hanya diberikan seorang guru kepada pelajar yang dianggap telah mampu menyebarkan ilmu pengetahuan yang diterimanya.[26]

F.  Kesimpulan
Madrasah sebagai sebuah institusi yang lahir karena kondisi sosial politik masa itu, motivasi yang mendasari berdirinya lembaga pendidikan Islam selain motivasi agama, sosial, dan ekonomi juga didorong oleh motivasi politik. Dengan berdirinya madrasah maka dunia pendidikan dalam Islam memasuki fase baru, yaitu lembaga pendidikan menjadi fungsi bagi Negara untuk doktrinisasi dan sebagai pembentukan kader negara. Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran di dunia Islam baru timbul sekitara abad ke 4 H, ini bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya Islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran, bahkan pendidikan Islam lahir bersamaan dengan lahirnya Islam
Pada awal masa perkembangan Islam yang dibawah Nabi Muhammad Saw pendidikan yang sistematis formal nampaknya belum terselenggara, sebab pendidikan yang berlangsung saat itu pada umumnya dapat dikatakan masih bersifat informal yang berkaitan dengan upaya-upaya dakwah islamiyyah. Dan hal itu berlangsung di rumah sahabat Nabi. Baru setelah masyarakat Islam terbentuk maka masjidlah yang kemudian menjadi pusat kajian.
Sedang proses pendidikan formal pada masa lebih belakangan saja baru muncul dengan kebangkitan madrasah sebagai institusinya, seperti Madrasah Miyan Dahiyah yang didirikan Abu Ishaq Ibrahim ibn Mahmud di Nashapur 2 abad sebelum Nidhomiyyah, Madrasah Sa’idiyah pada masa Sultan Mahmud Al-Ghaznawi yang berkembang 165 tahun sebelum Nidhomiyyah, serta Madrasah Nidhomiyyah itu sendiri (1064) yang dikenal madrasah Nidhom Al-Mulk (Bulliet, 1972) hingga kita kenal lembaga-lembaga pendidikan formal saat ini.
Pelaksanaan pendidikan madrasah pada masa sebelum berdirinya madrasah Nizamiyah berpusat pada seorang guru (teacher centered). Guru merupakan seorang ulama yang dipandang mempunyai kompetensi keilmuan yang dalam dan luas. Seorang guru menetapkan tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan, menetapkan materi yang akan diajarkannya, dan guru juga menentukan kelulusan seorang murid.














[1]  Abu Luwis al-Yasu`I, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi al-A`lam, (Beirut, Dar al-Masyrik, tth), cet. Ke-23, h. 221
[2] Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1998), h. 15.
[3] Ali Muhammad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 47.
[4] Badri Yatim, et. al., Sejarah Perkembangan Madrasah, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1999), h. 8.
[5] Secara terminologis, masjid adalah tempat melaksanakan aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah. Lihat: M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an, (Bnadung: Mizan, 1996), cet. Ke-2, h. 459.
[6]  Sistem pendidikan pesantren, mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat theocentris, yang memandang bahwa aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan dan merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar dan mengajar di pesantren sebagai ibadah kepada Tuhan, sehingga penyelenggaraan pesantren “di bawah bayang-bayang Tuhan”, sukarela dan dijadikan sebagai media pengabdian kepada sesama manusia dalam rangka mengabdi kepada Tuhan. Hal ini juga tercermin dari kearifan dan kesederhanaan hidupnya sehari-hari yang menyiratkan semacam kesadaran transcenental. Lihat: Tata Taufiq, Rekontruksi Pesantren Masa Depan, (Jogyakarta: Pilar Media, 2007), h. 3.
[7]  Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 151.
[8]  Mehdi Nakoosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Eropa Deskripsi Analisis abad Keemasan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 15-16
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.  69
[10] Zuhairini, Op. Cit., hlm. 50
[11] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 127
[12] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), hlm.55-57.
[13] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. .33.
[14] Ahmad Syalabi, History of Moslem Education, (Beirut: 1954),  hlm. 16.
[15]  Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos),  hlm. 49
[16] Ahmad Syalabi, Op. Cit., hlm. 48
[17] Ibid., hlm. 53
[18] Carles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj. Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 163-164.
[19] Ahmad Syalabi, Op. Cit., h.57.
[20] Al-Qur’an dan terjemah, (Jakarta: Depag RI, 1974), hlm. 677
[21] Ahmad Syalabi, Op. Cit., hlm. 58.
[22] Jurji Zaidan, Tarikh al Tamaddun al Islami, Juz III. (Kairo: Dar Al Hilal, 1958), h. 228-229
[23] Dilasy Ulizi, Al Fikr al Arab, (Kairo: Alam al Kutub, 1961),  hlm. 122
[24] Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam, (Padang: IAIN, Press, 1981), hlm. 58
[25] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 39
[26] Ibid.,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar