A.
Pendahuluan
Agama Islam yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW mengandung implikasi kependidikan yang
bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Dalam agama Islam terkandung
suatu potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan, yaitu pertama
: Potensi psikologis dan paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi
pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat mulia melebihi
makhluk-makhluk lainya.
Kedua: Potensi
pengembangan kehidupan sebagai khalifah dimuka bumi yang dinamis dan kreaktif
serta responsif terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang
ijtimaiyah, dimana Tuhan menjadi potensi sentral perkembangannya.[1]
Untuk
mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut ke dalam pribadi manusia
diperlukan upaya kependidikan yang sistematis dan terencana dengan baik
sehingga dapat menghasilkan pribadi manusia yang berkualitas yaitu manusia atau
peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran
agama Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat
mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.[2]
Sebelum Nabi
Muhammad SAW memulai tugasnya sebagai Rasul yaitu : melaksanakan pendidikan
Islam terhadap umatnya. Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk
melaksanakan tugas tersebut secara sempurna melalui pengalaman, pengenalan,
serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan, dengan potensi
fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri
dengan masyarakat tetapi tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya.[3]
Dalam sejarah
pendidikan Islam, Nabi Muhammad SAW mulai menerima wahyu dari Allah SWT sebagai
petunjuk dan instruksi untuk melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah
mencapai umur 40 tahun yaitu pada tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijriyah
(6 Agustus 610 M)petunjuk dan Instruksi tersebut.[4]
Yang berbunyi :
ù&tø%$#
ÉOó$$Î/
y7În/u
Ï%©!$#
t,n=y{
ÇÊÈ
t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ
ù&tø%$#
y7/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ
Ï%©!$#
zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ
zO¯=tæ
z`»|¡SM}$#$tB
óOs9
÷Ls>÷èt
ÇÎÈ
Artinya
:
“Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah demi
Tuhanmu yang paling pemurah, yang mengajar dengan perantara kalam, yang
mengajar manusia apa-apa yang tidak ia ketahuinya “. (QS. Al-Alaq :
1-5).[5]
Kemudian disusul dengan
wahyu yang kedua, berbunyi :
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ tô_9$#ur öàf÷d$$sù ÇÎÈ wur `ãYôJs? çÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ Îh/tÏ9ur ÷É9ô¹$$sù ÇÐÈ
Artinya :
“Hai orang-orang yang
berselimut (Muhammad), bangunlah untuk memberi peringatan (kaummu)! Dan
agungkan (nama) Tuhanmu! Dan bersihkan pakaianmu! Dan tinggalkan perbuatan dosa
(berhala)! Jangan engkau memberi, untuk mendapatkan (balasan) yang lebih
banyak! Dan sabarlah (menurut perintah) demi Tuhanmu!” (QS.
Al-Mudatsir : 1-7).[6]
Perintah dan
petunjuk tersebut pertama-tama terjadi kepada Nabi Muhammad Saw tentang apa
yang harus dilakukan. Baik terhadap pendidikan diturunkan secara
beransur-angsur sedikit demi sedikit, setiap menerima wahyu, segera beliau
sampaikan kepada umat diiringi penjelasan-penjelasan dan contoh-contoh
bagaimana pelaksanaannya.
Disamping itu,
Nabi Muhammad SAW telah mendidik umatnya secara bertahap, ia mulai dari
keluarga dekatnya, yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi mulai diajak
istrinya Khadijah dan kemudian diikuti anak angkatnya Ali Bin Abi Thalib (anak
pamanya) Zaid bin Haritsah (seorang pembantu rumah tangganya, dan kemudian
kepada sahabat karibnya Abu Bakar Siddiq dan lain-lain, mereka disebut sebagai Al-Sabiquna
Al-Awwalun).
Pada tahap awal
pusat kegiatan pendidikan Islam tersebut diselenggarakan secara tersembunyi di
Rumah Arqam sebagai markas pusat pendidikan bagi kaum muslimin. Rumah Arqam
terletak di Bukit Shofa yang letaknya sangat baik terlindung dari penglihatan
kaum Quraiys sehingga akan memberikan keamanan dan ketenangan kepada kaum
muslimin yang sedang mengadakan kegiatan dan pertemuan untuk menerima pelajaran
atau wahyu yang disampaikan Rasulallah pada saat melakukan shalat.[7]
Sampai lebih dari tiga tahun sampai akhirnya turun petunjuk dari Allah SWT,
agar Nabi memberikan pendidikan dan seruannya secara terbuka.
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚÌôãr&ur Ç`tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÒÍÈ
Artinya : “Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. (QS. Al-Hijr : 94).[8]
Dengan turunnya
perintah tersebut, maka mulailah Muhammad SAW memberikan pengajaran kepada
umatnya secara terbuka dan meluas bukan hanya dilingkungan kaum keluarga
penduduk makkah, yang datang dalam rangka ibadah haji dan berdagang. Kegiatan
pendidikan/dakwah dijalankan tanpa mengenal lelah. Dengan usahanya yang gigih,
hasil yang diharapkan mulai terlihat sebab ajakan dan pendidikan Nabi Muhammad SAW
penuh kasih sayang dan lemah lembut.[9]
Kebutuhan
prioritas pendidikan pada masa itu adalah penanaman dan penumbuhan akidah
tauhid yang berproses selama 10 tahun pada periode Makkah, kemudian disusul
dengan pembinaan masyarakat dalam praktik ibadah pada periode madinah selama 13
tahun lebih.[10]
B.
Pendidikan Islam
Pada Masa Rasulallah SAW
Pelaksanaan
pembinaan pendidikan Islam pada zaman Nabi tersebut dapat dibedakan menjadi dua
tahap, yaitu : Pertama : Fase Makkah, sebagai fase awal pembinaan
pendidikan Islam, Makkah sebagai pusat kegiatannya, dan Kedua : Fase
Madinah, sebagai fase lanjutan (penyempurnaan) pembinaan pendidikan Islam
dengan madinah sebagai pusat kegiatannya.
1.
Pelaksanaan
Pendidikan Islam di Makkah
Allah SWT telah
mempersiapkan pada diri Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul pilihannya yang utama,
pendidik dan pembina utama yang diamatkan oleh Allah untuk menyebarkan risalah
Islam sebagai jalan dan pedoman hidup manusia seluruh alam. Nabi Muhammad Saw
dikenal sebagai sosok yang lembut, tawadhu, prilaku yang konsisten, istiqomah,
amanah, dan akhlaknya yang mulia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul
Mukminin yaitu ’Aisyah bahwa sesungguhnya
Rasulallah adalah : كَانَ خُلُقِ
الْقُرْأَنْ
(akhlak beliau adalah al-Qur’an) dalam seluruh aspek kehidupan
beliau adalah aplikasi dari ajaran al-Qur’an yang menuntun umatnya ke jalan
yang lurus dan benar.
Risalah adalah
bagan pendidikan yang Allah SWT sediakan bagi manusia. Rasul adalah pilihan
Allah yang menerima wahyu dan diperintahkan untuk menyampaikan apa yang telah
diwahyukan kepadanya. Risalah secara umum dihadapkan untuk membimbing manusia
agar beriman kepada Allah dan hari akhir, serta kebaikan dalam berinteraksi
antara sesama manusia.[11]
Awal terjadinya
pendidikan Islam semenjak Muhammad diangkat sebagai Rasul Allah di Kota Makkah,
beliau sendiri sebagai gurunya. Pendidikan masa ini merupakan proto type
yang terus menerus dikembangkan oleh umat Islam untuk kepentingan pendidikan
pada zamannya.[12] Pendidikan Islam mulai
dilaksanakan Rasulallah setelah mendapat perintah dari Allah agar beliau
menyeru kepada Allah, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an.[13]
dan penulis sudah menyajikan ayat tersebut sebagaimana diawal pendahuluan.
Dalam usahanya
Nabi Muhammad SAW menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim, Muhammad
menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat
sekitarnya. Diantara tradisi yang terdapat dikalangan masyarakatnya, yang rupanya
warisan Ibrahim adalah tradisi bertahannus, yaitu suatu cara menjauhkan diri
dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri kepada Allah, dengan
bertahannus dan berdo’a mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Muhammad
pun sering melakukan tahannus ini untuk mendapatkan petunjuk dan kebenaran dari
Tuhan.[14]
Hal ini beliau
lakukan karena melihat situasi masyarakatnya yang semakin jauh dari
prinsip-prinsip kebenaran. Muhammad memutuskan untuk banyak melakukan
kontemplasi. Orang muda yang pada zamannya dijuluki al-Amin (terpercaya)
ini ingin mendapatkan jawaban tentang situasi dan nasib manusia. Renungan yang
mendalam tentang apa yang terjadi pada masyarakatnya itu membuat dadanya sesak
dan punggungnya terasa penuh beban. Orang muda yang banyak berkontemplasi ini
akhirnya diamanahi Allah SWT untuk menjadi Nabi dan Rasul Allah. Penunjukannya
sebagai Nabi ditandai dengan turunnya wahyu Illahi ketika berada di Gua Hira.[15]
tepatnya saat beliau berusia 40 Tahun.[16]
Disanalah beliau mendapatkan apa yang dicarinya yaitu kebenaran dan petunjuk
yang berasal dari Allah. Disana pulalah Muhammad dilantik oleh Allah untuk
menjadi Rasul, menjadi pendidik bagi umatnya.[17]
Adapun wahyu pertama yaitu :
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya:
“Bacalah
dengan nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah demi
Tuhanmu yang paling pemurah, yang mengajar dengan perantara kalam, yang
mengajar manusia apa-apa yang tidak ia ketahuinya “. (QS. Al-Alaq : 1-5).[18]
Sebelum ini telah
dikemukakan bahwa wahyu diterima Muhammad SAW dengan amat berat. Dikali
pertama, menurut penuturan Nabi SAW sendiri, beliau dirangkul sedemikian keras
oleh Malaikat Jibril sehingga beliau mencapai puncak keletihan. Beliau diperintahkan
oleh Malaikat Jibril agar membaca ”Iqra” bacalah! Kata Jibril. Nabi
Muhammad Saw menjawab ”ma ana biqooriin” aku tidak dapat membaca.
Setelah tiga kali
diperintahkan demikian, barulah beliau berucap ”apa yang harus saya baca”. Lalu
Jibril menyampaikan lima ayat pertama dari firman Allah pada surat al-’Alaq
itu.
Sementara para pakar
berkata bahwa rangkulan yang demikian keras dan selama tiga kali itu untuk menekankan
pentingnya kandungan perintah, dalam hal ini membaca, dan pentingnya peristiwa
yang terjadi atas beliau itu. Sejak saat itu hingga bertahun-tahun kemudian terjalinlah
hubungan antara langit dan bumi yang selama sekian ratus tahun terputus.
Syaikh al-Buthi
mengemukakan bahwa apa yang dialami itu merupakan ”kejutan bagi Nabi Muhammad
Saw” karena tidak pernah terbayang dalam benak beliau bahwa beliau akan
ditugaskan menjadi seorang Nabi dan Rasul, dan bahwa wahyu itu bukanlah sesuatu
yang bersumber dari dalam diri beliau, tetapi itu semata-mata informasi yang
datang dari luar diri beliau. Pelukan Malaikat yang demikian keras dan terulang
tiga kali bertujuan menekankan sumber luar itu. Rasa takut itu juga membuktikan
bahwa sumber peristiwa tersebut bukan dari dalam diri beliau, karena yang ini
tidak menimbulkan rasa takut, apalagi perubahan air muka. Tidak ada kiatan
yang erat antara pemikiran dan renungan dengan rasa takut mendadak. Demikian
lebih kurang Said Ramadhan al-Buthi dalam sirahnya.[19]
Metode yang
dipergunakan oleh Nabi Muhammad SAW adalah personalisasi berdasarkan pendekatan
personal individual, kemudian meluas ke arah pendekatan keluarga yang pada
gilirannya meluas ke arah pendekatan sosiologis (masyarakat). Pendekatan
personal, keluarga, dan masyarakat tersebut merupakan proses ke arah pendekatan
sistematik yang memandang bahwa orang perorang merupakan bagian dari unit
keluarga, sedangkan keluarga menjadi subsistem masyarakat, dan masyarakat
semakin berkembang menjadi makro-sistem dalam bentuk negara.[20]
a.
Pendidikan Tauhid
DalamTeori dan Praktek
Pendidikan/ajaran
Tauhid yang intisarinya adalah bagaimana dalam surat al-Fatihah : 1-5
pokok-pokonya adalah :
1)
Bahwa Allah
adalah pencipta alam semesta dan yang sebenarnya di Atas satu-satunya yang
menguasai dan mengatur alam ini.
2)
Bahwa Allah telah
memberikan nikmat memberikan segala keperluan bagi semua makhluknya
3)
Bahwa Allah
adalah Raja hari kemudian yang memberikan pengertian bahwa segala amal
perbuatan manusia sewaktu di Dunia akan diperhitungkan disana sebesar biji sawi
4)
Bahwa Allah
adalah sesembahan yang sebenarnya, yang satu-satunya hanya kepada Allah segala
betuk pengabdian ditujukan. Bahwa Allah adalah penolong segala-galanya.[21]
5)
Bahwa Allah
sebenarnya yang membimbing dan memberi petunjuk kepada manusia dalam mengarungi
kehidupan dunia yang penuh dengan rintangan, tantangan dan godaan.[22]
Mahmud Yunus
mengatakan bahwa pembicaraan pendidikan Islam pada masa makkah meliputi :
1). Pendidikan
keagamaan.
2). Pendidikan
akliyah dan ilmiah.
3). Pendidikan
akhlak dan budi pekerti.
4). Pendidikan
jasmani (kesehatan).[23]
b. Pengajaran Al-Qur’an di Makkah
Al-Qur’an
adalah merupakan intisari dan sumber pokok ajaran Islam. Yang disampaikan
kepada manusia terbaik, Nabi terbaik, dan Rasul termulia, Muhammad SAW. Orang muslim
menyakini bahwa Al-Qur’an kitab yang mengandung Undang-undang Rabbani terbesar.
Allah SWT yang menurunkannya menjamin bahwa orang yang mengambilnya, pasti akan
bahagia di kehidupan dunia dan akherat.[24]
Tugas Muhammad disamping mengajarkan Tauhid juga mengajarkan al-Qur’an kepada
umatnya, agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya dan warisan ajaran
secara turun menurun menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum muslimin
sepanjang zaman.[25]
2.
Pelaksanaan
Pendidikan Islam di Madinah
Kedatangan
Nabi Muhammad Saw bersama kaum muslimin Mekkah, disambut oleh penduduk madinah
yang gembira penuh dengan rasa persaudaraan. Maka Islam mendapat lingkungan
yang bebas dari ancaman para penguasa quraiys Mekkah, lingkungan yang
memungkinkan bagi Nabi Muhammad Saw, untuk meneruskan dakwahnya menyampaikan
ajaran Islam dan menyebarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pembinaan
pendidikan Islam di Makkah titik beratnya adalah menambahkan nilai-nilai Tauhid
ke dalam jiwa setiap individu muslim agar dari jiwa mereka terpancar sinar
tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan
sehari-hari, sedangkan pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya adalah
merupakan lanjutan dari pendidikan Tauhid di Makkah, yaitu permintaan dibidang
sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran Tauhid sehingga akhirnya tingkah
laku sosial politiknya merupakan cerminan dan pantulan sinar Tauhid tersebut.[26]
Kebijakan
Nabi Muhammad Saw, dalam mengajarkan al-Qur’an menganjurkan pengikutnya untuk
menghafal dan menulis ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu wahyu tersebut ditulis
dan dicatat oleh dewan penulis wahyu yang disebut Kuttub al-Wahy yang
telah dibentuk oleh Rasulallah. Mereka ini terdiri dari sahabat yang telah
dapat menulis dan membaca, baik dari golongan muhajirin maupun ansor, baik
ketika masih berada di Makkah maupun di Madinah. Penulis wahyu itu antara lain
: Abu Bakar as-Shiddiq, umar ibn khattab, Utsman bin affan, ali bin abi thalib,
ubay bin khatab, Zaid bin Tsabit, Zubair bin al-Awwam dan Muawwiyah.[27]
Adapun
bentuk-bentuk pendidikan di Madinah diantaranya adalah :
a.
Pembentukan dan
Pembinaan Masyarakat Baru, Menuju Satu Kesatuan Sosial dan Politik.
b.
Pendidikan Sosial
Politik Dan Kewarganegaraan.[28]
C.
Lembaga-lembaga
Pendidikan Sebelum Madrasah
Adapun
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada sebelum kebangkitan madrasah pada
masa klasik antara lain :
1.
Shuffah.
Pada masa
Rasulallah Saw shuffah adalah suatu tempat yang telah dipakai untuk aktivitas
pendidikan. Biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan
mereka yang tergolong miskin. Disini para siswa diajarkan membaca dan menghafal
al-Qur’an secara benar dan hukum Islam di bawah bimbingan langsung dari Nabi
Muhammad SAW. Pada masa itu setidaknya telah ada sembilan Shuffah yang tersebar
di Kota Madinah. Sala satu diantaranya berlokasi di samping Masjid Nabawi.
Rasulallah Saw mengangkat Ubaid Ibn Al-Samit sebagai guru pada sekolah Shuffah
di Madinah. Dalam perkembangan selanjutnya, sekolah shuffah juga menawarkan
pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, dan ilmu fenotik.[29]
2.
Kuttab/Maktab.
Kuttab/maktab berasal
dari kata dasar yang sama, yaitu Kataba yang artinya menulis. Sedangkan
Kuttab/Maktab berarti tempat untuk menulis, atau tempat dimana dilangsungkan
kegiatan tulis menulis.[30]
Kebanyakan ahli sejarah sepakat bahwa Maktab/Kuttab adalah lembaga pendidikan
dasar.[31]
Dalam arti tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis, kemudian
meningkat pada pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan agama tingkat dasar.[32]
Philip K.
Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Kuttab ini berorientasi kepada
al-Qur’an sebagai suatu texbook. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan
menulis, kaligrafi, gramatikal, bahasa Arab, sejarah hadits Nabi.[33]
Sejak
abad ke-8 M, kuttab mulai mengajarkan pengetahuan umum di samping ilmu agama.
Hal ini terjadi akibat adanya persentuhan antara Islam budaya Helenisme.[34]
Sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam.
Bahkan dalam perkembangan berikutnya Kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu Kuttab
yang mengajarkan pengetahuan non agama (seculer learning) dan Kuttab yang
mengajarkan ilmu agama (religius learning).
Dengan
adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa Kuttab pada awal
perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya
persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga pendidikan terbuka
terhadap pengetahuan umum termasuk didalamnya adalah filsafat.[35]
3.
Halaqah
Halaqah
artinya lingkaran. Lembaga ini secara umum dikenal dengan sistem halaqah.
Seorang guru biasanya duduk di atas lantai sambil menerangkan, membacakan
karangannya, atau komentar orang lain terhadap suatu karya pemikiran.
Murid-muridnya akan mendengarkan penjelasan guru dengan duduk di atas lanati
yang melingkari gurunya. Metode ini bahkan masih berkembang sampai sekarang
seperti di Pesantren-pesantren.
Kegiatan
halaqah bisa terjadi di Mesjid-mesjid atau di Rumah-rumah. Halaqah yang di
Rumah biasanya dilaksanakan oleh seorang Ulama dengan mengundang ulama-ulama
lain atau murid-muridnya untuk berdiskusi atau berdebat atau mengajar kepada
murid-muridnya.[36]
Kegiatan
di Halaqah ini tidak khusus untuk untuk mengajarkan atau mendiskusikan ilmu
agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum termasuk filsafat. Oleh karena itu
Halaqah dikelompokan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu
pengetahuan umum. Halaqah dikategorikan ke dalam lembaga pendidikan tingkat
lanjutan yang setingkat dengan college.[37]
4.
Majlis
Istilah
majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama Islam. Mulanya ia
merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar, pada perkembangan
berikutnya disaat dunia pendidikan Islam mengalami zaman keemasan, majlis
berarti sesi di mana aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung. Dan
belakangan ini majlis diartikan sebagai sejumlah aktifitas pengajaran, sebagai
contoh, majlis al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh Nabi, atau majlis
Al-Syafi’i artinya majlis yang mengajarkan fiqih Imam Syafi’i.
Seiring
dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam, majlis digunakan sebagai kegiatan
transper ilmu pengetahuan sehingga majlis banyak ragamnya. Menurut Muniruddin
Ahmed ada 7 macam majlis, sebagai berikut :
1).
Majlis al-Hadits.
Majlis
ini biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang ilmu
hadits.
2). Majlis al-Tadris.
Majlis ini
biasanya menunjuk kepada majlis selain dari pada hadits, seperti majlis fiqih,
majlis nahwu, atau majlis kalam.
3). Majlis Al-Munaszarah.
Majlis ini
biasanya digunakan untuk berdiskusi dan berdebat tukar pandangan antara para
ulama intelektual.
4). Majlis al-Mudzakarah.
Majlis ini
merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadits. Majlis ini
diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan
mengulang pelajaran yang sudah diberikan sambil menungguh kehadiran guru.
5). Majlis al-Syu’ara.
Majlis ini
diselenggarakan sarana belajar syair dan kontes syair.
6). Majlis Adab.
Majlis ini
adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah dan
laporan bersejarah bagi orang-orang yang terkenal.
7). Majlis al-Fatwa dan al-Nazar.
Majlis ini
digunakan untuk mencari keputusan suatu masalah dibidang hukum kemudian
difatwakannya.[38]
5.
Masjid.
Masjid
merupakan lembaga pendidikan Islam yang sudah ada sejak masa Nabi. Ia mempunyai
peranan penting bagi masyarakat Islam sejak awal sampai sekarang. Masjid
berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, tempat ibadah, tempat pengadilan dan
sebagainya.[39] Kemudian pada masa
khalifah Bani Umayyah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu
pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan. Pada masa Bani Abbas dan masa
perkembangan kebudayaan Islam. Masjid-masjid yang didirikan oleh para penguasa
pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas untuk
pendidikan.[40]
Kurikulum
pendidikan di Masjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh
pejabat-pejabat pemerintah seperti Qadhi, Khotib, dan Imam masjid. Melihat
keterkaitan antara masjid dan kekuasaan dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
masjid merupakan lembaga pendidikan formal.[41]
6.
Khan
Khan mempunyai
beberapa fungsi pada masa klasik. Di Kota Khan difungsikan sebagai penyimpanan
barang-barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki
banyak toko. Tidak sedikit khan dijadikan sebagai benda wakaf yang menghasilkan
uang yang disalurkan bagi kebutuhan umum. Misalnya, khan al-Narsi yang
beralokasi di Alun-alun Karkh di Baghdad bagian barat, penghasilannya
disalurkan untuk perawatan sebuah jembatan di Sungai Tigris.
Selain
fungsi di Atas, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid-murid dari luar
kota yang hendak belajar hukum Islam disuatu masjid.[42]
Disamping itu juga khan digunakan sebagai sarana belajar privat.[43]
7.
Ribath
Ribath
adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan
duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata ibadah. Juga memberikan
perhatian terhadap kegiatan keIlmuan yang dipimpin oleh seorang Syaikh yang
terkenal denga ilmu dan kesalehannya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah
munculnya madrasah, banyak madrasah yang dilengkapi dengan ribath-ribath. Sejak
masa dinasti Saljuk, madrasah dan ribath diorganisir dalam satu garis kebijakan
yang sama yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.[44]
8.
Rumah-rumah Ulama
Para
ulama di Zaman klasik banyak yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk
kegiatan belajar mengajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini umumnya
disebabkan karena ulama yang bersangkutan tidak memungkinkan memberikan
pelajaran di Masjid. Sedangkan para pelajar banyak yang berniat untuk
mempelajari ilmu darinya, seidaknya itulah yang dilakukan oleh al-Ghazali
ketika ia memilih kehidupan sufi.[45]
9.
Toko-toko buku
dan perpustakaan
Toko-toko
buku dan perpustakaan juga berperan sebagai tempat untuk transmisi ilmu dalam
Islam.[46]
Pada awalnya memang hanya menjual buku-buku tapi berikutnya menjadi sarana
untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering dirancang dan
dilaksanakan disitu.
Di
samping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan
transmisi keilmuan Islam. Penguasa-penguasa mendirikan perpustakaan umum,
sedangkan perpustakaan pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja
atau istana raja-raja.
Seorang
pelopor pendiri perpustakaan adalah khalifah al-Ma’mun dari dinasti abbasiyah,
kemudian diikuti oleh penguasa setelahnya.[47]
10.
Observatorium dan
Rumah Sakit
Rumah
sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan
mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang
berhubungan dengan perawatan dan pengobatan.[48]
Disamping perpustakaan, penguasa juga mendirikan observatorium sebagai sarana
untuk kajian-kajian terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat yunani, seperti di
Baithul Hikmah yang dibangun oleh al-makmun di Baghdad pada 828 M diperlengkapi
dengan observatorium.[49]dengan
mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau
farmasi.[50]
11.
Badiah (Padang
Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)
Semenjak
berkembang luasnya Islam, bahasa arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar
oleh bangsa-bangsa diluar Arab yang beragama Islam. Namun bahasa arab disitu
cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih
melafadzkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahasa arab, sehingga bahasa
arab menjadi bahasa pasaran. Namun tidak demikian halnya di Badiah-badiah,
mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian
badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa arab yang amat asli dan murni.
Oleh
karena itu badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli
dan murni. Sehingga banyak anak-anak khalifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu
pengetahuan pergi ke Badiah-badiah dalam rangka mempelajari ilmu bahasa dan
kesusastraan arab. Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga
pendidikan.[51]
D.
Penutup.
Pada
zaman Nabi Muhammad SAW, pendidikan Islam secara Institusional telah berproses
secara mapan dengan embrio model pendidikan, seperti halaqah, majlis, kuttab
dan lain-lain. Hal ini dimungkinkan mengingat pendidikan memiliki peranan
strategis dalam penanaman nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat.
Kurikulum
yang ada pada lembaga pendidikan Islam masa klasik berpusat pada ilmu-ilmu
keagamaan, seperti membaca dan menghafal al-Qur’an sebagai awal dasar
pengetahuan agama diiringi dengan ilmu hadits, tafsir, bahasa dan fiqih/ushul
fiqih. Namun perkembangan selanjutnya ketika agama Islam bersentuhan dengan
Helenisme maka corak kurikulum tidak lagi berkisar pada ilmu agama, tetapi ilmu
umum dipelajari seperti, ilmu kealaman, matematika, kedokteran dan lain
sebagainya.
[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam
; Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakata : PT. Raja Grafindo Persada,
2004), h. 29.
[2] Abdul Majid, dan Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi ; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004,
(Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 130.
[3] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : PT. Diadit
Media, 2010), h. 175.
[4] Ibid, h. 176.
[5] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Surabaya : PT. Al-Hidayah, 1998), h. 1079.
[6] Eneng Muslihah, Ilmu Pendidikan Islam,Op-Cit.,
h. 176.
[7] Sukarno, dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung : PT. Angkasa, 1983), h. 31.
[8] Ibid, h. 177.
[11] Abdul Hamid Al-Hasyimi, Mendidik Ala
Rasulallah ; Bagaimana Rasulallah Mendidik, Kitab tersebut diterjemahkan
oleh Ibn Ibrahim, (Jakarta : PT. Pustaka Azzam, 2001), h. 43.
[15] Gua Hira berada dipuncak gunung/bukit, arah sebelah kiri dari jalan menuju
ke Mina. Tingginya dari permukaan laut sekitar 621 m, sedang dari permukaan
tanah sekitar 281 m, untuk mendakinya, bagi orang kebanyakan, diperlukan waktu
sekitar satu jam.
[16] Muhammad Abdul Karim, Sejarah
Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta : PT. Book Publisher, 2007), h.
63.
[18] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Op-Cit, h. 1079.
[19] M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW ; Dalam Sorotan
Al-Qur’an Dan Hadits-Hadits Shahih, (Jakarta
: PT. Lentera Hati, 2011), h. 324-325.
[23] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), h. 5-6.
[24] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi
Muslim ; Minhajul Muslim, (Jakarta : PT. Darul Falah, 2003), h. 28.
[26] Ibid, h. 180.
[27] A. Chaerudji Abdul Chik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : PT. Diadit Media, 2007), h. 48.
[32] Abuddin Nata, Op-Cit, h. 33.
[33] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang), h. 17.
[34] Helenisme adalah Kebudayaan Yunani Pada
Masa Dulu Yang Mempengaruhi Pola Pikir, Pius A Partanto, dan M. Dahlan
Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : PT. Arkola, 1994), h. 216.
[37] Abuddin Nata, Op-Cit, h. 35.
[38] Ibid, h. 36-37.
[44] Ibid, h. 39-40.
[45] Ibid, h. 40.
[48] Ibid, h. 41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar