A. Pendahuluan
Berbicara
mengenai lembaga pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau
konsep Islam itu sendiri mengenai pendidikan. Pendidikan Islam merupakan wujud
dari pengaruh berbagai kebudayaan atau peradaban yang pernah ada dalam sejarah.
Namun demikian para ahli pendidikan Islam biasanya berpandangan bahwa pendidkan
Islam memiliki karakter dan tujuannya sendiri yang khas, karena didasarkan
kepada tujuan yang bersifat metafisis-transendental, yaitu untuk mencapai
keridhaan Allah SWT, di dunia dan akhirat.
Karena itu, ilmu
pengetahuan menempati kedudukan yang tinggi dan terhormat di dalam konsep
pendidikan Islam, tetapi ilmu pengetahuan itu bukanlah tujuan dalam dirinya
sendiri. Tujuan ilmu pengetahuan digariskan berdasarkan tuntunan wahyu, sebab
ilmu pengetahuan itu sendiri berasal dari wahyu. Ilmu pengetahuan memperoleh maknanya yang hakiki jika ia
mampu menghantarkan manusia (Penuntut ilmu) kepada tujuannya yang hakiki pula,
yaitu kedekatan (taqarub) kepada Allah Swt, dan kebaikan kepada sesama manusia
(akhlakul karimah)
Karena itu akhlak menempati
posisi penting, bahkan sentral dalam pendidikan Islam. Hal ini merupakan
kelanjutan logis dari pernyataan nabi Muhammad Saw, sendiri bahwa beliau diutus
membawa agama Islam ke dunia ini untuk penyempurnaan keluhuran akhlak budi
manusia. Jika demikian, pendidikan dalam Islam merupakan sarana untuk menuju
kearah penyempurnaan akhlak budi.
Dengan kata lain, pendidikan
dalam Islam adalah fungsi untuk mencapai keluhuran akhlak budi, sedangkan
lembaga pendidikan adalah aspek material untuk menjalankan fungsi tersebut.
Pendidikan adalah substansinya, sedangkan lembaga pendidikan adalah institusi
atau pranatanya yang telah terbentuk secara ajeg dan mapan di tengah-tengah
masyarakat.
Pendidikan yang
dilaksanakan pada masa awal perkembangan Islam berfilsafat informal yang
penamaan lebih terkait dengan upaya-upaya dakwah Islamiyah, penyebaran dan
dasar-dasar kepercayaan serta ibadah Islam. Sedangkan pendidikan formal Islam
baru muncul dengan kebangkitan madrasah.
Lembaga pendidikan madrasah
adalah kelanjutan dari lembaga pendidikan dalam bentuk masjid, karena banyaknya
murid-murid yang datang dari luar kota untuk belajar di masjid menuntut adanya
tempat tinggal yang disebut dengan khan (semacam asrama) sehingga terjadi
perubahan dari masjid kemasjid khan. Selanjutnya dari masjid khan berubah
kebentuknya ke bentuk madrasah.
Dengan adanya madrasah
bertanda bahwa pendidikan Islam telah mengalami kemajuan pesat. Masjid yang
telah tumbuh sejak masa awal Islam pada dasarnya hanya berfungsi sebagai tempat
ibadah dengan sedikit kegiatan pendidikan didalamnya. Masjid khan walaupun
telah menyelenggarakan kegiatan pendidikan namun kegiatan pendidikan bukanlah
merupakan faktor utama. Dengan adanya madrasah maka kegiatan pendidikan semakin
sempurna. Madrasah bukanlah sebagai pengganti masjid kenyataanya madrasah
mempunyai masjid didalamnya namun rumah ibadah bukanlah fungsi utama dari madrasah.
B.
Pengertian Madrasah
Kata "madrasah"
dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (dzharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah
"madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar",
atau "tempat untuk memberikan pelajaran".[1]
Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras"
yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat
belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai
"rumah untuk mempelajari kitab Taurat".
Kata
"madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari
akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan
belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut,
kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar".
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah"
memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah"
itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari Bahasa asing, yaitu
school atau sekolah. Menurut
pandangan
Malik Fadjar
pengertian madrasah secara umum dapat diartikan sebagai sekolah umum yang
bercirikhas Islam yang menjadi bagian keseluruhan dari sistem pendidikan
nasional.[2]
Madrasah pada
awal perkembangannya mempunyai beberapa pengertian, diantaranya: berarti aliran
atau mazhab, kelompok atau golongan filosuf, dan ahli pikir atau penyelidik
tertentu yang berpegang pada metode atau pemikiran yang sama.[3]
Pandangan-pandangan atau aliran itu timbul sebagai akibat perkembangan ajaran
agama Islam dan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam, sehingga mereka berusaha
untuk mengembangkan mazhab masing-masing, khususnya pada periode Islam klasik.
Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pemikiran,
mazhab, atau aliran tersebut, misalnya madrasah Syafi`iyah, Hanafiyah,
Malikiyah dan Hambaliyah.[4]
Sejauh ini
tampaknya belum ada data yang pasti kapan istilah madrasah itu muncul, akan tetapi nama tersebut
diistilakan sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran, hal ini mulai digunakan di Indonesia. Para peneliti
sejarah pendidikan Islam pun pada umumnya lebih tertarik membicarakan sistem
pendidikan atau pengajaran tradisional Islam yang mana pengajaran tersebut dilaksanakan baik di
masjid,[5]
surau dalam
istilah (Minangkabau), dayah atau rangkang
(Aceh), pesantren istilah
(Jawa). [6]
Dalam uraian
Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga mentri disebutkan bahwa madrasah adalah
lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata
pelajaran dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran
umum.[7]
Secara teknis,
yakni dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda
dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai
sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni
"sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh
pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam).
Dalam prakteknya
memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum
al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah
umum. Selain
itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama,
yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah"
berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga
pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau
"tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan".
Para ahli sejarah
pendidikan seperti A.L.Tibawi dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah
(bahasa Arab) merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas di dunia Islam
(klasik) pra-modern. Artinya,
secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan
madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Para peneliti sejarah pendidikan
Islam menulis kata tersebut secara bervariasi misalnya, schule atau hochschule
(Jerman), school, college atau academy (Inggris).
Nakosteen menerjemahkan
madrasah dengan kata university (universitas). la juga menjelaskan bahwa
madrasah-madrasah di masa klasik Islam itu didirikan oleh para penguasa Islam
ketika itu untuk membebaskan masjid dari beban-beban pendidikan
sekuler-sektarian. Sebab sebelum ada madrasah, masjid ketika itu memang telah
digunakan sebagai lembaga pendidikan umum. Tujuan pendidikan menghendaki adanya
aktivitas sehingga menimbulkan hiruk-pikuk, sementara beribadat di dalam masjid
menghendaki ketenangan dan kekhusukan beribadah. Itulah sebabnya, kata
Nakosteen, pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam
masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Maka dicarilah lembaga
pendidikan alternatif untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum,
dengan tetap berpijak pada motif keagamaan. Lembaga itu ialah madrasah.[8]
C.
Latar Belakang Berdirinya Madrasah
Lahirnya lembaga pendidikan
formal dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan
pendidikan yang pada awalnya berlangsung di masjid-masjid. Motivasi yang mendasari kelahiran madrasah, yaitu
selain motivasi agama dan motivasi ekonomi karena berkaitan dengan
ketenagakerjaan, juga motivasi politik. Dengan berdirinya madrasah, maka
pendidikan Islam memasuki periode baru yaitu “pendidikan menjadi fungsi bagi
Negara, dan sekolah-sekolah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan
indoktrinasi politik”.[9]
Tercatat dalam sejarah, bahwa segera setelah
wafatnya Rasulullah, persoalan yang pertama timbul dalam Islam adalah persoalan
politik itu kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Ini berarti bahwa
persoalan politik timbul mendahului perkembangan pemikiran, atau dengan kata
lain yang menjadi pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah
politik.
Latar belakang sejarah yang
demikian itu, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan dan ilmu
pengetahuan dalam Islam pada masa-masa selanjutnya. Sejalan dengan perkembangan
masyarakat dan sebagai hasil persentuhan dengan kebudayaan lain, berkembang
pemikiran-pemikiran dibidang fiqh dan hadits, filsafat, serta tasawuf. Namun
demikian tampak bahwa persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan
pergumulan pemikiran itu. Sejarah Islam memang mencatat bahwa antara aliran
pemikiran dan kekuasaan saling mengambil keuntungan. [10]
D. Kurikulum
Pendidikan Islam Sebelum Berdirinya
Madrasah
Berbicara mengenai
kurikulum pendidikan Islam sebelum adanya madrasah dapat dikategorikan menjadi
3 bagian:
1.
Kurikulum Pendidikan
Rendah
Mata pelajaran yang
terdapat pada pendidikan rendah adalah Al-Qur’an, agama, membaca, menulis, dan
syair.dalam beberapa hal kadang-kadang ditambah pula dengan mata pelajaran
An-Nahwu,cerita-cerita, dan belajar berenang. Ada pula diantaranya kurikulum
yang berisi mata pelajaran yang terbatas pada menghafal Al-Qur’an dan
mengajarkan beberapa dasar-dasar pokok
agama. [11]
2.
Kurikulum Pendidikan
Menengah
Kurikulum tingkat
menengah yaitu: Al-Qur’an, Fiqih, Tafsir, Hadits, Nahu/Saraf/Balaghah,
Ilmu-ilmu Pasti, Mantiq, Falak, Tarikh, Kedokteran dan Ilmu Alam.
3.
Kurikulum Pendidikan
Tinggi
Umumnya perguruan
tinggi itu terdiri dari dua jurusan, yaitu:
a.
Jurusan Ilmu-ilmu
Agama dan bahasa Arab serta kesusastraannya. Ibnu Khaldum menamai ilmu itu:
Ilmu Naqliyah
b.
Jurusan Ilmu-ilmu
hikmah (filsafat). Ibnu Khaldum menamainya: Ilmu ‘Aqliyah.[12]
E.
Madrasah Pra Nizamiyah
Sebelum berdiri Madrasah
Nizamiyah pada abad ke-5 Hijrah, di kalangan masyarakat Islam telah terdapat
beberapa lembaga pendidikan. Para ahli sejarah terutama yang mengkhususkan
penelitiannnya pada sejarah pendidikan Islam mencoba memberikan klasifikasi
terhadap lembaga pendidikan. Bentuk-bentuk lembaga pendidikan Islam tersebut
antara lain sebagai berikut :
1.
Kuttab untuk belajar
menulis dan membaca
Dimasa sebelum datangnya
agama Islam, kuttab (tempat untuk member pelajaran rendah) telah ada juga
dinegeri Arab, kendatipun belum tersiar betul. Diantara penduduk Mekkah yang
mula-mula belajar menulis huruf arab adalah Sofyan Ibnu Umaijah Ibnu Abdu
Sjams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhrah Ibnu Kilab. Kedua orang ini
mempelajarinya dari Bisjr Ibnu Abdil Malik yang mempelajarinya dinegeri Hijrah. [13]
Maktab pada masa ini merupakan
kelanjutan dari Kuttab, para ahli sejarah pendidikan Islam sepakat bahwa
keduanya merupakan istilah yang sama, dalam arti lembaga pendidikan Islam
tingkat dasar yang mengajarkan membaca dan menulis, kemudian meningkat kepada
pengajaran al-Qur’an dan pengetahuan agama tingkat dasar. Namun demikian, ada
juga yang membedakan keduanya dalam fase, yaitu bahwa maktab adalah
istilah lembaga pendidikan Islam untuk zaman modern, sedangkan kuttab
adalah istilah pendidikan untuk zaman klasik[14]
Mengenai waktu belajar di Kuttab,
dimulai dari hari Sabtu pagi sampai dengan hari Kamis siang dengan materi
sebagai berikut: Al-Qur’an, dari pagi sampai dengan Dhuha. Menulis, dari
Dhuhasampai dengan Zhuhur, dan Gramatika Bahasa Arab, matematika dan Sejarah,
ba’da Zhuhur sampai dengan siang.[15]
2.
Pendidikan rendah
diistana-istana
Adalah satu hal yang terang
dan jelas menurut kaum muslimin semenjak zaman-zaman bahari mereka, bahwa
rencana pelajaran itu haruslah berbagai rupa, selaras dengan hari depan murid-murid
dan pekerjaan-pekerjaan yang menunggu mereka dalam masyarakat.
Maka timbullah pemikiran
pendidikan permulaan diistana kalifah-kalifah dan pembesar-pembesar, dimana
putera-putera mereka mendapat pendidikan, untuk menyiapkan mereka agar dapat
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat yang akan dipikulkan keatas pundak
mereka dimasa depan.
Sehubungan dengan pelajaran
diistana-istana ini, kaum Fathimijin telah melangkah lebih luas dalam hal ini.
Mereka mendirikan diistana-istana sekolah-sekolah khusus untuk putera- putera
pembesar dan orang-orang kaya. Dalam mendidik putera- putera itu,
pendidik-pendidik disekolah-sekolah ini mempunyai suatu rencana khusus yang
diarahkan kepada:”menyiapkan putera-
putera itu untuk berbakti kepada kalifah-kalifah dan menduduki jabatan-jabatan
penting dalam pemerintahan.” . [16]
3.
Kedai-kedai saudagar
kitab
Kedai-kedai kitab telah
lahir sejak permulaan kerajaan Bani Abbas, kemudian tersiarlah dengan amat
pesatnya diseluruh ibukota dan berbagai negeri dalam alam Islami. Tiap-tiap
kota dan negeri ini telah mempunyai sejumlah kedai-kedai kitab. Al Ja’qubi
dalam memaparkan tentang desa-desa sekitar kota Baghdad menyebutkan: “Ada lagi
sebuah desa, yaitu desa Wadhah sahaya Amiru’l Mu’minin, didesa ini ada 100 buah
lebih kedai kitab”. Sedang di Mesir di zaman kerajaan Thuluniah dan Ichsjidiah
ada sebuah pasar besar untuk saudagar-saudagar kitab. Disitu dijual buku-buku,
dan kadang-kadang dikedai-kedainya dilangsungkan munazharah- munazharah
(diskusi-diskusi).
Saudagar-saudagar buku ini
bukanlah semata-mata manusia yang mencari keuntungan dan laba, akan tetapi
kebanyakannya adalah sastrawan-sastrawan yang cerdas, yang telah memilih usaha
ini agar mereka mendapat kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta
bergaul dengan para ulama dan pujangga-pujangga. Karena itu diantara
saudagar-saudagar kitab itu terdapat tokoh-tokoh yang cemerlang diantaranya
yaitu: Ibnun Nadim pengarang “Al
Fihrist”. [17]
4.
Masjid
Fungsi masjid sebagaimana
dijelaskan dalam berbagai literatur, bukan sekedar berfungsi sebagai tempat
beribadah saja,melainkan juga berfungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan
dankebudayaan.
Sistem pembelajaran didalam
masjid, berbentuk halaqah, berkembang dengan baik pada masa Abbasiyah, sejalan
dengan munculnya bermacam-macam pengetahuan agama, sehingga terkadang didalam
suatu masjid besar terdapat beberapa halaqah dengan materi pembelajaran berbeda
seperti; nahu, ilmu kalam, fiqh, dan lain-lain. Ini terjadi di masjid al Kasai
dan al Manshur di Bagdad.
Masjid lainnya yang juga
terkenal sebagai pusat kegiatan pendidikan ialah masjid Jami’ Damaskus.
Didalamnya terdapat halaqah-halaqah pembelajaran bagi murid, guru yang mengajar
mendapat gaji yang lumayan. Ada sebuah pojok tempat belajar murid-murid Imam
Malik dan pojok yang lain belajr murid-murid Imam Syafe’i. demikian pula di
masjid Jami’Amr di Mesir, yang juga terdapat beberapa pojok, tempat murid-murid
belajar didalamnya. [18]
5.
Rumah-rumah para
Ulama (Sarjana)
Menurut pandangan
kaum muslimin rumah itu bukanlah suatu tempat yang baik untuk member pelajaran
umum, karena penghuni rumahataupun pelajar tidak dapat merasakan kesentosaan
disitu, dan amat sukarlah mereka menyesuaikan antara ketentraman dan keagungan
rumah, dengan kesibukan dan kebisingan pelajaran.[19]
Allah telah berfirman
di dalam Al-Qur’an tentang hal ini
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? |Nqãç/ ÄcÓÉ<¨Z9$# HwÎ) cr& cs÷sã öNä3s9 4n<Î) BQ$yèsÛ uöxî tûïÌÏà»tR çm9tRÎ) ô`Å3»s9ur #sÎ) ÷LäêÏãß (#qè=äz÷$$sù #sÎ*sù óOçFôJÏèsÛ (#rçųtFR$$sù wur tûüÅ¡Ï^ø«tGó¡ãB B]ÏptÎ: 4 ¨bÎ) öNä3Ï9ºs tb%2 Ï÷sã ¢ÓÉ<¨Z9$# ¾ÄÓ÷ÕtFó¡usù öNà6ZÏB ( ª!$#ur w ¾ÄÓ÷ÕtFó¡o z`ÏB Èd,ysø9$# 4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk
Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu
diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik
memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi
lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar…” (Al-Ahzab: 53).[20]
Sebelum masjid
dibangun, Rasulullah s.a.w telah memakai rumah Al Arqam Ibnu Abil Arqam sebagai
tempat beliau berkumpul dengan sahabat-sahabat dan pengikut-pengikut beliau.
Dirumah itulah beliau mengajarkan kepada mereka pokok-pokok dari agama yang
baru, serta membacakan ayat-ayat dari Al-Quranul Karim. Dan dirumah itu pulalah
nabi menerima orang-orang yang telah
cenderung hatinya kepada Islam, maka dipenuhilah oleh nabi hati mereka dengan
petunjuk-petunjuk dan pelajaran-pelajaran. Dengan demikian mereka anut agama
Islam, dan bergabunglah mereka kedalam golongan kaum muslimin. [21]
Diantara rumah-rumah
yang amat penting adalah rumah Ar-Rais Ibnu Sina, Al-Djurdjani teman beliau
menerangkan: “Dirumah Ibnu Sina berkumpul pada tiap-tiap malam
penuntut-penuntut ilmu.
6.
Perpustakaan
(al-Maktabah)
Salah satu
perpustakaan yang terkenal, yaitu Bait al-Hikmah, didirikan oleh Harun
al-Rasyid. Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan karena sebagaimana
diketahui, bahwa pada masa dulu, buku-buku sangat mahal harganya, ditulis
dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secara
pribadi. Oleh karena itu, bagi pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan
ini sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan untuk selanjutnnya dikembangkan.
Perpustakaan tersebut,
dikelola oleh beberapa ahli dari berbagai latar belakang agama dan kebudayaan, seperti
Yuhana ibn Maskawaih (Nasrani Suryani), menterjemahkan buku kedokteran lama,
Abu Nubikht (Persia), menterjemahkan buku-buku bahasa Persia, Alan al-Syu’ubi
(Persia), menterjemahkan buku-buku Yunani dan Persia semuanya kedalam bahasa
Arab. [22]
Dimasa al-Ma’mun,
perkembangan perpustakaan ini semakin lebih pesat lagi, setelah adanya kontak
dengan berbagai daerah dalam usaha memperoleh buku-buku untuk diterjemahkan
kedalam bahasa Arab. Mereka yang bekerja diantaranya: al-Hajjaj ibn Matar, ibn
al-Bathariq, Salman dan Yatmi Hunain ibn Ishak. [23]
7.
Salun Kesusasteraan
Salun kesusasteraan
adalah suatu majelis khusus yang diadakan oleh para khalifah untuk membahas
berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis seperti ini sebenarnya sudah ada sejak
zaman Khulafa’al Rasyidin, dan diadakan di masjid. Namun pada masa Umayyah,
pelaksanaannya dipindahkan ke istana dan hanya dihadiri oleh orang-orang
tertentu saja. Salun sastra yang berkembang adalah salun disekitar para
khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendikiawan sahabatnya. Majelis sastra
ini menjadi tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu
pengetahuan.[24]
8.
Al-Ribath
Ribath adalah tempat
kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan
mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Juga memberikan perhatian
terhadap keilmuan yang dipimpin oleh syeikh yang terkenal dengan ilmu dan
kesalehannya. [25]
Ribath biasanya
dihuni oleh orang-orang miskin yang bersama-sama melakukan kegiatan sufidtik.
Bangunan ribath mereka jadikan tempat tinggal untuk beribadah dan mengajarkan
pelajaran agama.
9.
Al-Zawiyah
Zawiyah merupakan
tempat berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas
dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama serta
digunakan oleh para sufi sebagai tempat untuk halaqah berzikir dan tafakur
untuk mengingat danmerenungkan keagungan Allah SWT.
Kata zwiyah berasal
dari kata inzawa,yanzawi berarti mengambil tempat tertentu dari sudut masjid
yang digunakan untuk I’tikaf (diam) dan beribadah.
Menurut Stanton, madrasah
yang pertama kali didirikan adalah madrasah Wazir Nizhamiyah pada 1040M;
madrasah ini dikenal dengan sebutan madrasah Nizhamiyah. Namun penelitian lebih
akhir, misalnya yang dilakukan oleh Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi
madrasah-madrasah lebih tua berada dikawasan Nisyapur Iran. Pada sekitar tahun
400H/1009M terdapat madrasah Al-Baihaqiyah yang didirikan oleh Abu Hasan ‘Ali
Al-Baihaqi (W. 414H/1023M).
Bulliet bahkan lebih jauh
menyebutkan ada 39 madrasah di wilayah Persia yang berkembang dua abad sebelum
madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah madrasah Niandahiya yang didirikan Abi
Ishaq Ibrahin ibn Mahmud di Nisyapur. Pendapat ini didukung Naji Ma’ruf, yang
menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum
kemunculan madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya Abdul Al-‘Al mengemukakan, pada masa
Sultan Mahmud Ghaznawi Sa’idiyah (berkuasa 388-421H/998-1030 M) juga terdapat
Madrasah Sa’idiyah.
Kurikulum madrasah yang
diajarkan di Nisyapur tersebut meliputi agama dan filsafat. Pada masa periode
ini telah muncul term ijazah. Ijazah pada waktu itu merupakan sebuah lembaran
kertas yang menunjukkan bahwa sang penerima diberikan wewenang untuk mengajar
apa yang dimaksud oleh ijazah tersebut. Namun ijazah ini mempunyai skop yang
terbatas yang hanya diberikan seorang guru kepada pelajar yang dianggap telah
mampu menyebarkan ilmu pengetahuan yang diterimanya.[26]
F.
Kesimpulan
Madrasah sebagai sebuah
institusi yang lahir karena kondisi sosial politik masa itu, motivasi yang
mendasari berdirinya lembaga pendidikan Islam selain motivasi agama, sosial,
dan ekonomi juga didorong oleh motivasi politik. Dengan berdirinya madrasah
maka dunia pendidikan dalam Islam memasuki fase baru, yaitu lembaga pendidikan
menjadi fungsi bagi Negara untuk doktrinisasi dan
sebagai pembentukan kader negara. Meskipun madrasah sebagai lembaga
pendidikan dan pengajaran di dunia Islam baru timbul sekitara abad ke 4 H, ini
bukan berarti bahwa sejak awal perkembangannya Islam tidak mempunyai lembaga
pendidikan dan pengajaran, bahkan pendidikan Islam lahir bersamaan dengan
lahirnya Islam
Pada awal masa perkembangan
Islam yang dibawah Nabi Muhammad Saw pendidikan yang sistematis formal
nampaknya belum terselenggara, sebab pendidikan yang berlangsung saat itu pada
umumnya dapat dikatakan masih bersifat informal yang berkaitan dengan upaya-upaya
dakwah islamiyyah. Dan hal itu berlangsung di rumah sahabat Nabi. Baru setelah
masyarakat Islam terbentuk maka masjidlah yang kemudian menjadi pusat kajian.
Sedang proses pendidikan
formal pada masa lebih belakangan saja baru muncul dengan kebangkitan madrasah
sebagai institusinya, seperti Madrasah Miyan Dahiyah yang didirikan Abu Ishaq
Ibrahim ibn Mahmud di Nashapur 2 abad sebelum Nidhomiyyah, Madrasah Sa’idiyah
pada masa Sultan Mahmud Al-Ghaznawi yang berkembang 165 tahun sebelum
Nidhomiyyah, serta Madrasah Nidhomiyyah itu sendiri (1064) yang dikenal
madrasah Nidhom Al-Mulk (Bulliet, 1972) hingga kita kenal lembaga-lembaga
pendidikan formal saat ini.
Pelaksanaan pendidikan
madrasah pada masa sebelum berdirinya madrasah Nizamiyah berpusat pada seorang guru
(teacher centered). Guru merupakan seorang ulama yang dipandang
mempunyai kompetensi keilmuan yang dalam dan luas. Seorang guru menetapkan
tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pendidikan, menetapkan materi yang
akan diajarkannya, dan guru juga menentukan kelulusan seorang murid.
[1] Abu Luwis al-Yasu`I, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-Munjid Fi
al-A`lam, (Beirut, Dar al-Masyrik, tth), cet. Ke-23, h. 221
[4] Badri Yatim, et. al., Sejarah Perkembangan Madrasah,
(Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1999), h. 8.
[5] Secara terminologis,
masjid adalah tempat melaksanakan aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada
Allah. Lihat: M. Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur`an, (Bnadung: Mizan, 1996), cet. Ke-2, h. 459.
[6] Sistem pendidikan pesantren, mendasarkan
filsafat pendidikannya pada filsafat theocentris,
yang memandang bahwa aktivitas pendidikan dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan
dan merupakan bagian integral dari totalitas kehidupan muslim, sehingga belajar
dan mengajar di pesantren sebagai ibadah kepada Tuhan, sehingga penyelenggaraan
pesantren “di bawah bayang-bayang Tuhan”, sukarela dan dijadikan sebagai media
pengabdian kepada sesama manusia dalam rangka mengabdi kepada Tuhan. Hal ini
juga tercermin dari kearifan dan kesederhanaan hidupnya sehari-hari yang
menyiratkan semacam kesadaran transcenental. Lihat: Tata Taufiq, Rekontruksi Pesantren Masa Depan,
(Jogyakarta: Pilar Media, 2007), h. 3.
[8] Mehdi Nakoosteen, Kontribusi
Islam atas Dunia Intelektual Eropa Deskripsi Analisis abad Keemasan Islam, (Surabaya:
Risalah Gusti, 1996), hlm. 15-16
[9] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1978), hlm. 69
[10] Zuhairini, Op. Cit., hlm. 50
[11] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana,
2007), hlm. 127
[12] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1992), hlm.55-57.
[13] Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), hlm. .33.
[14] Ahmad Syalabi, History of Moslem Education, (Beirut: 1954), hlm. 16.
[15] Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos), hlm. 49
[16] Ahmad Syalabi, Op. Cit., hlm. 48
[17] Ibid., hlm. 53
[18] Carles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Terj.
Afandi dan Hasan Asari, (Jakarta: Logos, 1994), hlm. 163-164.
[19] Ahmad Syalabi, Op. Cit., h.57.
[20] Al-Qur’an dan terjemah, (Jakarta: Depag RI, 1974), hlm. 677
[21] Ahmad Syalabi, Op. Cit., hlm. 58.
[22] Jurji Zaidan, Tarikh al Tamaddun al Islami, Juz III. (Kairo:
Dar Al Hilal, 1958), h. 228-229
[23] Dilasy Ulizi, Al Fikr al Arab, (Kairo: Alam al Kutub, 1961),
hlm. 122
[24] Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam, (Padang: IAIN,
Press, 1981), hlm. 58
[25] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, pada Periode Klasik dan
Pertengahan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hlm. 39
[26] Ibid.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar