A.
Pendahuluan
Pendidikan Islam
sesunguhnya telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang
telah dilakukan nabi Muhammad Saw. Berkaitan dengan itu pula pendidikan Islam
memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaharuan
yang dilakukan secara terus-menerus pasca generasi nabi, sehinggnya dalam
perjalanan selanjutnya pendidikan Islam terus mengalami perubahan baik dari
segi kurikulum (mata pelajaran). Secara eksplisit, pendidikan mempunyai nilai
yang strategis dan urgen dalam pembentukan suatu bangsa.
Untuk menjadikan pendidikan
yang berarti harus menyediakan kurikulum pendidikan yang baik tentunya kepada
peserta didik. Munculnya pendidikan Islam bersamaan dengan lahirnya Islam itu
sendiri. Pendidikan pada awalnya dilakukan dari rumah ke rumah, di
masjid-masjid dan sebagainya. Ini dilakukan dengan peralatan yang sederhana
sekali. Pendidikan Islam sebagai suatu sistem merupakan sistem tersendiri di
antara sistem pendidikan di dunia ini, kendatipun memiliki banyak persamaan.
Dikatakan sistem tersendiri karena cakupannya dan kesadarannya terhadap detak
jantung, karsa dan karya manusia. [1]
Kurikulum pendidikan Islam
klasik merupakan suatu sistem pendidikan klasik yang berbeda dengan sistem
pendidikan Islam yang ada pada saat ini. Kalau ditinjau dari aspek tujuan,
guru, murid, kurikulum, metode, fasilitas, dan sarana prasarana, jelas terlihat
perbedaannya. Sudah banyak terjadi perkembangan-perkembangan dalam dunia pendidikan
Islam. Istilah pendidikan Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau
pemerintah/lembaga pemerintah, formal atau non- formal dalam periode tertentu
pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam. Kegiatan itu dilakukan di
rumah-rumah, majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab),
menengah (masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al-
Jamiah).
Ada beberapa terminologi
yang tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu, sebelum menguraikan makalah
ini lebih lanjut. Menguraikan term-term itu dianggap perlu karena
diasumsikan akan memberikan kesamaan pandangan dalam menginterpretasi dan
mengeksplanasi makalah ini. Istilah sistem pendidikan biasanya dipahami sebagai
suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal,
agen-agen, dan organisasi yang memindahkan ( transver ) pengetahuan dan
warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan
sosial, spiritual, dan intelektual. Menurut Hasan Langgulung, sistem pendidikan
seperti demikian dalam literatur pendidikan Islam klasik tidak pernah dujumpai.
Sebab, sistem pendidikan itu tidak terpisah dari sistem-sistem yang lain,
seperti sistem politik (al-nizham al-siyasi), sistem tatalaksana (al-nizham
al-idari), sistem keuangan (al-nizham al-mali), sistem kehakiman (al-nizham
al-qadhi), dan lain-lain. Sistem politik mempunyai program pendidikannya
sendiri untuk membentuk kader-kader politik, begitu juga sistem-sistem
tatalaksana, keuangan, sosial, dan sebagainya. Jadi, sistem pendidikan Islam
sebagai sistem yang berdiri sendiri merupakan satu fenomena baru dalam sejarah
Islam.[2]
Kurikulum pendidikan Islam
pada periode Rasulullah baik di Makkah maupun di Madinah adalah al-Qur`an, yang
diwahykan sesuai dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang
dialami umat Islam saat itu.[3] Karena itu, dalam praktiknya tidak saja logis
dan rasional tetapi juga secara fitrah dan pragmatis. Hasil dari cara yang
demikian itu dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya yang
dipancarkan ke dalam sikap hidup yang bermental dan semangat yang tangguh,
tabah, dan sabar tetapi aktif dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam
perkembangan sejarah selanjutnya ternyata mereka ini merupakan kader inti
mubaligh dan pendidik pewaris nabi yang berlian dan militant dalam menghadapi
segala tantangan dan cobaan.[4]
Kurikulum pendidikan Islam
masa klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidikan
modern. Pada kurikulum pendidikan modern, seperti kurikulum pendidikan nasional
di Indonesia, ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri
dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisai dan strategi.[5]
B.
Pengertian Kurikulum Pendidikan Islam
Masa Klasik
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani,
yakni dari kata Curir, artinya pelari. Kata Curere artinya tempat
berpacu. Currikulum diartikan jarak yang ditempuh oleh seorang
pelari.pada saat itu kurikulum diartikan sejumlah mata pelajaran yang harus
ditempuh oleh siswa untuk mendapatkan ijasah. Rumusan kurikulum tersebut
mengandung makna bahwa isi kurikulum tidak lain adalah sejumlah mata pelajaran (subjek
matter) yang harus dikuasai siswa agar siswa memperoleh ijasah.[6]
Adapun pandangan Ahmad Tafsir mengemukakan
kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari
oleh siswa dalam suatu periode tertentu. Dalam arti yang lebih luas, kurikulum
sebenarnya bukan hanya sekadar rencana pelajaran, tapi semua yang secara nyata
terjadi dalam proses pendidikan di sekolah.[7]
Dengan kata lain, kurikulum mencakup baik kegiatan yang dilakukan pada jam
belajar maupun di luar jam belajar, sepanjang hal itu berlangsung di lembaga
pendidikan. Karena itu ada istilah ekstra- kurikuler, yaitu berbagai kegiatan
yang dilakukan di luar jam tatap muka di ruangan kelas. Akan tetapi, tentu saja
kurikulum dalam pengertian seperti itu baru dikenal pada sistem pendidikan
modern, baik sekolah maupun madrasah. Pada
kmasa sebelumnya, meskipun sudah dikenal, muatan kurikulum tidak seketat
pengertian tersebut.
Menurut Muhammad Ali Al- Khouly yang
dikutif oleh Muhaimin kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk
mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan pendidikan yang
diinginkan.[8]
Sepanjang masa pendidikan klasik
Islam, penentuan pengembangan pendidikan dasar, menengah dan tinggi berada di
tangan ulama kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima secara otoritatif
dalam soal-soal agama dan hokum. Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama
dan keyakinan kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan.
Mengikuti arus penolakan atas aliran yang diilhami filsafat Yunani terutama
pasca al-Ghazali, kurikulum pendidikan belum terbentuk secara baku dalam bentuk
peraturan, tetapi kurikulum dan metode di masjid, akademi dan madrasah
mengikuti pola-pola yang dikembangkan dari majlis dan halaqah-halaqah ilmiah.
Dengan demikian, yang dibicarakan dalam pendidikan Islam ini adalah di fokuskan
pada kuriukulum pendidikan Islam masa klasik.
Hasan
Asari memberikan penjelasan tentang kurikulum madrasah dengan konsep awal
klasifikasi ilmu pengetahuan yang diajarkan di madrasah. Untuk memahami
kurikulum madrasah secara lebih luas, menurutnya, perlu memahami perkembangan
ilmu pengetahuan dan peradaban Islam yang dikembangkan para ulama dan ilmuwan
Muslim. la mengutip pendapat Ibn Buthlan (w. 460/1068), seorang ahli
kedokteran, berdasarkan riwayat Ibn Abi Ushaybi’ah, yang mengelompokkan ulama
yang wafat pada sekitar pertengahan abad ke-5/11 ke dalam tiga kelompok
berdasarkan cabang ilmu yang ditekuni yaitu:
1.
Ilmu-ilmu keagamaan
(al-Syar`iyyah),
2.
Ilmu-ilmu klasik
(`ulum al-Qudama`),
3.
Ilmu-ilmu sastra
(al-`Ulum al-Adabiyah). [9]
Hasan
Asari juga mengutip pendapat Ibn Buthlan yang merupakan suatu klasifikasi yang
detail; namun ini memadai untuk tujuan kita sekarang ini. Klasifikasi yang
lebih lengkap dan detail dapat dilihat dalam beberapa karya Abad Pertengahan
yang lain. Perumusan klasifikasi ilmu pengetahuan menjadi satu bidang penting
dan mendapat perhatian serius para ilmuan muslim. Pada hakikatnya kurikulum
pendidikan Islam klasik berbeda-beda menurut wilayah masing-masing. Tidak ada
pembakuan kurikulum yang dilakukan oleh Negara. Perbedaan kurikulum antara
tempat yang satu dengan tempat lainnya bukan didasarkan daerahnya akan tetapi
perbedaan tersebut didasarkan kepada guru yang memberikannya. Di Mesir misalnya
kurikulum dititik beratkan kepada fiqh, sedangkan di Madinah lebih menitik
beratkan kepada kajian hadis.
Meskipun
perbedaan kurikulum berbeda dengan tempat yang satu dengan yang lainnya, akan
tetapi disepakati bahwa kitab suci al- Qur’an dijadikan sebagai sumber pokok
ilmu-ilmu agama dan umum. Pada awalnya kurikulum yang diajarkan berkisar pada
belajar membaca al-Qur’an, menulis, keimanan, ibadah, akhlak, dasar-dasar
ekonomi dan politik yang semuanya bersumber kepada al-Qur’an.
Penentuan
kurikulum adalah terletak pada ulama, kelompok orang-orang berpengetahuan dan
diterima sebagai otoratif dalam soal agama dan hukum. Sebagai persiapan untuk
belajar ilmu-ilmu agama dan fiqh, seseorang mempelajari bahasa Arab mencakup
gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi.
Studi-studi pendahuluan ini dapat ditempuh dengan tutor pribadi atau dengan
menghadirihalaqah dalam bahasa Arab. Pedagogie muslim menerima pandangan Yunani
yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir logis dan jelas memiliki korelasi
langsung dengan kemampuan berbicara dan menulis secara tepat. Karena itu para
tutor sangat menekankan latihan-latihan yang membantu perkembangan kemahiran
berbahasa.
Sejalan
dengan waktu, pengertian kurikulum mulai
berkembang dan cakupannya lebih luas, yaitu mencakup segala aspek yang
mempengaruhi pribadi saya. Kurikulum dalam pengertian yang modern ini mencakup
tujuan, mata pelajaran, proses belajar dan mengajar serta evaluasi. [10]
C.
Kurikulum Pendidikan Islam Sebelum
Berdirinya Madrasah
Para ahli
sejarah mencatat periodisasi sejarah sejarah pendidikan Islam dihubungkan
dengan perkembangan lembaga pendidikannya menjadi tiga periodisasi yaitu masa
klasik, masa pertengahan dan masa modern.[11] Namun dalam hal ini penulis hanya mengambil
contoh pendidikan Islam masa klasik dalam artian perkembangan kurikukulum dalam
pendidikan Islam masa klasik, karena kuriukulum adalah bagian dari pendidikan.
Istilah pendidikan
Islam klasik dalam tulisan ini adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar
yang dilakukan individu, kelompok tertentu atau pemerintah/lembaga
pemerintamal, formal atau non-formla dalam periode tertentu pada masa
pertumbuhan dan perkembangan Islam. Kegiatan itu di lakukan di rumah-rumah,
majlis, masjid/halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttab), menengah
(masjid/masjid khan, zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jamiah).[12]
Meskipun
pembagian periode dalam pendidikan Islam merupakan sebuah matarantai yang
saling bersambungan dengan periode-periode lainnya, namun masing-masing periode
memeliki kekhasan tersendiri baik dari segi kurikulum pendidikan maupun metode
pengajarannya.
Pada
perkembangan berikutnya kurikulum pendidikan Islam merujuk kepada al-Qur’an dan
hadis. Secara umum materi yang diajarkan adalah ilmu naqliyah dan aqliyah. Maka
kurikulum pendidikan Islam klasik cukup variatif berdasarkan jenjang
pendidikannya. Berikut perkembangan kurikulum menurut jenjangnya :
1.
Kurkulum Pendidikan Rendah
Sebelum
berdirinya madrasah, tidak ada tingkatkan dalam pendidikan Islam, tetapi hanya
satu tingkat yang bermula di kuttab dan berakhir di diskusi halaqah. Tidak
ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat Islam.[13]
Terdapat
contoh gambaran dari kurikulum tingkat ini. Al-Mufaddal bin Yazid bercerita
bahwa suatu hari ia melihat anak laki-laki dari seorang perempuan Baduwi.
Karena tertarik pada anak itu lalu ia bertanya pada sang ibu. Sang ibu menjawab
sebagai berikut, “apabila berumur lima tahun, saya akan menyerahkan pada
seorang muaddib (guru)
agar ia mengajari menghafal dan membaca alqur’an. Dengan demikian ia suka akan
kebanggaan bangsanya dan ia kan mencari peninggalan nenek moyangnya; apabila
dewasa, saya akan mengajarinya cara menunggang kuda sehingga ia terlatih dengan
baik, lalu ia naik kuda sambil memanggul senjata. Kemudian ia akan mondar
mandir di lorong-lorong kampungnya untuk mendengarkan suara orang-orang yang
akan meminta bantuan. [14]
Kurikulum
tingkat rendah meliputi al-Qur’an dan agama, membaca, menulis, sya’ir, dan
sebagian prinsip-prinsip pokok agama dan ditambah juga dengan nahwu, cerita dan
berenang. Untuk putra-putri raja dan penguasa ditegaskan pentingnya pelajaran
khitabah (pidato), ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, di samping
ilmu-ilmu pokok seperti al-Qur’an, sya’ir dan fiqh. Penekanan kurikulum berbeda
antara negara yang satu dengan yang lainnya.
Sedangkan
kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk tingkat ini adalah mengajari
al-Qur`an, karena anak-anak dari segi fisik dan mental, telah siap menerima
pendiktean, dan pada waktu yang sama diajarkan juga huruf hijaiyah dan dasar
agama kemudian syair berikut artinya. Setelah anak-anak belajar al-Qur`an dan
dasar agama, kemudian diarahkan untuk mempelajari sesuatu yang sesuai dengan
kecenderungannya.[15]
Di Andalusia misalnya,
untuk tingkat rendah diajarkan al-Qur’an, dan dimasukkan materi lain seperti
riwayat sya’ir-sya’ir, prosa, berhitung, dan pembelaan negara sehingga
kemampuan anak-anak dalam tulis menulis dan khat sangat menonjol. Kemudian
kemampuan menemukan (discovery) serta kemampuan menghubungkan
cabang-cabang ilmu dalam mengintegrasikan antara ilmu-ilmu naqli dan aqli lebih
unggul dibandingkan negeri Islam yang lain.
2. Kurkulum Tingkat Tinggi
Kurikulum
pendidikan tinggi, halaqah
- kalau mau menyebut demikian-bervariasi tergantung pada syaikh yang mau
mengajar. Para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata pelajaran
tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk mengikuti
kurikulum tertentu. Mahasiswa bebas mengikuti pelajaran di sebuah halaqah dan berpindah dari
sebuah halaqah
ke halaqah yang
lain, bahkan dari satu kota ke kota lain.[16]
Menurut
Fazlur Rahman, pendidikan jenis ini disebut pendidikan orang dewasa, karena diberikan
kepada orang banyak yang tujuan utamanya adalah untuk mengajarkan mereka
mengenai Al-Qur’an dan agama.[17] Kurikulum pada pendidikan tingkat ini dibagi
kepada dua jurusan, pertama
jurusan ilmu-ilmu agama (al-‘ulum
al-naqliyah) dan kedua
jurusan ilmu pengetahuan (al-‘ulum
al-aqliyah).
Kedua
macam kurikulum ini sejalan dengan dua masa transisi penting dalam perkembangan
pemikiran Islam. Kurikulum
pertama sejalan dengan fase di mana dunia Islam mempersiapkan diri
untuk mendalami masalah agama, menyiarkan dan mempertahankannya. Namun
perhatian pada agama itu tidaklah terbatas pada ilmu agama semata, akan tetapi
dilengkapi juga dengan ilmu-ilmu bahasa, ilmu sejarah, ilmu hadist dan tafsir.
Menurut Mahmud Yunus, kurikulum jurusan ini adalah tafsir al-Qur’an, hadist,
fiqih, ushul fiqih, nahwu sharaf, balaghah, bahasa dan sastranya.[18]
Ikhwan
Al-Shafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
a.
Disiplin-disiplin
Umum, antara lain: baca-tulis, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra
(sajak dan puisi), ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat,
kimia, sulap, dagang, dan ketrampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian,
dan peternakan, serta biografi dan kisah.
b.
Ilmu-ilmu Filosofis,
antara lain: mate-matika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik,
aritmatika, dan hukum-hukum geometri, ilmu-ilmu alam dan antropologi zat,
bentuk, ruang, waktu dan gerakan kosmologi produksi, peleburan, dan
elemen-elemen metereologi dan minerologi, esensi alam dan manifestasinya,
botani, zoology; anatomi dan antropologi, persepsi inderawi, embriologi,
manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evolusi psikologis), tubuh dan
jiwa, perbedaan bahasa-bahasa (filologi), psikologi dan teologi doktrin
esoteris Islam, susunan dan spiritual; serta ilmu-ilmu alam ghaib.[19]
Sedangkan klasifikasi yang
diperkenalkan oleh Al Farabi adalah:
a.
Ilmu bahasa
(sintaksis, tata bahasa, pengucapan, cara bicara, puisi).
b.
Logika (pembagian,
definisi dan komposisi pikiran secara sederhana).
c.
Ilmu propaedeutic
(ilmu hitung, ilmu ukur, ilmu optik, ilmu tentang cakrawala, ilmu musik, ilmu gaya berat, ilmu membuat alat).
d.
Fisika (ilmu alam,
metafisika).
e.
Ilmu kemasyarakatan
(yurisprudensi, retorika).[20]
Masuknya
ilmu-ilmu asing yang notabene berasal dari tradisi Hellenisti ke dalam kurikulum
pendidikan Islam bukan merupakan bagian dari pendidikan yang ditawarkan di
masjid atau madrasah, tetapi dilakukan di halaqah-halaqah
pribadi atau juga di perpustakaan-perpustakaan, seperti Dar al-Hikmah dan Bait al-Hikmah. Syalabi
menggambarkan bagaimana giatnya umat Islam mengadakan penelitian, penerjemahan,
diskusi dalam berbagai aspek di kedua lembaga tersebut.[21]
D.
Kurikulum Pendidikan Islam Setelah
Berdirinya Madrasah
Pada zaman keemasan Islam,
aktivitas-aktivitas kebudayaan pendidikan Islam tidak mengizinkan teologi dan
dogma membatasi ilmu pengetahuan mereka. Mereka menyelidiki setiap cabang ilmu
pengetahuan manusia, baik fisiologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi,
kesusastraan, etika, filsafat, teologi, kedokteran, mate-matika, logika, jurisprudensi,
seni, arsitektur, atau ilmu keramik.
Sejalan dengan perkembangan
zaman dan tingkat kebutuhan, mendirikan madrasah adalah dianggap sesuatu yang
signifikan. Pendirian lembaga pendidikan tinggi Islam ini di bawah patronase
wazir Nizam Al-Mulk (1064 M).[22]
Biasanya sebuah madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur
dalam suatu mazhab empat. Nuruddin Mahmud bin Zanki misalnya, beliau telah
mendirikan beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’I di Damas Di satu
sisi, berdirinya madrasah merupakan sumbangan Islam bagi peradaban sesudahnya.
Akan tetapi, disisi lain hal ini membawa dampak yang buruk bagi dunia
pendidikan setelah hegemoni negara yang terlalu kuat terhadap madrasah.
Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan
teologi. Legitimasi “makruh” terhadap penggunaan nalar setelah runtuhnya
Mu’tazilah, ilmu-ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus dari kurikulum
madrasah. Hal ini menyebabkan mereka yang punya minat tinggi terhadap ilmu-ilmu
ini terpaksa belajar secara otodidak.
Satu pertanyaan yang dapat
kita kembangkan, bahwa kenapa legalisme fiqih atau syariat terlalu dominan
terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam ? Menurut Fazlur Rahman, ada
pandangan yang terus menerus diungkap, yaitu karena ilmu itu luas dan
hidup ini singkat, maka orang harus memeberikan prioritas, dan prioritas itu
dengan sendirinya diberikan pada sains-sains agama yang membawa kejayaan di
akhirat. [23]
Sedangkan menurut
Azyumardi, karena memang lembaga-lembaga ini dikuasai oleh mereka yang ahli
agama, dan tidak kalah pentingnya adalah tidak otonomnya madrasah dari tanah
waqaf yang diberikan oleh para dermawan dan penguasa politik. Motivasi
kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam
bidang ilmu-ilmu agama karena di anggap mendatangkan pahala. Di pihak lain,
para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong
oleh motivasi politik atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi”
Sunni, sering mendikte madrasah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi
itu sendiri”.[24]
E.
Penutup
Kurikulum
pada zaman klasik secara garis besar sudah ada walau tidak ada bukti tertulis
tentang kurikulum tersebut, nyatanya yang lebih mendominasi pada sebuah madrasah
adalah kurikulum yang didalamnya adalah muatan tentang agama. Dan biasa yang
menentukan kurikulum adalah orang-orang yang mempunyai otoritas atau penyusun
perencanaan mata pelajaran pendidikan Islam klasik adalah ulama yang menguasai
bidangnya masing-masing.
Bagaimanapun
juga, Islam tetap kreatif dan progresif sepanjang kebebasan berpikir dan
investigasi menandingi fatalisme. Sepanjang Islam menganggap dunia adalah buku
yang terbuka untuk dibaca dan dipahami oleh semua orang; apabila unsur unsur
fatalisme dan ortodoksi tertanam dalam skolastikisme, maka ia dapat member
pengaruh yang nyata.
[1] Abd. Mukti, Konstruksi Pendidikan
Islam; Belajar dari Kejayaan Madrasah Nizhamiyah Dinasti Saljuq, (Bandung:
Citapustaka Media, 2007), h. 215.
[2] Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta : Pustaka
al-Husna, 1998), cet. Ke-1, h. 4-5.
[3] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), cet.
Ke- 4, h. 11.
[4] Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa, 1990), cet. Ke-2, h. 31.
[5] Burhan Nurgiantoro, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum Sekolah: Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan, (Yogyakarta:
BPFE, 1988), cet. Ke-1, h. 9-11.
[6] Nana Sudjana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 1995), h. 1-2.
[8] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam; kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung: Trigenda, 1993), h. 184.
[10] Abuddin Nata., Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ra Grafindo Persada, 2010), h. 116, cet. Ke-2.
[11] Sejarah Madrasah;
Pertumbuhan, Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:
Departemen Agama. 2004), h. 57.
[12] Ibid., h. 58.
[13] Ibid., h. 116.
[14] Asma Hasan Fahmi, Sejarah
dan Filsafat Pendidikan Islam, h. 59.
[15] Ibid., h. 59.
[16] Abudin Nata., Op. Cit.,
h. 119.
[17] Fazlur Rahman, Islam,
(Bandung; Penerbit Pustaka, 1994), h.
264.
[18] Zuhairini, et. al., Sejarah
Pendidikan Islam, h. 104.
[19] Mehdi Nakoosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual
Barat: Deskriptif Analisis Abad Keemasan Islam, h. 73.
[20] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, h. 29.
[21] Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyah al-Islamiyah, h.
181-184. Lihat juga, Muhammad Athiyah Al- Abrasyi , Al-Tarbiyah
al-Islamiyah wa Falasifatuha, Mesir; Isa Al-Babi Al-Habi, 1975, h. 96-98.
[22] Fazlur Rahma,., Op. Cit,
h. 268.
[23] Fazlur Rahman, Islam dan
Tantangan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka,
1995), h. 39.
[24] Azyumardi Azra,
“Pendidikan Tinggi dan Kemajuan Sains: Sebuah Pengantar”, Pengantar Buku
Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1994),
h. 1