Sabtu, 07 Mei 2011

Makalah Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum.
Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Sunnah.
Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia, sebgaimana terdapat di dalam sumber dalil hukum Islam, Al-Qur`an, hadits, Ijma dam Qiyas tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengemabangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokrtais, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, menutamakan persaudaraan, berkhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
Dengan rujukan diatas tadi dapat dikembangkan bahwa dalil atau sumber hukum Islam itu merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah Al-Adillah al-Syari`iyyah Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum atau dalil dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahabi syar`u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara`i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan metode ijtihad, keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.












BAB II
PEMBAHASAN TENTANG DALIL HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Teoritis Dalil Hukum Islam
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah. Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah yang menjadi sumber dalam syariat.
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana. Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.
Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.
Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.
Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.
Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).
Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.
Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.
Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah. Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash. Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.
Madzhab Al-Shahabiy berarti praktek dan pendapat para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli (penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.
Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada segenap relung-relung syariat.
Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.
Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat muhakkamat.
Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid (khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i. Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid tersebut.
Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi. Dari sekian banyaknya dalil hukum Islam yang telah diuraikan secara singkat diatas tadi maka keempat dalil hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) yaitu diantaranya:
B. Al-Qur`an
1. Pengertian Al-Qur`an
Sumber hukum yang seklaigus sebagai dalil hukum yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah yang diturnunkan kepada nabi Muhammad Saw dikenal dengan nama:
1. Al-Qur`an artinya bacaan mulia, sebagaimana disebutkan dalam QD. Al-Qiyamah ayat 17, 18; QS. Al-Isra` ayat 88, QS. Al-Baqarah ayat 85, dan seterusnya.
2. Al-Kitab atau Kitabullah artinya kitab suci, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, QS. al-An`am ayat 114
3. Al-Furqon, yang artinya pembeda yang membedakan antara yang benar dengan yang batil, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Furqon ayat 1
4. Al-Dzikir, artinya peringatan, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Hijr ayat 9. Menuut para ulama nama lain terhadap al-Qur`an al-Mubin, al-Kalam, dan An-Nur.
Para ulama memberikan definisi tentang al-Qur`an sebagai kalamullah (firman Allah)yang mengandung mu`jizat diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Adapun pengertian al-Qur`an yang lain yaitu secara bahasa berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersaebut dalam ayat 17, 18 surat al-Qiyamah. Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya.”
Kemudian dipakai kata “Quran” itu untuk al-Quran yang hingga sekarang ini. Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli Fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ,ibadah”
Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur`an dengan: “Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah."
Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu di antara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa “al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat”.
Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qaththan di atas
2. Garis Besar Isi Al-Qur`an
a. tauhid kepercayaan kepada Allah swt, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul, hari kiamat/kemudian, serta qada dan qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perubahan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman: al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang menerima dan mengamalkan isi al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa
d. Hukum : yang dihajati pergaulan hidup untuk kebahagiaan dunia akhirat.
e. Inti sejarah, orang-orang yang tunduk kepada Allah swt, yaitu orang-orang yang shalih seperti nabi-nabi, dan rasul-rasul juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah Swt dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak
3. Dasar Hukum Al-Qur`an
Al-Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Dalam mengadakan perintah dan larangan, al-Qur'an selalu berpedoman kepada dua hal yaitu: (1) tidak membedakan, dan (2) berangsur-angsur
4. Kehujjahan Al-Qur`an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur`an adalah sumber hukum dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah Swt, dan wajib diamalkan oleh manusia. Seorang mujtahid tidk dibenarkan menjadikan dalil sebagai hujjah (landasan hukum)sebelum ia membalas dan meneliti ayat al-Qur`an. Apabila suatu masalah yang ia cari tidak ditemukan dalam al-Qur`an, maka barulah ia mempergunakan dalil lain.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjad dengan al-Qur`an adalah:
a. Al-Qur`an diturunkan kepada Rasulullah Saw, diketahui secara mutawatir, hal ini memberi keyakinan bahwa al-Qur`an itu benar dating dari Allah Swt, melalui malaikat Jibril kepada Muhammad Saw, yang dikenal dengan orang yang paling dipercaya.
b. Ayat-ayat al-Qur`an menyatakan bahwa al-Qur`an itu dating dari Allah Swt.
c. Kemu`jizatan al-Qur`an merupakan dalil akan kebenaran bahwa al-Qur`an itu
C. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur`an yaitu sunnah, Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukanya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar menjelaskan hukum Al-Qur’an tidak diragukan lagi, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Dalam kedudukannya sebagai sumber yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar yang tersebut dalam Al-Qur’an dipertanyakan oleh ulama Ushul Fiqh. Karena ini disebabkan oleh keterangan Allah sendiri bahwa Al-Qur’an atau agama sudah sempurna karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sunnah.
Pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkannya, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Adapun pengertian sunnah secara istilah,dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah Saw, sebagai berikut:


Artinya:
"Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang sesudahnya yang mengamalkannya." (H.R. Muslim)
Adapun pengertian sunnah secara istilah (dalam istilah syari`ah), sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu;
1. Sunnah menuurt ilmu ushul fiqih, yaitu segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum".
2. Sunah menurut ilmu fiqih, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukun taklifi, yang mengandung pengertian"perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa(tidak berdosa)".
3. Istilah sunnah menuurt ilmu hadits, biasanya digunakan hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw jadi sunah menuurt ilmu hadits adalah segala perbuatan, perkataan maupun ketetapan Nabi.
2. Macam-macam Sunnah
Berdasatkan definisi sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadirnal-ahkam)dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat disimpulkan sebagai perintah larangan melalui contoh teladan beliau seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.
b. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan atau ucapan dari Rasul yang didengar oleh dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
c. Sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang perkataan maupun perbuatan, atau sepengetahuan Nabi Saw; tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegah dari nabi Nabisaw ini, menunjukan persetujuan Nabi Saw (taqrir), terhadap perbuatan sahabat tersebut . Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat. Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada, salah seorang dari keduanya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata: engkau mendapat pahala dua kali.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
b. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
c. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4. Kehujjahan Sunnah
Peran As Sunnah dalam syariah menjadi sumber hukum kedua setelah al –Qur`an. Dengan demikian As Sunnah wajib dijadikan dalil syar’i sama dengan al- Qur`an dikarenakan adanya dalil-dalil yang tegas menunjuk hal dimaksud.
Dalil-dalil al-Qur`an dengan sharih, gamblang, menegaskan bahwa Sunnah adalah wahyu sebagaimana al-Qur`an. Adapula dalil yang memerintahkan taat dan tunduk mengikuti as sunnah. Ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Surah An Nisa’: 59.
                              

Artinya"
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

3. Surah Muhammad: 33
          
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu".

D. I j m a`
1. Pengertian Ijma`
Secara etimologis ijma` berarti n"keepakatan"atau konsesus". Sedangkan secara terminologis ijma` adalah" kesepakatan para mujtahid dari Umat Muhammad Saw, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw, tentang suatu hukum syara"
Secara terminologi ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibnu Siyar al Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang”, akan tetapi rumusan al Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi diatas.
2. Macam-macam Ijma`
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan, ulama membagi ijma` menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Ijma` Sharih
Ijma` sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam siding (pertemuan)setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibhas. Ijma` seperti ini, menurut jumhur ulamabisa dijadikan hujjah (landasan hukum)
b. Ijma` Sukuti
Ijma` sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Terhadap ijma` sukuti ini terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan apakah kesepakatan yang seperti itu dikatakan ijma` dan bias dijadikan hujjah. Jumhur (sebagian besar)ulama berpendapat bahwa ijma`, dan tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).
3. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima:
a. Yang terikat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid, apabila ada di antara mujtahid ada yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
d. Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang bersifat ktual dan
e. tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an
4. Kemungkinan terjadinya Ijma’
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
5. Beberapa contoh Ijma`
Beberapa contoh masalah yang sudah disepakati hukumnya oleh para ulama, artinya mereka sudah ijma` yaitu:
a. bagian dua orang anak perempuan sebagai ahli waris, sebesar 2/3 bagian
b. kesaksian seseorang terhadap saudaranya, apabila ia adil, adalah boleh.
c. Lemak babi adalah haram, diqiyakan dengan haramnya daging babi.

E. Q i y a s
1. Pengertian Qiyas
Dasar hukum yang keempat ialah Qiyas. Qiyas dipergunakan untuk memantapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, qiyas secara bahasa ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain sedangkan menuurt istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnnya di dalam nash (al-Qur`an atau Sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan `illat hukum antara keduanya.
Adapun qiyas menurut pandangan ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
               
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
2. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
3. Beberapa contoh Qiyas
Beberapa contoh penetapan hukum berdasakan qiyas antara lain:
a. mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan membakar harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim secara tidak benar
b. mengqiyaskan (menyamakan) hukum mlarangan minum nabidz(minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur)kepada khamar yang dilarang oleh nash, illatnya kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan kuat kepada yang meminumnya.
c. Mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan melakukan setiap perbuatan apa saja, dengan larangan perbuatan melakukan jual beli ketika waktu panggilan shalat.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1. Ulama’ sepakat bahwa sumber- sumber hukum islam yang bisa kita jadikan hujjah adalah Al-qur’an ,hadis ,ijma’ dan qiyas. Alasannya karena al-qur’an dan hadis yang menjadi sumber hukum islam yang utama tidak ada lagi setelah rasullullah SAW. wafat padahal sejalan dengan perioderisasi manusia yang semakin berkembang maka permasalahan barupun ikut-ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang disepakati oleh sahabat sebagai sumber hukum sehingga menjadi ijma’ dan mengqiyaskan hukum yang yang tidak ada dalam al-quran ,hadis dan ijma’ untuk menyelesaikan hukum permasalahan baru.
2. Al-Qur`an merupakan umber atau dalil hukum yang utama karena al-Qur`an berasal dari Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya melalui Malaikat Jibril
3. Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
4. Sedangkan ijma` dan qiyas juga adalah sebagai dalil hukum yang berasal dari para ulama (jumhur ulma) atas dasar kesepakatan hasil dari para mujtahidnya untuk memantapkan dasar-dasar hukum yang belum ada pada al-Qur`an dan hadits.



















DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Prof, Dr, MA, Metedologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009,

Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996,

Sulaiman Rasjid, H, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009, cet. ke-44
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.

Rahmat Syafe`I, Prof. Dr. , Fiqih Islam, Prof, Dr, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007, cet. ke- 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar