REINTEGRASI ILMU-ILMU DALAM ISLAM
MAKALAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Individu
Pada Mata Kulaih Filsafat Ilmu
DOSEN PENGAMPU:
Prof. Dr. Saeful Anwar, M.A.
Dr. H.A.M. Romly, M.Hum
Dr. Helmy Faizi, B. Ulum, M.Hum.
Oleh :
AEP SAEPUL ANWAR
NIM 1140101059/PAI - B
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ”SMH” BANTEN
TAHUN 2011 M/1433 H
REINTEGRASI ILMU-ILMU DALAM ISLAM
(Artikel yang ditulis oleh Azyumardi Azra)
A. Pendahuluan
Allah memuliakan manusia dengan akal dan kemampuan untuk belajar dan menjadikan ilmu sebagai penunjang kepemimpinan manusia di bumi. Islam datang dengan anjuran agar manusia berfikir, melakukan analisis, dan melarang untuk sekedar ikut-ikutan atau taklid. Islam menjadikan berpikir dan belajar sebagai dua aktivitas yang diwajibkan untuk pemeluknya.
Begitu juga dengan al-Qur`an diturunkan oleh Allah Swt kepada manusia untuk menjadi petunjuk dan menjadi pemisah antara yang hak dan yang batil sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 185. Alquran juga menuntun manusia untuk menjalani segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Alquran menempatkan ilmu dan ilmuan dalam kedudukan yang tinggi sejajar dengan orang-orang yang beriman(Q.S. al-Mujadlah:11)
…
…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Banyak nash Alquran yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”
B. Reintegrasi Ilmu-Ilmu Dalam Islam
1. Reintegrasi ilmu dalam Islam
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Setelah umat Islam mengalami kemunduran sekitar abad XIII-XIX, justru pihak Barat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya dari Islam sehingga ia mencapai masa renaissance. Ilmu pengetahuan umum (sains) berkembang pesat sedangkan ilmu pengetahuan Islam mengalami kemunduran, yang pada akhirnya muncullah dikotomi antara dua bidang ilmu tersebut.
Tidak hanya sampai di sini tetapi muncul pula sekularisasi ilmu pengetahuan. Namun sekularisasi ilmu pengetahuan ini mendapat tantangan dari kaum Gereja. Galileo (L. 1564 M) yang dipandang sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan mendapat hukuman mati tahun 1633 M, karena mengeluarkan pendapat yang bertentangan dengan pandangan Gereja. Galileo memperkokoh pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat jagat raya berdasarkan fakta empiris melalui observasi dan eksperimen. Sedangkan Gereja memandang bahwa bumi adalah pusat jagat raya (Geosentrisme) didasarkan pada informasi Bibel.
Pemberian hukuman kepada para ilmuan yang berani berbeda pandangan dengan kaum Gereja menjadi pemicu lahirnya ilmu pengetahuan yang memisahkan diri dari doktrin agama. Kredibilitas Gereja sebagai sumber informasi ilmiah merosot, sehingga semakin mempersubur tumbuhnya pendekatan saintifik dalam ilmu pengetahaun menuju ilmu pengetahuan sekuler. Sekularisasi ilmu pengetahuan secara ontologis membuang segala yang bersifat religius dan mistis, karena dianggap tidak relevan dengan ilmu. Alam dan realitas sosial didemitologisasikan dan disterilkan dari sesuatu yang bersifat ruh dan spirit dan didesakralisasi (di alam ini tidak ada yang sakral).
Kondisi inilah yang memotivasi para cendekiawan muslim berusaha keras dalam mengintegrasikan kembali ilmu dan agama. Upaya yang pertama kali diusulkan adalah islamisasi ilmu pengetahuan. Upaya “islamisasi ilmu” bagi kalangan muslim yang telah lama tertinggal jauh dalam peradaban dunia moderen memiliki dilema tersendiri. Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras menstransformasikan normativitas agama, melalui rujukan utamanya Alquran dan Hadis, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik? . Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan berangkat dari dasar kritik epistemologis. Dari sebagian banyak cendikiawan muslim yang pernah memperdebatkan tentang islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar. Kemunculan ide: “Islamisasi ilmu” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekulerisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama. Pemikiran kalangan yang mengusung ide “Islamisasi ilmu” masih terkesan sporadis, dan belum terpadu menjadi sebuah pemikiran yang utuh. Akan tetapi, tema ini sejak kurun abad 15 H., telah menjadi tema sentral di kalangan cendekiawan muslim.
Upaya yang lainnya, yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam. Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan perumusan teori ilmu pengetahuan yang didasarkan kepada Alquran, menjadikan Alquran sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran dapat dirasakan oleh seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi non-muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Dipandang dari sisi aksiologis ilmu dan teknologi harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia. Artinya ilmu dan teknologi menjadi instrumen penting dalam setiap proses pembangunan sebagai usaha untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia seluruhnya. Dengan demikian, ilmu dan teknologi haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia dan bukan sebaliknya.
Ilmu umum dengan ilmu-ilmu keislaman, sehingga ilmu-ilmu umum tersebut tidak bebas nilai atau sekuler. Pendekatan interdisciplinary dan inter koneksitas antara disiplin ilmu agama dan umum perlu dibangun dan dikembangkan terus-menerus tanpa kenal henti. Buka masanya sekarang disiplin ilmu –ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman dan begitu pula sebaliknya.
Moh. Natsir Mahmud mengemukakan beberapa proposisi (usulan) tentang kemungkinan islamisasi ilmu pengetahuan, sebagai berikut:
a. Dalam pandangan Islam, alam semesta sebagai obyek ilmu pengetahuan tidak netral, melainkan mengandung nilai (value) dan “maksud” yang luhur. Bila alam dikelola dengan “maksud” yang inheren dalam dirinya akan membawa manfaat bagi manusia. “Maksud” alam tersebut adalah suci (baik) sesuai dengan misi yang diemban dari Tuhan.
b. Ilmu pengetahuan adalah produk akal pikiran manusia sebagai hasil pemahaman atas fenomena di sekitarnya. Sebagai produk pikiran, maka corak ilmu yang dihasilkan akan diwarnai pula oleh corak pikiran yang digunakan dalam mengkaji fenomena yang diteliti.
c. Dalam pandangan Islam, proses pencarian ilmu tidak hanya berputar-putar di sekitar rasio dan empiri, tetapi juga melibatkan al-qalb yakni intuisi batin yang suci. Rasio dan empiri mendeskripsikan fakta dan al-qalb memaknai fakta, sehingga analisis dan konklusi yang diberikan sarat makna-makna atau nilai.
Sementara Azyumardi Azra, mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum.
Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Cendekiawan yang berpendapat seperti ini adalah Ibrahim Musa (w. 1398 M) dari Andalusia. Ibnu Taymiah, mengatakan bahwa ilmu itu hanya pengetahuan yang berasal dari nabi saja. Begitu juga Abu Al-A’la Maududi, pemimpin jamaat al-Islam Pakistan, mengatakan ilmu-ilmu dari barat, geografi, fisika, kimia, biologi, zoologi, geologi dan ilmu ekonomi adalah sumber kesesatan karena tanpa rujukan kepada Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.
Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Mereka mengatakan bahwa Islam pada masa Nabi Muhammad dan sahabat sangat revolutif, progresif, dan rasionalis. Sayyid Ahmad Khan (w. 1898 M) mengatakan firman Tuhan dan kebenaran ilmiah adalah sama-sama benar. Jamal al-Din al-Afgani menyatakan bahwa Islam memiliki semangat ilmiah.
Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Islam realitas itu tidak hanya realitas fisis tetapi juga ada realitas non-fisis atau metafisis. Pandangan ini diakui oleh ontologi rasionalisme yang mengakui sejumlah kenyataan empiris, yakni empiris sensual, rasional, empiris etik dan empiris transenden
2. Fakta dan Respon Muslim yang mendukung artikel
a. Alquran menghargai panca indra dan menetapkan bahwasanya indra tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78)
•
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Sementara Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka pengetahuan yang rasional. Sebagaimana dalam al-Qur`an surat ar-Rum: 8
• • ••
Artinya: “Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Q.S. ar- Rum: 8)
b. Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim. Namun Imam Al-Syathibi (w. 1388 M), tidak sependapat dengan Al-Gazali.
c. Kuntowijoyo mengatakan bahwa Alquran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir inilah yang dinamakan paradigma Alquran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Alquran jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis normatif Alquran dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur transendental Alquran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Islam.
3. Rekontruksi Ilmu Dalam Islam
Pandangan dikotomis terhadap ilmu pengetahuan Islam seperti itu, tidak sesuai dengan pandangan integralistik ilmu pengetahuan pada permulaan sejarah umat Islam. Ternyata pandangan dikotomis yang menempatkan Islam sebagai suatu disiplin yang selama ini terasing dari disiplin ilmu lain telah menyebabkan ketertinggalan para ilmuan Islam baik dalam mengembangkan wawasan keilmuan maupun untuk menyelesaikan berbagai masalah dengan multidimensional approach (pendekatan dari berbagai sudut pandang). Oleh karena itu wajarlah jika dikotomi ilmu pengetahuan mendapatkan gugatan dari masyarakat, termasuk gugatan dari para ilmuan muslim melalui wacana Islamisasi ilmu pengetahuan.
C. Respon/Tanggapan Penulis Terhadap Artikel
Dalam wacana artikel yang telah di tulis oleh Azyumardi Azra, penulis memandang bahwa antara ilmu dengan Islam tidak bisa dipisahkan bahkan menurut tanggapan saya sangat setuju seklai apa yang telah di tulis beliau karena para pemikiran Islam banyak kalangan memandang tidak ada persoalan antara ilmu dan agama. Pengakuan adanya kebenaran ayat kauniyah (ayat yang ada dalam alam semesta) dan ayat qauliyah (ayat-ayat dalam kitab suci) telah dipandang cukup untuk menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu dan agama dalam Islam, karena secara ontologis kedua ayat tersebut berasal dari Yang Satu. Turunnya ayat pertama dalam Islam juga dimulai dengan ayat yang ‘scientific’ yaitu (iqra), sejalan pula dengan misi Nabi Muhammad Saw., untuk memberantas kebodohan (jahiliyyah), sebagai lawan dari berpikir yang rasional. Pandangan ini juga diperkuat dengan tersebarnya didalam al-Qur’an ayat-ayat berisi perintah bagi setiap muslim untuk selalu berpikir dan mengembangkan ilmu, serta diberikannya derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan suatu pencarian religius.
Ilmu dan agama meskipun dianggap tidak ada persoalan, namun sejarah mencatat keduanya mengalami pendikotomian, terutama ketika Al-Ghazali memisahkan antara ilmu agama sebagai ilmu wajib dan ilmu-ilmu umum sebagai ilmu sunnah. Di Indonesia, selama bertahun-tahun dikotomi tersebut terlihat pada pemilahan bidang kajian, yaitu kajian keagamaan yang dikembangkan di perguruan tinggi agama seperti IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri), adapun keilmuan umum di kembangkan di Perguruan Tinggi Umum.
Di lain pihak, bayak ilmuwan dan teolog tidak menemukan adanya pertentangan antara agama dan sains. Menurut mereka, masing-masingnya adalah absah (valid) meskipun hanya dalam batas ruang lingkup penyelidikan mereka sendiri yang sudah jelas. Kita tidak boleh menilai agama dengan tolok ukur sains; juga tidak boleh sebaliknya. Sebab, pertanyaan yang diajukan oleh masing-masing sangatlah berbeda dan isi dari jawaban-jawaban mereka pun sangat berbeda sehingga tidak ada gunanya sama sekali kalau kita membandingkan mereka satu sama lain.
D. PENUTUP
Demikianlah gambaran umum artikel Azyumardi Azra tentang “Reintegrasi Ilmu-ilmu Dalam Islam” yang merupakan ilmu tentang bagaimana perbandingan antara ilmu dan agama, hubungan antara ilmu dan agama dari dua istilah tersebut penulis memandang bahwa ke dua istilah tersebut tidak bisa diupisahkan antar ilmu dan agama karena memiliki keterkaitan yang sangat kuat, mudah-mudahan ini bermanfaat bagi kita semuanya sebagai khazanah keilmuan kita, hanya kepada Allah lah semuianya ini kiota kembalikan.
BIBLIOGRAFI
Armai Arief, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: CRSD Press, 2005.
Azyumardi Azra, Reintegrasi Ilmu-ilmu dalam Islam Zainal Abidin Bagir (ed) Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.
Departemen Agama RI, Al-Qwur`an dan terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H, 1079.
H. M. Amin Abdullah, Islamic Islamic Stadies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007, cet. Ke- 1
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama, diterjemahkan oleh Fransiskus (Jakarta: Mizan, 2004), cet. Ke- 1
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik, Jakarta: Gramedia, 1986.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Teraju, 2005, cet. Ke.-2.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, Bandung: Mizan, 1992, cet. Ke- 1
Nurman Said, dkk, Sinergi Agama dan Sains, Makasar: Alaudin Press, 2005 cet. Ke- 1
Yusuf al-Qaradhawi, Konsep Islam Solusi Utama Bagi umat, Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004
Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan Al- Al.Falasany, “Pendidikan Dalam Alquran” Semarang: Penerbit CV.Wicaksana, 1989.
Zainal Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama Interprestasi dan Aksi, Mizan dan Suka Press, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar