A. Pendahuluan
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits (al-Sunnah) sebagai sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama bahwa al-Qur`an dan hadits merupakan sumber syari`at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari`at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut . Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah Saw, dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayah, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis ini dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “Jarh Wa` Ta’dil’.
Makalah ini berusaha mengetengahkan perngertian “Jarh Wa`Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “Jarh Wa`Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
B. Pengertian Jarh wa`Ta’dil
Dalam buku ulumul hadits yang dikutif M. Agus Solahudin (2009:112) kata al-jarh secara etiminologi artinya cacat atau luka dan kata al-ta`dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi kata ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Sedangkan menurut Lois Ma`luf yang dikutip oleh Endad Musaddad (2009: 60) lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرحا جرح يجرح yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الحاكم الشّاهد جرح “hakim itu menolak saksi”.
Sedangkan menurut istilah al-Jarh ialah:
هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, al-Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Adapun pengertian ta`dil dalam buku Ulumul Hadits Sohari Sahrani (2010: 151) dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. ta`dil dengan arti al-Tawsiyah (menyamakan ) (al-Munjid, 491)
2. ta`dil menurut istilah ahli hadits, adalah:
وصفة الراوى بصفات تزكيه فيطهّر عدالة وتقبل خيره
“Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya” (Hasbi, 1981: 205)
Sedangkan menurut Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti yang dikutif Faturrahman mendefinisikan jarh wa`tadil yaitu suatu ilmu yang membahas tentang jarh dan ta`dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut, dan ilmu jarh wa`tadil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa`tadil adalah sebagai berikut:
العم الذى يحب فى احوال واة من قبل روثقته
“Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya” (Fatchur Rahman, 1987: 268)
C. Pertumbuhan Ilmu Jarh wa`Ta`dil
Ilmu Jarh Wa`Ta`dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadits yang shahih dan keadaan perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seseorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak(maqbul dan mardud).
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta`dil sebagaimana ilmu tarikh al ruwat muncul seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah setelah terjadinya al-fitan al-kubro atau pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan (36 H). pada waktu itu kaum muslimin telah terkotak-kotak pada beberapa kelompok, masing-masing mencari legitimasi atau tindakan mereka dengan mengutip hadits Rasulullah Saw, jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu.
Sejak saat itulah para ulama hadits dalam menjelaskan hadits-hadits Rasulullah Saw tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanadnya (rangkaian para perawi).
D. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain. Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
1. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
•
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat:6).
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
•
Artinya:…”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah:282)
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan saksi “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
E. Metode Jarh wa`Ta`dil
Dalam melakukan penyeleksian terhadap para perawi, para ahli menggunakan berbagai macam metode atau menilai adil tidaknya atau dapat dipercaya tidaknya seorang perawi. Diantara metode (norma)yang digunakan menurut Said Agil Al-Munawar yang dikutip Endad Musaddad (2009: 67) adalah sebagai berikut:
1. Al-Amanah wa al- Nadhahah fi al-Hukmi (Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi)
2. Al-Biqaqah fi al-Babsi wa al-Hukmi (Cermat dan teliti dalam penelitiannya)
3. Iltizam al-Adab fi al-jarh (Tetap memegang etika meskipun dalam mencacat perawi)
4. Al-Ijmal fi al-Ta`dil wa al- Tafsil (Ta`dil dilakukan secara global, sedang dalam tarjih harus diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan).
F. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil dan syarat seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1. Haruslah orang tersebut `alim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
G. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان (“Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”)
4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan yaitu:
1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
H. Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh wa Ta’dil
Melalui cara Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya)
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ (si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya)
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ (terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت (kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو (benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله (syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.
2. Tingkatan lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, أو غير (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
I. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib(1975: 267) sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
J. P e n u t u p
Demikianlah gambaran umum tentang ruang lingkup pembahasan ilmu Jarh dan Ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan , semoga setelah membaca dan menelaahnya makalah yang sangat sederhana ini bisa bermamfaat bagi kita. Kalau ada salahnya, itu datangnya dari penulis dan benarnya datang dari Allah swt. Lebih dan kurangnya mohon untuk dimaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz. “Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu”, Damaskus: Dar al-Fikr,1989.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. “Pengantar Studi Ilmu Hadits” , (Penj. Mifdhol Abd urrahman, Lc.), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2009.
Departemen Agama Republik Indonesia, ”Al-Qur’an dan Terjemahnya”, Jakarta: CV. Agung Harapan, 2006.
Endad Musaddad, Ilmu Jarh Wa`Ta`dil, Fud Press, 2009.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. “Pengantar Ilmu hadits”, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Izzan, Ahmad, “ Ulumul Hadits”. Bandung: Tafakur, 2011.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976.
Rahman, Fatchur, “ Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits”. Bandung: Al-Ma`arif, 1974.
Sahrani, Sohari, “Ulumul Hadits”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Solahudin, Agus. “ Ulumul Hadits”. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Yuslem, Nawir, “Sembilan Kitab Induk Hadis”, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006.
http://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/9/. di unduh pada hari kamis pukul 09.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar