Minggu, 22 April 2012
Ciruas, 22 April 2012
besok senin tepat tanggal 23 April 2012, pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP/MTs akan serempak dilaksanakan, tentunya MTs Negeri Ciruas akan ikut melaksanakan Ujian Nasioanal, mengharapakan ujian ini di ikuti oleh siswa dan siswa MTs Negeri Ciruas penuh dengan kejujuran dan prestasi yang dihasilkan sesuai dengan slogan kementerian agama tahun ini, segenap lembaga MTs Negeri Ciruas mengharapkan kepada siswa siswinya untuk mengikuti ujian kali ini penuh dengan kehati-hatian, ikuti dengan baik tidak harus kaku dikarenakan peraturan yang sedikit cukup rumit, selmat menempuh ujian nasional mudah-mudahan kalian selalu berada dalam bimbingan Allah Swt. Amien dan sekiranya mendapatkan kemudahan dalam mengerjakan soal sehingga prestasi yang kita inginkan tercapai sesuai dengan keinginan kita. di publikasikan oleh Humas dan informasi MTs Negeri Ciruas.
Sabtu, 14 April 2012
PROPOSAL PENELITIAN PERAN PENTING KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN KINERJA GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN AL-QUR`AN HADITS DI MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI CIRUAS
A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan mutu pendidkan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara kaffah (menyeluruh). Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan ”Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” tertanggal 2 Mei 2002, dan lebih terfokus lagi, setelah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepa Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan tekhnis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, baik yang menyangkut perencanaan, pendanaan, maupun efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan siostem sekolah. peningkatan kulaitas pendidikan juga menuntut manajemen pendidikan yang lebih baik. Sayangnya, selama ini aspek manajemen pendidikan pada berbagai tingkat satuan pendidikan belum mendapat perhatian yang serius sehingga seluruh komponen sistem pendidikan kurang berfungsi dengan baik. Lemahnya manajemen pendidikan juga memberikan dampak terhadap efisiensi internal pendidikan yang terlihat dari jumlah peserta didik yang menguilang kelas dan putus sekolah.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatan kulaitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991) menunjukan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan pembenahan manajemen sekolah, di samping peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang sifat unik, menunjukan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri yang menempatkan sekolah memiliki karakter tersendiri, di mana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselengaranya pembudayaan kehidupan umat manusia.
Pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan manusia tidak akan bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan pendidikan manusia bisa berubah dari yang tidak tahu menjadi tahu kemudian dari yang tidak bisa menjadi bisa, itulah sebabnya pendidikan diperlukan sekali. Didalam perkembangannya istilah pendidikan ini berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan berarti “usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupannya yang lebih tinggi dalam arti mental”.
Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan . Bahkan tidak kalah pentingnya peningkatan sumber daya manusia merupakan salah satu sasaran pembangunan jangka panjang yang mengiringi laju pertumbuhan ekonomi. Salah satu pilar dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia adalah bidang pendidikan. Pendidikan sebagai upaya pembentukan generasi muda yang tangguh dan mumpuni, dilaksanakan dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Peran pendidikan dewasa ini sangat dominan, di Negara - negara yang sedang berkembang dan membangun seperti Negara Indonesia. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia dilakukan baik dalam bidang fisik maupun mental spiritual membutuhkan sumber daya manusia yang terdidik. Oleh karena itu ditempuh berbagai upaya untuk memantapkan pembentukan kepribadian bangsa termasuk generasi mudanya melalui pendidikan.
Pendidikan disamping mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus akan mengembangkan kualitas sumber daya manusia khususnya generasi muda sebagai komponen bangsa secara optimal. Proses pendidikan berarti di dalamnya menyangkut kegiatan belajar mengajar dengan segala aspek maupun faktor yang mempengaruhinya. Pada hakikatnya, untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran, prestasi belajar merupakan pencerminan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa, guru, materi pelajaran, metode pengajaran, sarana atau fasilitas belajar, kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan didukung oleh lingkungan yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Disamping itu peran kepala Sekolah juga sangat dominan untuk mengembangkan manajemen pembelajaran.
Peningkatan kulaitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan teknis tetapi mencakup berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, baik yang menyangkut perencanaan, pendanaan, maupun efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan sistem sekolah. Peningkatan kualitas pendidikan juga menuntut manajemen pendidkan yang lebih baik. Sayangnya, selama ini aspek manajemen pendidikan pada berbagai tingkat dan satuan pendidikan pada berbagai tingkat dan satuan pendidikan belum mendapat perhatian yang serius sehingga seluruh komponen system pendidikan kurang berfungsi dengan baik. Lemahnya manajemen pendidikan juga memberikan dampak terhadap efesiensi internal pendidikan yang terlihat dari jumlah peserta didik yang mengulang kelas dan putus sekolah. Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991) menunjukan bahwa manajemen sekolah merupakan satu faktor yang mempengaruhi kulaitas pendidikan.
Di samping itu pula peran kepemimpinan di sekolah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam manajemen di sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif . Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menujukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Perilaku instrumental merupakan tugas-tugas yang diorientasikan dan secara langsung diklarifikasi dalam peranan dan tugas-tugas para guru, sebagai individu dan sebagai kelompok. Perilaku pemimpin yang positif dapat mendorong kelompok dalam mengarahkan dan memotivasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi
Sesuai Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah . Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataannya masih terdapat dilakukan orang di luar kependidikan.
Guru juga mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru tersebut mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru sebagai pendidik profesioanl mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau tauladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Keutamaan seorang pendidik (guru) disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban oleh seorang guru sama dengan tugas seorang Rasul. Dari pandangan itu dipahami, bahwa tugas pendidik sebagai”warasat al-anbiya” yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat li al-`alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat, kemudian misi ini dikembangkan oleh kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Keberhasilan pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam pengertian di atas mengajar menyampaikan pengetahuan kepada siswa atau murid, maka pengajaran dipandang sebagai upaya mempersiapkan siswa untuk hidup dimasa yang akan datang; pengajaran juga merupakan penyampaian pengetahuan dari guru kepada siswa, tujuan pengajaran adalah penguasaan pengetahuan oleh siswa; guru dianggap sebagai sumber utama belajar; murid diposisikan sebagai penerima pesan, informasi dan pengetahuan dan pengajaran hanya berlangsung di ruangan kelas.
Mengajar dipandang sebagai membimbing murid atau siswa adalah berkaitan dengan peran guru yang lebih kepada moderator dalam kegiatan belajar mengajar, dan yang dituntut aktif melakukan aktivitas belajar adalah siswa untuk melakukan kegiatan dan pengalaman belajar dan memperoleh kecakapan hidup dalam kegiatan pembelajaran dengan menggali dan mencari informasi sendiri, berdiskusi, mengunjungi sumber belajar selain guru dan sebagainya.
Dalam kegiatan belajar mengajar, siswa adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan pembelajaran siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika siswa berusaha secara aktif untuk
mencapainya. Keaktifan siswa disini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya siswa tidak belajar, karena siswa tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk belajar. Misalnya perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.
Dari pandangan diatas jelas sekali bahwa kegiatan belajar mengajar tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dengan penuh makna. Di dalamnya terdapat sejumlah norma untuk ditanamkan kedalam ciri setiap pribadi siswa.
Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakannya guna membelajarkan siswa. Guru yang mengajar dan siswa yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai mediumnya.
Semua orang yakin bahwa guru memilki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan siswa untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembanganya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir bahkan pada saat meninggal. Semua itu menunjukan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam
perkembangannya, demikian halnya peserta didik ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.
Minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan siswa secara individual, karena antara satu siswa dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Guru pula yang memberi dorongan agar siswa berani berbuat benar, dan membiasakan mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya. Gurulah sebagai kunci keberhasilan pembelajaran di sekolah, sehingga dituntut untuk memilki kesabaran, kreativitas dan profesionalisme.
Proses belajar seseorang tidak lepas dari motivasi orang yang bersangkutan. Oleh karena itu pada dasarnya motivasi belajar merupakan faktor yang sangat menentukan di dalam proses kegiatan belajar seseorang. Purwanto (1990: 60) menyatakan bahwa "motivasi adalah syarat mutlak untuk belajar". Motif merupakan segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu.
Seorang siswa dapat belajar secara efisien jika ia memiliki motivasi untuk belajar. Motivasi itu timbul dari dalam dan dari luar. Apabila ditinjau dari segi kekuatan dan kemantapannya, maka motivasi yang timbul dari dalam diri seorang siswa akan lebih stabil dan mantap dibandingkan dengan motivasi karena pengaruh lingkungan (motivasi dari luar). Hal ini dikarenakan dengan berubahnya lingkungan otomatis mempengaruhi motivasi, sehingga motivasi belajar seseorang itu juga akan mengalami perubahan. Apabila lingkungan yang mempengaruhi siswa tersebut lenyap, maka dapat berakibat hilangnya motivasi belajar siswa yang bersangkutan. Oleh karena itu motivasi belajar yang timbul dari dalam dan dari luar harus berjalan secara balance dan saling melengkapi. Pada akhirnya melalui motivasi tersebut akan timbul semangat siswa untuk belajar dan memperoleh prestasi belajar yang optimal.
Demikian dengan belajar akan nampak terdapt perubahan-perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses menjadi matangnya seseorang bersifat temporer. Perubahan timbul melalui tahapan antara satu dan lainnya yang bertalian secara beruntun dan fungsional.
Perubahan tersebut pada pokoknya berupa perubahan kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif sama, perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha.
Menurut Bruner (1999) dalam proses pembelajaran mennempuh tiga tahap atau episiode yaitu :
1. Tahapan Informasi (tahapan penerimaan materi)
2. Tahapan transformasi (tahapan pengubahan materi)
3. Tahapan Evaluasi (tahapan penilaian materi)
Perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar beranjak dari taksonomi bloom meliputi domain-domain sebagai berikut :
1. Kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan, pengetahuan dan perkembangan keterampilan/kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan tersebut.
2. Afektif, meliputi perubahan-perubahan dari segi sikap mental, perasaan dan kesadaran.
3. Psikomotor, meliputi perubahan perubahan dalam segi bentuk-bentuk tindakan motorik.
Perubahan pada siswa itu akan terjdi apabila terjadi proses. Belajar menurut Skinner yang dikutip oleh Fatorrohman, mengartikan belajar sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif, sedangkan menurut Morgon dalam bukunya yang berjudul Introduction to Psychology, merumuskan bahwa belajar sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat hasil yang lalu.
Dalam kegiatan belajar mengajar, siswa adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan pembelajaran siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika siswa berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan siswa disini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya siswa tidak belajar, karena siswa tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk belajar. Misalnya perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.
Menurut pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu, perubahan tingkah laku yang baik. Banyak faktor yang mempengaruhi belajar salah satunya adalah faktor eksternal atau dari luar diri siswa salah satunya adalah faktor lingkungan.
Adapun faktor lingkungan itu dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Faktor lingkungan non sosial atau alami; faktor sosial ini mencakup antara lain: keadaan suhu, kelembaban udara, waktu, tempat letak gedung sekolah dan sebagainya.
2. Faktor lingkungan sosial baik berwujud manusia dan representasinya termasuk budaya akan mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa.
Pada dasarnya minat belajar siswa itu tidak semuanya sama, melainkan berbeda-beda. Menurut Nasution minat mempunyai proses dan hasil belajar. Kalau seseorang tidak berminat mempelajari sesuatu tidak diharapkan bahwa dia akan berhasil dengan baik dalam mempelajari hal tersebut, sebaliknya kalau seseorang belajar dengan penuh minat maka dapat diharapkan bahwa hasilnya akan lebih baik. Karena itu persoalan yang biasa timbul ialah bagaimana mengusahakan agar hal yang disajikan sebagai pengalamn bljar itu mrenarik minat para peljar, atau bagaimana menentukan agar para pelajar itu, belajar mengenai hal-hal yang memang menarik minat mereka.
Dalam hubungan yang terakhir ini misalnya, dapat diketengahkan perlunya pilihan jurusan atau pemilihan bidang studi pada lembaga-lembaga pendidikan formal. Sebaliknya jurusan atau bidang studi yang dipilih benar-benar sesuai dengan minat belajar, karena dengan demikian dapat diharapkan hasil belajar yang lebih baik.
Salah satu tugas pendidik atau guru adalah menciptakan suasana pembelajaran yang dapat memotivsi siswa untuk senantiasa belajar dengan baik dan bersemangat. Suasana pembelajaran yang demikian akan berdampak positif dalam pencapaian prestasi belajar yang optimal. Oleh karena itu guru sebaiknya memiliki kemampuan dalam memilih metode dan media pembelajaran yang tepat. Ketidaktepatan dalam menerima yang disampaikan sehingga materi kurang dapat dipahmi yang akan mengakibatkan siswa menjadi apatis
Adapun prestasi adalah hasil diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan. Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung.
Dari pandangan di atas maka penulis tertarik untuk menemukan permasalahan yang dipaparkan dalam sebuah laporan proposal penelitian pada mata kuliah metodologi penelitian Pendidikan Agama Islam dengan mengangkat judul ” Peran Penting Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Kinerja Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Al-Qur`an Hadits Di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas”
B. Batasan Masalah
Permasalahan yang dikaitkan dengan judul diatas sangat luas, sehingga tidak mungkin dari lapangan permasalahan itu dapat terjangkau dan terselesaikan semua. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan guna menghindari kemungkinan kesalahpahaman sehingga timbul multi penafsiran yang berbeda-beda yang akan mengakibatkan penyimpangan terhadap judul di atas, Maka dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah yang diteliti sebagai berikut :
1. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah aspek-aspek dari subjek penelitian yang menajadi sasaran penelitian, meliputi :
a. Kepemimpinan Kepala Sekolah
b. Kinerja Guru
c. Prestasi Belajar Siswa Pada Mata pelajaran Al-Qur`an hadits
2. Subjek Penelitian
Subjek Penelitian ini adalah direncanakan siswa-siswi MTs Negeri Ciruas
C. Rumusan Masalah
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah diatas, perumusan masalah adalah “upaya untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan apa saja yang kita cari jawabannya”, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti. Adapun perumusan masalah pada proposal penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kepemimpinan kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
2. Bagaimanakah kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
3. Bagaimana prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
4. Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
5. Apakah terdapat hubungan antara kinerja guru dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
6. Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian yang dapat penulis rumuskan dari beberapa masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kepemimpinan kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
2. Untuk mengetahui kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
3. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
5. Untuk mengetahui hubungan antara kinerja guru dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
6. Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat khususnya bagi penulis, kepala sekolah, guru dan siswa serta berguna bagi dunia pendidikan dalam rangka meningkatkan pencapaian tujuan Pendidikan Nasional pada umumnya. Adapun manfaat lain dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pengalaman dan motivasi bagi kepala sekolah, guru dan siswa tentunya peningkaatn prestasi belajarnya pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di MTs Negeri Ciruas.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengembangan tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru.
3. Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada kepala sekolah, para guru dan siswa pada umumnya dalam prestasi belajarnya pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits, serta dapat meningkatkan mutu pendidikan di MTs Negeri Ciruas Kabuopaten Serang.
4. Hasil penelitian ini juga merupakan bagian dari pengalaman disiplin ilmu yang penulis tempuh pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
5. Hasil penelitian ini pun diharapkan menjadi bahan masukan (input) khusunya bagi mahasiswa dan IAIN “SMH” Banten dalam peningkatan mutu belajar, dan umumnya bagi dunia pendidikan sebgai khazanah ilmu keislaman.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah (Variabel X.1)
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yangdiarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. . Sutisna (1993) merumuskan kepemimpinan sebagai ”proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu”.
Sementara Soepardi (1988) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menggerakan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu), serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif efesien. Sementara dalam pandangan Hadari Nawawi dalam buku administrasi pendidikan mengatakan kepemimpinan terbagi dalam tiga istiulah yaitu:
a. Pemimpin (leader)dengan kegiatannya disebut kepemimpinan (leadership).
b. Menejer (manager) dengan kegiatannya yang disebut manajemen (mangement).
c. Administrator dengan kegiatannya yang disebut administrasi (administration).
Beberapa pengertian lain tentang kepemimpinan adalah sebagai berikut:
a. kepemimpinan adalah proses mengarahkan, membimbing , mempengaruhi atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan dan tingkah laku orang lain.
b. Kepemimpinan adalah tindakan atau perbuatan diantara perseorangan dan kelompok yang menyebabkan, baik orang seorang maupun kelompok bergerak ke arah tujuan tertentu.
Dari pengertian di atas menurut penulis sendiri mendepeiniskan tentang kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain dan mengarahkan untuk melkaukan sesuatu baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan bahkan di dalamnya sebgai motifator pembinaan bagi perseorangan atau kelompok dalam suatu organmisasi maupun lembaga.
2. Kinerja Guru (Variabel X.2)
Menurut kamus umum bahasa indonesa kinerja adalah sesuatu yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan dalam bekerja. adalah orang yang melakukan olah raga dengan menerima bayaran; pemain bayaran, lawan amatir. Sedangkan menurutkamus ilmiah popular professional : mengenai profesi; (mengenai) keahlian; masuk golongan terpelajar /ahli; pemain bayaran.
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Sehubungan dengan itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu entrinya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseoarng atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.
Sedangkan pengertian guru menurut kamus umum bahasa indonesia adalah orang yang kerjanya mengajar , Agama, pengajara agama, Bantu, guru pada sekolah rendah sebagai pembantu;- besar, maha-, guru pada sekolah tinggi.
Guru yang professional adalah guru yang memiliki kemampuan sebagai berikut;
1. Merencanakan program belajar mengajar
2. Melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar mengajar
3. Menilai kemajuan kegiatan belajar mengajar, dan
4. Menafsirkan dan memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan pelaksanaankegiatan belajar mengajar.
3. Prestasi Belajar Siswa (Variabel Y)
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian prestasi adalah hasil yang telah dicapai, (dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya).
Syaiful Djamarah berpendapat bahwa “prestasi adalah hasil yang telah dikerjakan, diciptakan (baik sarana individu ataupun kelompok). Jadi prestasi ini ialah hasil dari sesuatu yang diperoleh kalau seseorang tersebut telah melakukan suatu kegiatan. Sementara Harun Harahap dkk, memberikan batasan bahwa prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid, yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran serta nialai-nilai yang terdapat dalam kurikulum. Sedangkan Mas’ud Hasan Abdul Kohar, prestasi itu adalah apa yang telah didapat atau diciptakan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dari suatu kegiatan yang telah diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Sedangkan belajar adalah suatu aktifitas yang sadar akan tujuan, karena tujuan belajar adalah tejadinya perubahan dalam diri individu, perubahan arti menuju keperkembangan seutuhnya. Menurut Slameto belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Muhibbin Syah, belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Setelah memperhatikan pendapat pakar di atas, dapat saya simpulkan bahwa “prestasi belajar” adalah hasil yang diperoleh berupa pesan-pesan yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai yang diberikan oleh guru.
G. Kerangka Teori
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Keberadaan pemimpin memegang peranan penting di dalam jalannya roda organisasi, sesuai dengan perannya sebagai penunjuk arah dan tujuan di masa depan (direct setter), agen perubahan (change agent), negosiator (spokesperson), dan sebagai pembina (coach).
Salah satu bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma-paradigma baru dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional yang digambarkan sebagai kepemimpinan yang membangkitkan atau memotivasi karyawan untuk dapat berkembang dan mencapai kinerja atau tingkat yang lebih tinggi lagi sehingga mampu mencapai lebih dari yang mereka perkirakan sebelumnya (beyond expectation).
Kepemimpinan merupakan suatu pola perilaku seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi anak buahnya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan, cara memimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota kelompok membentuk gaya kepemimpinannya.
Disamping itu keberhasilan proses mengajar di sekolah itu bagaimanapun tergantung dari komponen sekolah bahkan peran kepala sekolah memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Studi keberhasilan kepala sekolah menunjukan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah. Bahkan lebih jauh studi tersebut menyimpulkan bahwa keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah. Beberapa diantara kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para siswa, kepala sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang menetukan irama bagi sekolah mereka.
2. Kinerja Guru
Menurut PP RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dalam konteks itu, maka kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.
Keempat jenis kompetensi guru yang dipersyaratkan beserta subkom- potensi dan indikator esensialnya yaitu kompetensi kepribadian (personal), kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
3. Prestasi belajar Siswa
Sedangkan prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, yakni “prestasi” dan “belajar”. Antara kata prestasi dan belajar mempunyai arti yang berbeda, prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi merupakan output dari program pendidikan dan pengajaran baik itu di rumah, di sekolah ataupun di masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar setiap dilaksanakannya pendidikan itu memilik tujuan atau sasaran. Adapun tujuan atau sasaran tersebut adalah prestasi yang baik.
Prestasi menurut bahasa adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dikerjakan atau dilakakukan). Berdasarkan definisi tersebut, prestasi dapat diartikan sebagai hasil yang diperoleh seseorang dari pengalamannya, baik itu pengalaman kerja ataupun pengalaman belajar, yang semuanya itu diperoleh dari kerajinan atau keuletan seseorang baik dalam bekerja maupun dalam belajar. Adapun yang dimaksud prestasi dalam konteks tulisan ini adalah prestasi yang dicapai oleh siswa dalam proses belajar mengajar.
H. Hipotesis Penelitian
Hopotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya di uji secara empiris atau pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya pada saat fenomena di kenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi. Sesuai dengan kerangka teori di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penyusunan proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ho : r x y = 0 :
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru
2. Ho : r x y = 0 :
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan prestasi belajar siswa
3. Ha : r x y > 0 :
Terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru
4. Ha : r x y > 0 :
Terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan prestasi belajar siswa
I. Metode Penelitian
Dalam penyusunan proposal penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan komparatif (perbandingan). Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sitem penilitian atau peristiwa pada masa sekarang.
Sedangkan komparatif adalah penelitian yang berusaha menemukan persamaan dan perbedaan suatu benda, orang, ide prosedur kerja, kritik orang lain atau sekelompok. Jadi metode diskriptif komporatif adalah metode yang digunakan untuk menentukan persamaan atau perbedaan tentang suatu objek yang sedang diteliti. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang perbandingan antara prestasi belajar siswa kelas unggulan dengan siswa kelas biasa.
J. Daftar Isi Sementara
Halaman Judul…………………………………………………………………... i
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………. 1
B. Batasan Masalah ……………………………………………………………. 15
C. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 15
D. Tujuan dan kegunaan Penelitian …………………………………………… 16
E. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………. 18
F. Kerangka Teori ……………………………………………………………... 23
G. Hipotesis ……………………………………………………………………. 25
H. Metode Penelitian …………………………………………………………... 26
I. Daftar isi Sementara ………………………………………………………… 27
J. Bibliografi …………………………………………………………………… 28
BIBLIOGRAFI
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Departemen Agama RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbit CV Eko Jaya. Jakarta 1989.
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009).
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 1991).
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Logos. 1999).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998).
Soetjipto, Profesi Keguruan , (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1995).
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi dan Potensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994).
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1985).
Peningkatan mutu pendidkan merupakan sasaran pembangunan di bidang pendidikan nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara kaffah (menyeluruh). Pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan ”Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” tertanggal 2 Mei 2002, dan lebih terfokus lagi, setelah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepa Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Peningkatan kualitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan tekhnis, tetapi mencakup berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, baik yang menyangkut perencanaan, pendanaan, maupun efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan siostem sekolah. peningkatan kulaitas pendidikan juga menuntut manajemen pendidikan yang lebih baik. Sayangnya, selama ini aspek manajemen pendidikan pada berbagai tingkat satuan pendidikan belum mendapat perhatian yang serius sehingga seluruh komponen sistem pendidikan kurang berfungsi dengan baik. Lemahnya manajemen pendidikan juga memberikan dampak terhadap efisiensi internal pendidikan yang terlihat dari jumlah peserta didik yang menguilang kelas dan putus sekolah.
Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatan kulaitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991) menunjukan bahwa manajemen sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan. Manajemen sekolah secara langsung akan mempengaruhi dan menentukan efektif tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu mengajar, dan proses pembelajaran. Dengan demikian, upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dimulai dengan pembenahan manajemen sekolah, di samping peningkatan kualitas guru dan pengembangan sumber belajar.
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan. Sedang sifat unik, menunjukan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki ciri-ciri yang menempatkan sekolah memiliki karakter tersendiri, di mana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselengaranya pembudayaan kehidupan umat manusia.
Pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh setiap manusia, karena tanpa pendidikan manusia tidak akan bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan pendidikan manusia bisa berubah dari yang tidak tahu menjadi tahu kemudian dari yang tidak bisa menjadi bisa, itulah sebabnya pendidikan diperlukan sekali. Didalam perkembangannya istilah pendidikan ini berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Pendidikan berarti “usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupannya yang lebih tinggi dalam arti mental”.
Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan berkesinambungan . Bahkan tidak kalah pentingnya peningkatan sumber daya manusia merupakan salah satu sasaran pembangunan jangka panjang yang mengiringi laju pertumbuhan ekonomi. Salah satu pilar dalam meningkatkan mutu sumber daya manusia adalah bidang pendidikan. Pendidikan sebagai upaya pembentukan generasi muda yang tangguh dan mumpuni, dilaksanakan dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Peran pendidikan dewasa ini sangat dominan, di Negara - negara yang sedang berkembang dan membangun seperti Negara Indonesia. Pembangunan yang dilakukan di Indonesia dilakukan baik dalam bidang fisik maupun mental spiritual membutuhkan sumber daya manusia yang terdidik. Oleh karena itu ditempuh berbagai upaya untuk memantapkan pembentukan kepribadian bangsa termasuk generasi mudanya melalui pendidikan.
Pendidikan disamping mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus akan mengembangkan kualitas sumber daya manusia khususnya generasi muda sebagai komponen bangsa secara optimal. Proses pendidikan berarti di dalamnya menyangkut kegiatan belajar mengajar dengan segala aspek maupun faktor yang mempengaruhinya. Pada hakikatnya, untuk menunjang tercapainya tujuan pengajaran, prestasi belajar merupakan pencerminan kegiatan belajar mengajar yang melibatkan siswa, guru, materi pelajaran, metode pengajaran, sarana atau fasilitas belajar, kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan didukung oleh lingkungan yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Disamping itu peran kepala Sekolah juga sangat dominan untuk mengembangkan manajemen pembelajaran.
Peningkatan kulaitas pendidikan bukanlah tugas yang ringan karena tidak hanya berkaitan dengan permasalahan teknis tetapi mencakup berbagai persoalan yang sangat rumit dan kompleks, baik yang menyangkut perencanaan, pendanaan, maupun efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan sistem sekolah. Peningkatan kualitas pendidikan juga menuntut manajemen pendidkan yang lebih baik. Sayangnya, selama ini aspek manajemen pendidikan pada berbagai tingkat dan satuan pendidikan pada berbagai tingkat dan satuan pendidikan belum mendapat perhatian yang serius sehingga seluruh komponen system pendidikan kurang berfungsi dengan baik. Lemahnya manajemen pendidikan juga memberikan dampak terhadap efesiensi internal pendidikan yang terlihat dari jumlah peserta didik yang mengulang kelas dan putus sekolah. Manajemen pendidikan merupakan alternatif strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Balitbangdikbud (1991) menunjukan bahwa manajemen sekolah merupakan satu faktor yang mempengaruhi kulaitas pendidikan.
Di samping itu pula peran kepemimpinan di sekolah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam manajemen di sekolah. Kepemimpinan berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif . Perilaku kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para guru dengan menujukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap para guru, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Perilaku instrumental merupakan tugas-tugas yang diorientasikan dan secara langsung diklarifikasi dalam peranan dan tugas-tugas para guru, sebagai individu dan sebagai kelompok. Perilaku pemimpin yang positif dapat mendorong kelompok dalam mengarahkan dan memotivasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi
Sesuai Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah . Guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimum sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV), menguasai kompetensi (pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian), memiliki sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan walaupun kenyataannya masih terdapat dilakukan orang di luar kependidikan.
Guru juga mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional tersebut dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru tersebut mendefinisikan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Guru sebagai pendidik profesioanl mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau tauladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya, dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Keutamaan seorang pendidik (guru) disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban oleh seorang guru sama dengan tugas seorang Rasul. Dari pandangan itu dipahami, bahwa tugas pendidik sebagai”warasat al-anbiya” yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat li al-`alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat, kemudian misi ini dikembangkan oleh kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi.
Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Keberhasilan pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya.
Dalam pengertian di atas mengajar menyampaikan pengetahuan kepada siswa atau murid, maka pengajaran dipandang sebagai upaya mempersiapkan siswa untuk hidup dimasa yang akan datang; pengajaran juga merupakan penyampaian pengetahuan dari guru kepada siswa, tujuan pengajaran adalah penguasaan pengetahuan oleh siswa; guru dianggap sebagai sumber utama belajar; murid diposisikan sebagai penerima pesan, informasi dan pengetahuan dan pengajaran hanya berlangsung di ruangan kelas.
Mengajar dipandang sebagai membimbing murid atau siswa adalah berkaitan dengan peran guru yang lebih kepada moderator dalam kegiatan belajar mengajar, dan yang dituntut aktif melakukan aktivitas belajar adalah siswa untuk melakukan kegiatan dan pengalaman belajar dan memperoleh kecakapan hidup dalam kegiatan pembelajaran dengan menggali dan mencari informasi sendiri, berdiskusi, mengunjungi sumber belajar selain guru dan sebagainya.
Dalam kegiatan belajar mengajar, siswa adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan pembelajaran siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika siswa berusaha secara aktif untuk
mencapainya. Keaktifan siswa disini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya siswa tidak belajar, karena siswa tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk belajar. Misalnya perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.
Dari pandangan diatas jelas sekali bahwa kegiatan belajar mengajar tidak berproses dalam kehampaan, tetapi dengan penuh makna. Di dalamnya terdapat sejumlah norma untuk ditanamkan kedalam ciri setiap pribadi siswa.
Kegiatan belajar mengajar adalah suatu kondisi yang dengan sengaja diciptakan. Gurulah yang menciptakannya guna membelajarkan siswa. Guru yang mengajar dan siswa yang belajar. Perpaduan dari kedua unsur manusiawi ini lahirlah interaksi edukatif dengan memanfaatkan bahan sebagai mediumnya.
Semua orang yakin bahwa guru memilki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan siswa untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembanganya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir bahkan pada saat meninggal. Semua itu menunjukan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam
perkembangannya, demikian halnya peserta didik ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.
Minat, bakat, kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh siswa tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu memperhatikan siswa secara individual, karena antara satu siswa dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Guru pula yang memberi dorongan agar siswa berani berbuat benar, dan membiasakan mereka untuk bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya. Gurulah sebagai kunci keberhasilan pembelajaran di sekolah, sehingga dituntut untuk memilki kesabaran, kreativitas dan profesionalisme.
Proses belajar seseorang tidak lepas dari motivasi orang yang bersangkutan. Oleh karena itu pada dasarnya motivasi belajar merupakan faktor yang sangat menentukan di dalam proses kegiatan belajar seseorang. Purwanto (1990: 60) menyatakan bahwa "motivasi adalah syarat mutlak untuk belajar". Motif merupakan segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak atau melakukan sesuatu.
Seorang siswa dapat belajar secara efisien jika ia memiliki motivasi untuk belajar. Motivasi itu timbul dari dalam dan dari luar. Apabila ditinjau dari segi kekuatan dan kemantapannya, maka motivasi yang timbul dari dalam diri seorang siswa akan lebih stabil dan mantap dibandingkan dengan motivasi karena pengaruh lingkungan (motivasi dari luar). Hal ini dikarenakan dengan berubahnya lingkungan otomatis mempengaruhi motivasi, sehingga motivasi belajar seseorang itu juga akan mengalami perubahan. Apabila lingkungan yang mempengaruhi siswa tersebut lenyap, maka dapat berakibat hilangnya motivasi belajar siswa yang bersangkutan. Oleh karena itu motivasi belajar yang timbul dari dalam dan dari luar harus berjalan secara balance dan saling melengkapi. Pada akhirnya melalui motivasi tersebut akan timbul semangat siswa untuk belajar dan memperoleh prestasi belajar yang optimal.
Demikian dengan belajar akan nampak terdapt perubahan-perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses menjadi matangnya seseorang bersifat temporer. Perubahan timbul melalui tahapan antara satu dan lainnya yang bertalian secara beruntun dan fungsional.
Perubahan tersebut pada pokoknya berupa perubahan kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif sama, perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha.
Menurut Bruner (1999) dalam proses pembelajaran mennempuh tiga tahap atau episiode yaitu :
1. Tahapan Informasi (tahapan penerimaan materi)
2. Tahapan transformasi (tahapan pengubahan materi)
3. Tahapan Evaluasi (tahapan penilaian materi)
Perubahan yang terjadi sebagai hasil belajar beranjak dari taksonomi bloom meliputi domain-domain sebagai berikut :
1. Kognitif, meliputi perubahan-perubahan dalam segi penguasaan, pengetahuan dan perkembangan keterampilan/kemampuan yang diperlukan untuk menggunakan pengetahuan tersebut.
2. Afektif, meliputi perubahan-perubahan dari segi sikap mental, perasaan dan kesadaran.
3. Psikomotor, meliputi perubahan perubahan dalam segi bentuk-bentuk tindakan motorik.
Perubahan pada siswa itu akan terjdi apabila terjadi proses. Belajar menurut Skinner yang dikutip oleh Fatorrohman, mengartikan belajar sebagai suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif, sedangkan menurut Morgon dalam bukunya yang berjudul Introduction to Psychology, merumuskan bahwa belajar sebagai suatu perubahan yang relatif dalam menetapkan tingkah laku sebagai akibat hasil yang lalu.
Dalam kegiatan belajar mengajar, siswa adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari kegiatan pengajaran. Karena itu, inti proses pengajaran tidak lain adalah kegiatan pembelajaran siswa dalam mencapai suatu tujuan pengajaran. Tujuan pengajaran tentu saja akan dapat tercapai jika siswa berusaha secara aktif untuk mencapainya. Keaktifan siswa disini tidak hanya dituntut dari segi fisik, tetapi juga segi kejiwaan. Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya siswa tidak belajar, karena siswa tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar hakikatnya adalah perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk belajar. Misalnya perubahan fisik, mabuk, gila dan sebagainya.
Menurut pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang setelah melakukan aktivitas tertentu, perubahan tingkah laku yang baik. Banyak faktor yang mempengaruhi belajar salah satunya adalah faktor eksternal atau dari luar diri siswa salah satunya adalah faktor lingkungan.
Adapun faktor lingkungan itu dapat di bagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Faktor lingkungan non sosial atau alami; faktor sosial ini mencakup antara lain: keadaan suhu, kelembaban udara, waktu, tempat letak gedung sekolah dan sebagainya.
2. Faktor lingkungan sosial baik berwujud manusia dan representasinya termasuk budaya akan mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa.
Pada dasarnya minat belajar siswa itu tidak semuanya sama, melainkan berbeda-beda. Menurut Nasution minat mempunyai proses dan hasil belajar. Kalau seseorang tidak berminat mempelajari sesuatu tidak diharapkan bahwa dia akan berhasil dengan baik dalam mempelajari hal tersebut, sebaliknya kalau seseorang belajar dengan penuh minat maka dapat diharapkan bahwa hasilnya akan lebih baik. Karena itu persoalan yang biasa timbul ialah bagaimana mengusahakan agar hal yang disajikan sebagai pengalamn bljar itu mrenarik minat para peljar, atau bagaimana menentukan agar para pelajar itu, belajar mengenai hal-hal yang memang menarik minat mereka.
Dalam hubungan yang terakhir ini misalnya, dapat diketengahkan perlunya pilihan jurusan atau pemilihan bidang studi pada lembaga-lembaga pendidikan formal. Sebaliknya jurusan atau bidang studi yang dipilih benar-benar sesuai dengan minat belajar, karena dengan demikian dapat diharapkan hasil belajar yang lebih baik.
Salah satu tugas pendidik atau guru adalah menciptakan suasana pembelajaran yang dapat memotivsi siswa untuk senantiasa belajar dengan baik dan bersemangat. Suasana pembelajaran yang demikian akan berdampak positif dalam pencapaian prestasi belajar yang optimal. Oleh karena itu guru sebaiknya memiliki kemampuan dalam memilih metode dan media pembelajaran yang tepat. Ketidaktepatan dalam menerima yang disampaikan sehingga materi kurang dapat dipahmi yang akan mengakibatkan siswa menjadi apatis
Adapun prestasi adalah hasil diperoleh karena adanya aktivitas belajar yang telah dilakukan. Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung.
Dari pandangan di atas maka penulis tertarik untuk menemukan permasalahan yang dipaparkan dalam sebuah laporan proposal penelitian pada mata kuliah metodologi penelitian Pendidikan Agama Islam dengan mengangkat judul ” Peran Penting Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Kinerja Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Al-Qur`an Hadits Di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas”
B. Batasan Masalah
Permasalahan yang dikaitkan dengan judul diatas sangat luas, sehingga tidak mungkin dari lapangan permasalahan itu dapat terjangkau dan terselesaikan semua. Oleh karena itu perlu adanya pembatasan guna menghindari kemungkinan kesalahpahaman sehingga timbul multi penafsiran yang berbeda-beda yang akan mengakibatkan penyimpangan terhadap judul di atas, Maka dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup dan fokus masalah yang diteliti sebagai berikut :
1. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah aspek-aspek dari subjek penelitian yang menajadi sasaran penelitian, meliputi :
a. Kepemimpinan Kepala Sekolah
b. Kinerja Guru
c. Prestasi Belajar Siswa Pada Mata pelajaran Al-Qur`an hadits
2. Subjek Penelitian
Subjek Penelitian ini adalah direncanakan siswa-siswi MTs Negeri Ciruas
C. Rumusan Masalah
Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah diatas, perumusan masalah adalah “upaya untuk menyatakan secara tersurat pernyataan-pernyataan apa saja yang kita cari jawabannya”, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan pernyataan yang lengkap dan terperinci mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti. Adapun perumusan masalah pada proposal penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kepemimpinan kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
2. Bagaimanakah kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
3. Bagaimana prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
4. Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
5. Apakah terdapat hubungan antara kinerja guru dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
6. Apakah terdapat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian yang dapat penulis rumuskan dari beberapa masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kepemimpinan kepala sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
2. Untuk mengetahui kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
3. Untuk mengetahui prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
4. Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
5. Untuk mengetahui hubungan antara kinerja guru dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
6. Untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas Kabupaten Serang.
Adapun kegunaan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat khususnya bagi penulis, kepala sekolah, guru dan siswa serta berguna bagi dunia pendidikan dalam rangka meningkatkan pencapaian tujuan Pendidikan Nasional pada umumnya. Adapun manfaat lain dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pengalaman dan motivasi bagi kepala sekolah, guru dan siswa tentunya peningkaatn prestasi belajarnya pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits di MTs Negeri Ciruas.
2. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengembangan tentang kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru.
3. Secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan kepada kepala sekolah, para guru dan siswa pada umumnya dalam prestasi belajarnya pada mata pelajaran Al-Qur`an Hadits, serta dapat meningkatkan mutu pendidikan di MTs Negeri Ciruas Kabuopaten Serang.
4. Hasil penelitian ini juga merupakan bagian dari pengalaman disiplin ilmu yang penulis tempuh pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI).
5. Hasil penelitian ini pun diharapkan menjadi bahan masukan (input) khusunya bagi mahasiswa dan IAIN “SMH” Banten dalam peningkatan mutu belajar, dan umumnya bagi dunia pendidikan sebgai khazanah ilmu keislaman.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah (Variabel X.1)
Kepemimpinan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yangdiarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. . Sutisna (1993) merumuskan kepemimpinan sebagai ”proses mempengaruhi kegiatan seseorang atau kelompok dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu”.
Sementara Soepardi (1988) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menggerakan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu), serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif efesien. Sementara dalam pandangan Hadari Nawawi dalam buku administrasi pendidikan mengatakan kepemimpinan terbagi dalam tiga istiulah yaitu:
a. Pemimpin (leader)dengan kegiatannya disebut kepemimpinan (leadership).
b. Menejer (manager) dengan kegiatannya yang disebut manajemen (mangement).
c. Administrator dengan kegiatannya yang disebut administrasi (administration).
Beberapa pengertian lain tentang kepemimpinan adalah sebagai berikut:
a. kepemimpinan adalah proses mengarahkan, membimbing , mempengaruhi atau mengawasi pikiran, perasaan atau tindakan dan tingkah laku orang lain.
b. Kepemimpinan adalah tindakan atau perbuatan diantara perseorangan dan kelompok yang menyebabkan, baik orang seorang maupun kelompok bergerak ke arah tujuan tertentu.
Dari pengertian di atas menurut penulis sendiri mendepeiniskan tentang kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain dan mengarahkan untuk melkaukan sesuatu baik yang bersifat perintah maupun yang bersifat larangan bahkan di dalamnya sebgai motifator pembinaan bagi perseorangan atau kelompok dalam suatu organmisasi maupun lembaga.
2. Kinerja Guru (Variabel X.2)
Menurut kamus umum bahasa indonesa kinerja adalah sesuatu yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan, kemampuan dalam bekerja. adalah orang yang melakukan olah raga dengan menerima bayaran; pemain bayaran, lawan amatir. Sedangkan menurutkamus ilmiah popular professional : mengenai profesi; (mengenai) keahlian; masuk golongan terpelajar /ahli; pemain bayaran.
Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.
Sehubungan dengan itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan performance sebagai kata benda (noun) di mana salah satu entrinya adalah hasil dari sesuatu pekerjaan (thing done), pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseoarng atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika.
Sedangkan pengertian guru menurut kamus umum bahasa indonesia adalah orang yang kerjanya mengajar , Agama, pengajara agama, Bantu, guru pada sekolah rendah sebagai pembantu;- besar, maha-, guru pada sekolah tinggi.
Guru yang professional adalah guru yang memiliki kemampuan sebagai berikut;
1. Merencanakan program belajar mengajar
2. Melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar mengajar
3. Menilai kemajuan kegiatan belajar mengajar, dan
4. Menafsirkan dan memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan pelaksanaankegiatan belajar mengajar.
3. Prestasi Belajar Siswa (Variabel Y)
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, pengertian prestasi adalah hasil yang telah dicapai, (dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya).
Syaiful Djamarah berpendapat bahwa “prestasi adalah hasil yang telah dikerjakan, diciptakan (baik sarana individu ataupun kelompok). Jadi prestasi ini ialah hasil dari sesuatu yang diperoleh kalau seseorang tersebut telah melakukan suatu kegiatan. Sementara Harun Harahap dkk, memberikan batasan bahwa prestasi adalah penilaian pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid, yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran serta nialai-nilai yang terdapat dalam kurikulum. Sedangkan Mas’ud Hasan Abdul Kohar, prestasi itu adalah apa yang telah didapat atau diciptakan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dari suatu kegiatan yang telah diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Sedangkan belajar adalah suatu aktifitas yang sadar akan tujuan, karena tujuan belajar adalah tejadinya perubahan dalam diri individu, perubahan arti menuju keperkembangan seutuhnya. Menurut Slameto belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Muhibbin Syah, belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Setelah memperhatikan pendapat pakar di atas, dapat saya simpulkan bahwa “prestasi belajar” adalah hasil yang diperoleh berupa pesan-pesan yang mengakibatkan perubahan-perubahan pada diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukan dengan nilai yang diberikan oleh guru.
G. Kerangka Teori
1. Kepemimpinan Kepala Sekolah
Keberadaan pemimpin memegang peranan penting di dalam jalannya roda organisasi, sesuai dengan perannya sebagai penunjuk arah dan tujuan di masa depan (direct setter), agen perubahan (change agent), negosiator (spokesperson), dan sebagai pembina (coach).
Salah satu bentuk kepemimpinan yang diyakini dapat mengimbangi pola pikir dan refleksi paradigma-paradigma baru dalam arus globalisasi dirumuskan sebagai kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional yang digambarkan sebagai kepemimpinan yang membangkitkan atau memotivasi karyawan untuk dapat berkembang dan mencapai kinerja atau tingkat yang lebih tinggi lagi sehingga mampu mencapai lebih dari yang mereka perkirakan sebelumnya (beyond expectation).
Kepemimpinan merupakan suatu pola perilaku seorang pemimpin yang khas pada saat mempengaruhi anak buahnya, apa yang dipilih oleh pemimpin untuk dikerjakan, cara memimpin bertindak dalam mempengaruhi anggota kelompok membentuk gaya kepemimpinannya.
Disamping itu keberhasilan proses mengajar di sekolah itu bagaimanapun tergantung dari komponen sekolah bahkan peran kepala sekolah memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Studi keberhasilan kepala sekolah menunjukan bahwa kepala sekolah adalah seseorang yang menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah. Bahkan lebih jauh studi tersebut menyimpulkan bahwa keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolah. Beberapa diantara kepala sekolah dilukiskan sebagai orang yang memiliki harapan tinggi bagi para staf dan para siswa, kepala sekolah adalah mereka yang banyak mengetahui tugas-tugas mereka dan mereka yang menetukan irama bagi sekolah mereka.
2. Kinerja Guru
Menurut PP RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, pendidik adalah agen pembelajaran yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Dalam konteks itu, maka kompetensi guru dapat diartikan sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diwujudkan dalam bentuk perangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang guru untuk memangku jabatan guru sebagai profesi.
Keempat jenis kompetensi guru yang dipersyaratkan beserta subkom- potensi dan indikator esensialnya yaitu kompetensi kepribadian (personal), kompetensi pedagogik, kompetensi profesional dan kompetensi sosial.
3. Prestasi belajar Siswa
Sedangkan prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata, yakni “prestasi” dan “belajar”. Antara kata prestasi dan belajar mempunyai arti yang berbeda, prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi merupakan output dari program pendidikan dan pengajaran baik itu di rumah, di sekolah ataupun di masyarakat. Secara sadar atau tidak sadar setiap dilaksanakannya pendidikan itu memilik tujuan atau sasaran. Adapun tujuan atau sasaran tersebut adalah prestasi yang baik.
Prestasi menurut bahasa adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dikerjakan atau dilakakukan). Berdasarkan definisi tersebut, prestasi dapat diartikan sebagai hasil yang diperoleh seseorang dari pengalamannya, baik itu pengalaman kerja ataupun pengalaman belajar, yang semuanya itu diperoleh dari kerajinan atau keuletan seseorang baik dalam bekerja maupun dalam belajar. Adapun yang dimaksud prestasi dalam konteks tulisan ini adalah prestasi yang dicapai oleh siswa dalam proses belajar mengajar.
H. Hipotesis Penelitian
Hopotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya di uji secara empiris atau pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya pada saat fenomena di kenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi. Sesuai dengan kerangka teori di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penyusunan proposal penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ho : r x y = 0 :
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru
2. Ho : r x y = 0 :
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan prestasi belajar siswa
3. Ha : r x y > 0 :
Terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru
4. Ha : r x y > 0 :
Terdapat hubungan yang signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan prestasi belajar siswa
I. Metode Penelitian
Dalam penyusunan proposal penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan komparatif (perbandingan). Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sitem penilitian atau peristiwa pada masa sekarang.
Sedangkan komparatif adalah penelitian yang berusaha menemukan persamaan dan perbedaan suatu benda, orang, ide prosedur kerja, kritik orang lain atau sekelompok. Jadi metode diskriptif komporatif adalah metode yang digunakan untuk menentukan persamaan atau perbedaan tentang suatu objek yang sedang diteliti. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian tentang perbandingan antara prestasi belajar siswa kelas unggulan dengan siswa kelas biasa.
J. Daftar Isi Sementara
Halaman Judul…………………………………………………………………... i
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………………………. 1
B. Batasan Masalah ……………………………………………………………. 15
C. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 15
D. Tujuan dan kegunaan Penelitian …………………………………………… 16
E. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………. 18
F. Kerangka Teori ……………………………………………………………... 23
G. Hipotesis ……………………………………………………………………. 25
H. Metode Penelitian …………………………………………………………... 26
I. Daftar isi Sementara ………………………………………………………… 27
J. Bibliografi …………………………………………………………………… 28
BIBLIOGRAFI
Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Departemen Agama RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Penerbit CV Eko Jaya. Jakarta 1989.
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009).
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 1991).
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: Logos. 1999).
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1998).
Soetjipto, Profesi Keguruan , (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1995).
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi dan Potensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994).
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1985).
PENGHIMPUNAN DAN PEMBUKUAN AL-QUR`AN Oleh : Aep Saepul Anwar, S.Pd.I
A. Pendahuluan
Sebelum Islam, tidak ada sumber yang mencatat akan adanya buku bahasa Arab di semenanjung Arabia. Sebenarnya Al-Qur`an merupakan buku pertama berbahasa Arab di mana iqra` (berarti bacalah) merupakan pembuka kata yang diwahyukan.
Sebelum kita mengenal penelitian, terkadang kita hanya membayangkan dan mendengar kata “penelitian”, orang sering membayangkan suatu kesibukan di laboratorium. Seorang ahli sedang asyik mengamati reaksi zat-zat yang dicampur di tabung reaks, atau dalam labu didih, tabung Erlenmeyer, atau alat-alat lain yang serba rumit. Dengan kata demikian, maka penelitian adalah suatui kegiatan monopoli para ahli.
Al-Qur’an merupakan kalam Illahi yang di wahyukan kepada Muhammad SAW untuk disampaikan kepada segenap umat manusia di dunia dan dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia dan merupakan kitab suci bagi umat islam, namun tidak banyak orang yang mengetahui apa itu sebenarnya yang dinamakan Al Qur’an, serta bagaimana proses awal pembukuan serta pembakuan Al Qur’an itu sendiri, maka dari itu makalah ini akan membahas seputar pengertian Al- Qur’an dan proses pembukuan serta pembakuan Al-Qur’an hingga menjadi Al- Qur’an yang utuh yang sering kita baca pada setiap harinya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususya.
Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an terkadang diartikan dengan menghafalkan dan mengikatnya dalam dada dan terkadang diartikan dengan penulisannya dalam lembaran-lembaran. Pengumpulan Al-Qur`an dengan pengertian di atas ini melalui tiga masa perkembangan yaitu :
1. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Nabi Muhammad SAW,
2. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah pertama, Abu Bakar Shidiq r.a,
3. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah ketiga, Utsman ibn Affan r.a.
Ketika Al-Qur`an turun kepada Nabi Muahammad SAW, beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan agar mereka menghafal lafaznya dan mampu memahami maknanya. Nabi Muhammad SAW, sangat perhatian dalam menghafal (memlihara) Al-Qur`an dan dalam memperolehnya.
Begitu besar perhatian dan kemauannya untuk menghafal dan memelihara Al-Qur`an, beliau senantiasa menggerakan lidahnya untuk mengucapkan dan melatihnya hingga di luar batas kebiasaan, yakni dengan melaksanakan penghafalannya karena khawatir ada yang luput walau satu kalimat atau menghilangkan satu huruf saja dari Al-Qur`an . Hal ini senantiasa Nabi Muhammad SAW lakukan sehingga Allah SWT, menegur beliau dan menjanjikannya untuk menghafalkannya di dalam dadanya, membacakan lafadz, dan memberikan pemahaman maknanya kepada beliau.
B. Penghimpunan dan Pembukuan Al-Qur`an
Meski Nabi Muhammad Saw telah m,encurahkan segala upaya yang mugkin dapat dilakukan dalam memelihara keutuhan Al-Qur`an, beliau tidak merangkum semua surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Tsabit dalam pernyataannya;
قبض النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن القرآن جمع في شيء
“Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur`an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku.”
Adapun yang dimaksud dengan penghimpunan atau pengumpulan Al-Qur`an (Jam`ul Qur`an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian yaitu:
1. Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jam`ul Qur`an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi senantiasa mengerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur`an ketiak Qur`an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya.
2. Pengumpulan atau penghimpunan dalam arti Kitabatuhu Kullihi (penulisan Qur`an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang terhimpun semua surah.
Pengumpulan dan penghimpunna Al-Qur`an merupakan suatu tahap penting dalam sejarah Al-Qur`an. Dari itu Al-Qur`an terpelihara dari pemalsuan dan persengketaan mengenai ayat-ayatnya sebagaimana terjadi pada ahli kitab, serta terhindar dari kepunahan. Mengenai pemeliharaan Al-Qur`an, Allah berjani:
•
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."(QS. Al-Hijr: 9)
Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya. Sebagaimana Ash Shabuni (1985) dan Al Hasan (1983) menerangkan bahwa kata "pengumpulan" (al-Jam`u) untuk Al-Qur`an memiliki dua pengertian yaitu penghafalan (al-hifzhu) dan penulisan (al-kitabah). Pengumpulan Al-Qur`an terbagi dalam 2 periode; yaitu pada masa Nabi Muahammad SAW dan periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa Khalifah Abu bakar Ash-Shidiq dan Khalifah Utsman bin Affan (Ash Shabuni, 1985).
1. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang diwahyukan kepada Rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping Rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan di hafalkan.
Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu. Zaid bin Tsabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, ia sering kali dipanggil dan diberi tugas penulisan saat wahyu turun. ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-Qur’an untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi, para sahabat selalu menyodorkan Al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan.
Pada masa Rasullah untuk menulis teks Al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun Al-Qur’an sudah tertuliskan pada masa Rasulullah tapi al-Qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam di dalam dada para sahabat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan di dalam satu mushaf di karenakan Rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
Menurut hemat penulis bahwa penghimpunan dan pembukuan Al-Qur`an sudah tersusun sejak zaman Nabi Muhammad Saw hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun. Bahkan Penyusunan Al-Qur`an nabi memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit karena pada waktu itu beliau selalu mendampingi Nabi ketika Al-Qur`an turun, Nabi juga sering memanggil Zaid bin Tsabit untuk membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; `Amr bin Um-Maktum al-A`ma` duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, “Bagaimana tentang saya?karena saya sebagai seorang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghairu uli al-darar” (bagi orang-orang yang bukan cacat). Tampaknya tidak ada lagi bukti pengecekan ulang setelah mendiktekan. Saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, pengumpulan dan penghimpunan Al-Qur`an dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan dalam dada (penghafalan) dan penulisan.
a. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Dada (Penghafalan)
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Al- Qur`an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya , sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.
Penghafalan ini sangat penting mengingat Al-Qur`an turun kepada yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang ditulis di tengah kaum yang juga ummi. Allah SWT, berfirman:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."(QS. Al-Jumu`ah: 2)
Sebagai orang yang ummi, mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Memang bagsa Arab pada masa turunnya Al-Qur`an memiliki budaya menghafal. Kekuatan ingatan dan hafalan mereka luar biasa. Banyak di antara mereka yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengingat diluar kepala silsilah serta nasab mereka. Maka ketika Al-Qur`an dengan jelas dan tegas ketentuannya, merekapun menghafalkan ayat demi ayat dan suart demi surat. Menilai Al-Qur`an sebagai bacaan yang sangat tinggi derajat kesusastraan dan kandungan isinya, mereka meninggalkan syair-syair kosong yang selama ini mereka hafalkan karena merasa memperoleh ruh dari Al-Qur`an
b. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Bentuk tulisan
Rasulullah, tidak hanya menghafalkan Al-Qur`an dan membacakannya kepada para sahabat dan kemudian dihafalkan oleh mereka, melainkan juga beliau menuliskannya dalam lembaran-lembaran.
Untuk itu Nabi memiliki beberapa orang penulis wahyu (kuttabu al-wahyu) di antaranya adalah
1. Zaid bin Tsabit,
2. Ubay bin Ka`ab,
3. Muadz bin Jabal,
4. Muawiyah bin Abu Sufyan,
5. Khulafaur Rasyidin,
6. Tsabit Bin Qays, dan
7. Khalid bin Walid.
Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati.
Di samping itu perangkat alat tulis sulit diperoleh sehingga mereka menuliskan ayat Al-Qur`an pada benda-benda yang mudah diperoleh, seperti pada pelapah kurma, lempengan batu, daun lontar, tulang belulang kulit atau daun kayu dan selainnya. Pada masa Nabi SAW, Al-Qur`an telah tertulis seluruhnya meskipun masih terpisah-pisah, dan penulisan tersebut dilakukan dengan "tujuh huruf" sebagaimana keadaan Al-Qur`an diturunkan.
Tulisan-tulisan Al-Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah menghafalkan seluruh isi Qur'an di masa Rasulullah.
Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur'an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas. Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tetapi Al-Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis, tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Al-Qur'an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Al- Qur'an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata, "Al-Qur'an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qur'an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah."
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan, "Rasulullah telah wafat sedang Al-Qur'an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar."
Adapun penyebab timbulnya penulisan Al-Qur`an pada masa Nabi SAW, ialah sebagai berikut:
1. Tulisan dapat memperkuat hafalan sehingga Al-Qur`an dapat memiliki sarana-sarana pemeliharaannya, baik hafalan maupun penetapan (dalam bnetuk tulisan). Oleh karena itu, referensi pengumpulan Al-Qur`an adalah hafalan dan tulisan.
2. Penyampaian wahyu secara sempurna, sebab penyampaian wahyu bersandarkan hafalan para sahabat tidak memadai karena mereka tidak luput dari kelupaan atau kematian, sedangkan tulisan akan senantuasa ada atau kekal dan tidak akan hilang.
2 Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq
Abu Bakar adalah pemangku pertama jabatan khalifah. Dalam perjalanan kepemimpinannya ia mengalami banyak permasalahan yang rumit, diantaranya adalah perang melawan orang-orang murtad yang terjadi dalam kaum muslim sendiri dan melawan pengikut Musailimah Al-Kadzab.
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur`an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada sat itu surat-surat dan ayat-ayatnya belum ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Abdillah Al-Muhasibi berkata di dalam kitabnya, “Fahm As-Sunan” penulisan Al-Qur`an bukanlah sesuatu yang baru, sebab Rasulullah SAW pernah memerintahkannya,. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur`an berpencar-pencar pada pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar kemudian berinsiatif menghimpun semuanya.
Ketika Rasullulah wafat dan kekhalifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang Islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtadan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H), yang menewaskan sekitar 70 para Qori’ dan Hufadz, dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit.
Setelah Abu Bakar berbicara , Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan dating darinya, "Bagaimana mungkin kita melkaukan sesuatu yang belum dilkaukan Rasulullah?" Umar lalu menjawab,
Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
3. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan timbul hal-hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota-kota besar dalam wilayah negara Islam. Kesadaran ini timbul karana para huffazal Al-Qur’an telah bertebaran ke kota-kota besar dan di antara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf Al-Qur’an, karena perbedaan dialek bahasa mereka. Selanjutnya masing- masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik. Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi. Beliau meminta kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Satu prinisip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Qur`an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditengah Hafshah. Serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur`an selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoriatif (absah) Al-Qur`an, yang sering juga disebut mushaf “Utsmani”, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.
Begitu juga Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Kemudian Khalifah menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf. Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing-masing dikirimkan ke kota-kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah, dan Mesir. Khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) al-Qur’an itu amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman ”Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain disobek”
Sebelum Utsman bin Affan (W. 35 H), Khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan bahkan ratusan mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Al-Quran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Utsman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non Utsmani.
Faktor penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman berbeda dengan faktor pnghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Sidiq. Pada masa Utsman Islam sudah mulai meluas ke berbagai negara maka perpecahanpun terjadi diantara kaum muslimin antar negara dan disetiap negara Islam terkenal dengan qiraah sahabat yang mengajari mereka. Perselisihan yang terus berlangsung ini hampir saja membawa kaum muslimin kepada efek pertikaian dan perpecahan, sehingga diantara mereka ada yang mengkafirkan hanya Karena perbedaan qiraah. Perbedaan penulisan Al-Qur`an pada masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pada Masa Abu Bakar Pada Masa Utsman bin Affan
1. Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur`an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur`an pada perang yamamah
2. Abu Bkar melakukannya dengan mengumpulkannya tulisan-tulisan Al-Qur`an yang terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya 1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihandi dalam cara membaca Al-Qur`an (qira`at)
2. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Qur`an turun.
C. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang harus dijaga keasliannya. Walaupun sudah ada jaminan dari Allah bahwa Al-Qur’an akan selalu dijaga olehnya akan tetapi kita sebagai umat islam wajib berusaha untuk menjaganya. Al-Qur’an sampai bentuk buku seperti yang kita pegang saat ini memiliki perjalanan yang cukup panjang yang terbagi dalam dua priode, pertama periode Rasulullah kedua periode khulafau Al-Rasyidin.
Pada masa Rasulullah Saw, Al-Qur’an hanya berupa hafalan-hafalan yang berada benak dada para sahabat dan tulisan dilempeng-lempeng batu, pelepah kurma dan dikeping-keping tulang, pada masa itu Al-Qur’an masih berserakan belum ada pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf,.
Atas usulan Umar pada Masa Abu Bakar mulailah terbentuk pembukuan Al-Qur’an, yang dipicu oleh banyak para Qori’ dan hufadz yang gugur pada peperangan Yamamah ( melawan orang yang murtad dari islam ), dikawatirkan Al-Qur’an akan punah. Pada masa Umar Bin Khattab tidak terjadi permasalahan dengan Al-Qur’an, karena pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab lebih berorientasi terhadap perluasan wilayah. Masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Quraisy, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
Pada masa masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Qurays, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A`zami, “ The History of The Qur`anic Text”. Gema Insani, Jakarta. 2005.
Manna Khalil Al-Qattan, “ Studi Ilmu-Ilmu Qur`an”. Mitra Kerjaya, Jakarta, 2011.
Mohammad Ali Ash-Shabuni, “Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an”. Al-Ikhlas, Surabaya.
Muhammad bin Muahammad Abu Syuhbah, “ Studi Ulmul Qur`an”. Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Muhammad Rahmat Kurnia, “ Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur`an dan Al-Hadits”. Khairul Bayan, Jakarta, 2002.
Rosihon Anwar, “Ulum Al-Qur`an” Rineka Cipta, Bandung, 2008.
Syeikh Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, “ Studi Al-Qur`an Al-Karim”. Pustaka Setia, Bandung, 1992.
Sebelum Islam, tidak ada sumber yang mencatat akan adanya buku bahasa Arab di semenanjung Arabia. Sebenarnya Al-Qur`an merupakan buku pertama berbahasa Arab di mana iqra` (berarti bacalah) merupakan pembuka kata yang diwahyukan.
Sebelum kita mengenal penelitian, terkadang kita hanya membayangkan dan mendengar kata “penelitian”, orang sering membayangkan suatu kesibukan di laboratorium. Seorang ahli sedang asyik mengamati reaksi zat-zat yang dicampur di tabung reaks, atau dalam labu didih, tabung Erlenmeyer, atau alat-alat lain yang serba rumit. Dengan kata demikian, maka penelitian adalah suatui kegiatan monopoli para ahli.
Al-Qur’an merupakan kalam Illahi yang di wahyukan kepada Muhammad SAW untuk disampaikan kepada segenap umat manusia di dunia dan dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia dan merupakan kitab suci bagi umat islam, namun tidak banyak orang yang mengetahui apa itu sebenarnya yang dinamakan Al Qur’an, serta bagaimana proses awal pembukuan serta pembakuan Al Qur’an itu sendiri, maka dari itu makalah ini akan membahas seputar pengertian Al- Qur’an dan proses pembukuan serta pembakuan Al-Qur’an hingga menjadi Al- Qur’an yang utuh yang sering kita baca pada setiap harinya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususya.
Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an terkadang diartikan dengan menghafalkan dan mengikatnya dalam dada dan terkadang diartikan dengan penulisannya dalam lembaran-lembaran. Pengumpulan Al-Qur`an dengan pengertian di atas ini melalui tiga masa perkembangan yaitu :
1. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Nabi Muhammad SAW,
2. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah pertama, Abu Bakar Shidiq r.a,
3. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah ketiga, Utsman ibn Affan r.a.
Ketika Al-Qur`an turun kepada Nabi Muahammad SAW, beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan agar mereka menghafal lafaznya dan mampu memahami maknanya. Nabi Muhammad SAW, sangat perhatian dalam menghafal (memlihara) Al-Qur`an dan dalam memperolehnya.
Begitu besar perhatian dan kemauannya untuk menghafal dan memelihara Al-Qur`an, beliau senantiasa menggerakan lidahnya untuk mengucapkan dan melatihnya hingga di luar batas kebiasaan, yakni dengan melaksanakan penghafalannya karena khawatir ada yang luput walau satu kalimat atau menghilangkan satu huruf saja dari Al-Qur`an . Hal ini senantiasa Nabi Muhammad SAW lakukan sehingga Allah SWT, menegur beliau dan menjanjikannya untuk menghafalkannya di dalam dadanya, membacakan lafadz, dan memberikan pemahaman maknanya kepada beliau.
B. Penghimpunan dan Pembukuan Al-Qur`an
Meski Nabi Muhammad Saw telah m,encurahkan segala upaya yang mugkin dapat dilakukan dalam memelihara keutuhan Al-Qur`an, beliau tidak merangkum semua surah ke dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Tsabit dalam pernyataannya;
قبض النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن القرآن جمع في شيء
“Saat Nabi Muhammad wafat, Al-Qur`an masih belum dirangkum dalam satuan bentuk buku.”
Adapun yang dimaksud dengan penghimpunan atau pengumpulan Al-Qur`an (Jam`ul Qur`an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian yaitu:
1. Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jam`ul Qur`an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi senantiasa mengerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur`an ketiak Qur`an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya.
2. Pengumpulan atau penghimpunan dalam arti Kitabatuhu Kullihi (penulisan Qur`an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang terhimpun semua surah.
Pengumpulan dan penghimpunna Al-Qur`an merupakan suatu tahap penting dalam sejarah Al-Qur`an. Dari itu Al-Qur`an terpelihara dari pemalsuan dan persengketaan mengenai ayat-ayatnya sebagaimana terjadi pada ahli kitab, serta terhindar dari kepunahan. Mengenai pemeliharaan Al-Qur`an, Allah berjani:
•
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."(QS. Al-Hijr: 9)
Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya. Sebagaimana Ash Shabuni (1985) dan Al Hasan (1983) menerangkan bahwa kata "pengumpulan" (al-Jam`u) untuk Al-Qur`an memiliki dua pengertian yaitu penghafalan (al-hifzhu) dan penulisan (al-kitabah). Pengumpulan Al-Qur`an terbagi dalam 2 periode; yaitu pada masa Nabi Muahammad SAW dan periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa Khalifah Abu bakar Ash-Shidiq dan Khalifah Utsman bin Affan (Ash Shabuni, 1985).
1. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang diwahyukan kepada Rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping Rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan di hafalkan.
Saat wahyu turun, Nabi Muhammad secara rutin memanggil para penulis yang ditugaskan agar mencatat ayat itu. Zaid bin Tsabit menceritakan sebagai ganti atau mewakili peranan dalam Nabi Muhammad, ia sering kali dipanggil dan diberi tugas penulisan saat wahyu turun. ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-Qur’an untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi, para sahabat selalu menyodorkan Al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan.
Pada masa Rasullah untuk menulis teks Al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun Al-Qur’an sudah tertuliskan pada masa Rasulullah tapi al-Qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam di dalam dada para sahabat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan di dalam satu mushaf di karenakan Rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
Menurut hemat penulis bahwa penghimpunan dan pembukuan Al-Qur`an sudah tersusun sejak zaman Nabi Muhammad Saw hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga masih belum tersusun. Bahkan Penyusunan Al-Qur`an nabi memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit karena pada waktu itu beliau selalu mendampingi Nabi ketika Al-Qur`an turun, Nabi juga sering memanggil Zaid bin Tsabit untuk membawa tinta dan alat tulis dan kemudian mendiktekannya; `Amr bin Um-Maktum al-A`ma` duduk menanyakan kepada Nabi Muhammad, “Bagaimana tentang saya?karena saya sebagai seorang buta.” Dan kemudian turun ayat, “ghairu uli al-darar” (bagi orang-orang yang bukan cacat). Tampaknya tidak ada lagi bukti pengecekan ulang setelah mendiktekan. Saat tugas penulisan selesai, Zaid membaca ulang di depan Nabi Muhammad agar yakin tak ada sisipan kata lain yang masuk ke dalam teks.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, pengumpulan dan penghimpunan Al-Qur`an dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan dalam dada (penghafalan) dan penulisan.
a. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Dada (Penghafalan)
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Al- Qur`an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya , sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.
Penghafalan ini sangat penting mengingat Al-Qur`an turun kepada yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang ditulis di tengah kaum yang juga ummi. Allah SWT, berfirman:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."(QS. Al-Jumu`ah: 2)
Sebagai orang yang ummi, mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Memang bagsa Arab pada masa turunnya Al-Qur`an memiliki budaya menghafal. Kekuatan ingatan dan hafalan mereka luar biasa. Banyak di antara mereka yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengingat diluar kepala silsilah serta nasab mereka. Maka ketika Al-Qur`an dengan jelas dan tegas ketentuannya, merekapun menghafalkan ayat demi ayat dan suart demi surat. Menilai Al-Qur`an sebagai bacaan yang sangat tinggi derajat kesusastraan dan kandungan isinya, mereka meninggalkan syair-syair kosong yang selama ini mereka hafalkan karena merasa memperoleh ruh dari Al-Qur`an
b. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Bentuk tulisan
Rasulullah, tidak hanya menghafalkan Al-Qur`an dan membacakannya kepada para sahabat dan kemudian dihafalkan oleh mereka, melainkan juga beliau menuliskannya dalam lembaran-lembaran.
Untuk itu Nabi memiliki beberapa orang penulis wahyu (kuttabu al-wahyu) di antaranya adalah
1. Zaid bin Tsabit,
2. Ubay bin Ka`ab,
3. Muadz bin Jabal,
4. Muawiyah bin Abu Sufyan,
5. Khulafaur Rasyidin,
6. Tsabit Bin Qays, dan
7. Khalid bin Walid.
Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati.
Di samping itu perangkat alat tulis sulit diperoleh sehingga mereka menuliskan ayat Al-Qur`an pada benda-benda yang mudah diperoleh, seperti pada pelapah kurma, lempengan batu, daun lontar, tulang belulang kulit atau daun kayu dan selainnya. Pada masa Nabi SAW, Al-Qur`an telah tertulis seluruhnya meskipun masih terpisah-pisah, dan penulisan tersebut dilakukan dengan "tujuh huruf" sebagaimana keadaan Al-Qur`an diturunkan.
Tulisan-tulisan Al-Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah menghafalkan seluruh isi Qur'an di masa Rasulullah.
Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur'an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas. Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tetapi Al-Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis, tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Al-Qur'an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Al- Qur'an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata, "Al-Qur'an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qur'an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah."
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan, "Rasulullah telah wafat sedang Al-Qur'an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar."
Adapun penyebab timbulnya penulisan Al-Qur`an pada masa Nabi SAW, ialah sebagai berikut:
1. Tulisan dapat memperkuat hafalan sehingga Al-Qur`an dapat memiliki sarana-sarana pemeliharaannya, baik hafalan maupun penetapan (dalam bnetuk tulisan). Oleh karena itu, referensi pengumpulan Al-Qur`an adalah hafalan dan tulisan.
2. Penyampaian wahyu secara sempurna, sebab penyampaian wahyu bersandarkan hafalan para sahabat tidak memadai karena mereka tidak luput dari kelupaan atau kematian, sedangkan tulisan akan senantuasa ada atau kekal dan tidak akan hilang.
2 Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq
Abu Bakar adalah pemangku pertama jabatan khalifah. Dalam perjalanan kepemimpinannya ia mengalami banyak permasalahan yang rumit, diantaranya adalah perang melawan orang-orang murtad yang terjadi dalam kaum muslim sendiri dan melawan pengikut Musailimah Al-Kadzab.
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur`an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada sat itu surat-surat dan ayat-ayatnya belum ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Abdillah Al-Muhasibi berkata di dalam kitabnya, “Fahm As-Sunan” penulisan Al-Qur`an bukanlah sesuatu yang baru, sebab Rasulullah SAW pernah memerintahkannya,. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur`an berpencar-pencar pada pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar kemudian berinsiatif menghimpun semuanya.
Ketika Rasullulah wafat dan kekhalifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang Islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtadan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H), yang menewaskan sekitar 70 para Qori’ dan Hufadz, dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit.
Setelah Abu Bakar berbicara , Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan dating darinya, "Bagaimana mungkin kita melkaukan sesuatu yang belum dilkaukan Rasulullah?" Umar lalu menjawab,
Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
3. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan timbul hal-hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota-kota besar dalam wilayah negara Islam. Kesadaran ini timbul karana para huffazal Al-Qur’an telah bertebaran ke kota-kota besar dan di antara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf Al-Qur’an, karena perbedaan dialek bahasa mereka. Selanjutnya masing- masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik. Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi. Beliau meminta kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Satu prinisip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Qur`an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditengah Hafshah. Serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur`an selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoriatif (absah) Al-Qur`an, yang sering juga disebut mushaf “Utsmani”, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.
Begitu juga Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Kemudian Khalifah menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf. Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing-masing dikirimkan ke kota-kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah, dan Mesir. Khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) al-Qur’an itu amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman ”Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain disobek”
Sebelum Utsman bin Affan (W. 35 H), Khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan bahkan ratusan mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Al-Quran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Utsman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non Utsmani.
Faktor penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman berbeda dengan faktor pnghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Sidiq. Pada masa Utsman Islam sudah mulai meluas ke berbagai negara maka perpecahanpun terjadi diantara kaum muslimin antar negara dan disetiap negara Islam terkenal dengan qiraah sahabat yang mengajari mereka. Perselisihan yang terus berlangsung ini hampir saja membawa kaum muslimin kepada efek pertikaian dan perpecahan, sehingga diantara mereka ada yang mengkafirkan hanya Karena perbedaan qiraah. Perbedaan penulisan Al-Qur`an pada masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pada Masa Abu Bakar Pada Masa Utsman bin Affan
1. Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur`an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur`an pada perang yamamah
2. Abu Bkar melakukannya dengan mengumpulkannya tulisan-tulisan Al-Qur`an yang terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya 1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihandi dalam cara membaca Al-Qur`an (qira`at)
2. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Qur`an turun.
C. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang harus dijaga keasliannya. Walaupun sudah ada jaminan dari Allah bahwa Al-Qur’an akan selalu dijaga olehnya akan tetapi kita sebagai umat islam wajib berusaha untuk menjaganya. Al-Qur’an sampai bentuk buku seperti yang kita pegang saat ini memiliki perjalanan yang cukup panjang yang terbagi dalam dua priode, pertama periode Rasulullah kedua periode khulafau Al-Rasyidin.
Pada masa Rasulullah Saw, Al-Qur’an hanya berupa hafalan-hafalan yang berada benak dada para sahabat dan tulisan dilempeng-lempeng batu, pelepah kurma dan dikeping-keping tulang, pada masa itu Al-Qur’an masih berserakan belum ada pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf,.
Atas usulan Umar pada Masa Abu Bakar mulailah terbentuk pembukuan Al-Qur’an, yang dipicu oleh banyak para Qori’ dan hufadz yang gugur pada peperangan Yamamah ( melawan orang yang murtad dari islam ), dikawatirkan Al-Qur’an akan punah. Pada masa Umar Bin Khattab tidak terjadi permasalahan dengan Al-Qur’an, karena pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab lebih berorientasi terhadap perluasan wilayah. Masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Quraisy, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
Pada masa masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Qurays, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
DAFTAR PUSTAKA
Al-A`zami, “ The History of The Qur`anic Text”. Gema Insani, Jakarta. 2005.
Manna Khalil Al-Qattan, “ Studi Ilmu-Ilmu Qur`an”. Mitra Kerjaya, Jakarta, 2011.
Mohammad Ali Ash-Shabuni, “Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an”. Al-Ikhlas, Surabaya.
Muhammad bin Muahammad Abu Syuhbah, “ Studi Ulmul Qur`an”. Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Muhammad Rahmat Kurnia, “ Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur`an dan Al-Hadits”. Khairul Bayan, Jakarta, 2002.
Rosihon Anwar, “Ulum Al-Qur`an” Rineka Cipta, Bandung, 2008.
Syeikh Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, “ Studi Al-Qur`an Al-Karim”. Pustaka Setia, Bandung, 1992.
ILMU JARH WA`TA`DIL Oleh : Aep Saepul Anwar
A. Pendahuluan
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits (al-Sunnah) sebagai sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama bahwa al-Qur`an dan hadits merupakan sumber syari`at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari`at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut . Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah Saw, dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayah, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis ini dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “Jarh Wa` Ta’dil’.
Makalah ini berusaha mengetengahkan perngertian “Jarh Wa`Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “Jarh Wa`Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
B. Pengertian Jarh wa`Ta’dil
Dalam buku ulumul hadits yang dikutif M. Agus Solahudin (2009:112) kata al-jarh secara etiminologi artinya cacat atau luka dan kata al-ta`dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi kata ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Sedangkan menurut Lois Ma`luf yang dikutip oleh Endad Musaddad (2009: 60) lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرحا جرح يجرح yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الحاكم الشّاهد جرح “hakim itu menolak saksi”.
Sedangkan menurut istilah al-Jarh ialah:
هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, al-Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Adapun pengertian ta`dil dalam buku Ulumul Hadits Sohari Sahrani (2010: 151) dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. ta`dil dengan arti al-Tawsiyah (menyamakan ) (al-Munjid, 491)
2. ta`dil menurut istilah ahli hadits, adalah:
وصفة الراوى بصفات تزكيه فيطهّر عدالة وتقبل خيره
“Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya” (Hasbi, 1981: 205)
Sedangkan menurut Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti yang dikutif Faturrahman mendefinisikan jarh wa`tadil yaitu suatu ilmu yang membahas tentang jarh dan ta`dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut, dan ilmu jarh wa`tadil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa`tadil adalah sebagai berikut:
العم الذى يحب فى احوال واة من قبل روثقته
“Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya” (Fatchur Rahman, 1987: 268)
C. Pertumbuhan Ilmu Jarh wa`Ta`dil
Ilmu Jarh Wa`Ta`dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadits yang shahih dan keadaan perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seseorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak(maqbul dan mardud).
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta`dil sebagaimana ilmu tarikh al ruwat muncul seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah setelah terjadinya al-fitan al-kubro atau pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan (36 H). pada waktu itu kaum muslimin telah terkotak-kotak pada beberapa kelompok, masing-masing mencari legitimasi atau tindakan mereka dengan mengutip hadits Rasulullah Saw, jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu.
Sejak saat itulah para ulama hadits dalam menjelaskan hadits-hadits Rasulullah Saw tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanadnya (rangkaian para perawi).
D. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain. Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
1. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
•
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat:6).
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
•
Artinya:…”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah:282)
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan saksi “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
E. Metode Jarh wa`Ta`dil
Dalam melakukan penyeleksian terhadap para perawi, para ahli menggunakan berbagai macam metode atau menilai adil tidaknya atau dapat dipercaya tidaknya seorang perawi. Diantara metode (norma)yang digunakan menurut Said Agil Al-Munawar yang dikutip Endad Musaddad (2009: 67) adalah sebagai berikut:
1. Al-Amanah wa al- Nadhahah fi al-Hukmi (Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi)
2. Al-Biqaqah fi al-Babsi wa al-Hukmi (Cermat dan teliti dalam penelitiannya)
3. Iltizam al-Adab fi al-jarh (Tetap memegang etika meskipun dalam mencacat perawi)
4. Al-Ijmal fi al-Ta`dil wa al- Tafsil (Ta`dil dilakukan secara global, sedang dalam tarjih harus diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan).
F. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil dan syarat seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1. Haruslah orang tersebut `alim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
G. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان (“Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”)
4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan yaitu:
1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
H. Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh wa Ta’dil
Melalui cara Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya)
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ (si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya)
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ (terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت (kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو (benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله (syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.
2. Tingkatan lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, أو غير (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
I. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib(1975: 267) sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
J. P e n u t u p
Demikianlah gambaran umum tentang ruang lingkup pembahasan ilmu Jarh dan Ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan , semoga setelah membaca dan menelaahnya makalah yang sangat sederhana ini bisa bermamfaat bagi kita. Kalau ada salahnya, itu datangnya dari penulis dan benarnya datang dari Allah swt. Lebih dan kurangnya mohon untuk dimaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz. “Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu”, Damaskus: Dar al-Fikr,1989.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. “Pengantar Studi Ilmu Hadits” , (Penj. Mifdhol Abd urrahman, Lc.), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2009.
Departemen Agama Republik Indonesia, ”Al-Qur’an dan Terjemahnya”, Jakarta: CV. Agung Harapan, 2006.
Endad Musaddad, Ilmu Jarh Wa`Ta`dil, Fud Press, 2009.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. “Pengantar Ilmu hadits”, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Izzan, Ahmad, “ Ulumul Hadits”. Bandung: Tafakur, 2011.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976.
Rahman, Fatchur, “ Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits”. Bandung: Al-Ma`arif, 1974.
Sahrani, Sohari, “Ulumul Hadits”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Solahudin, Agus. “ Ulumul Hadits”. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Yuslem, Nawir, “Sembilan Kitab Induk Hadis”, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006.
http://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/9/. di unduh pada hari kamis pukul 09.00 WIB
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits (al-Sunnah) sebagai sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama bahwa al-Qur`an dan hadits merupakan sumber syari`at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari`at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut . Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah Saw, dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayah, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis ini dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “Jarh Wa` Ta’dil’.
Makalah ini berusaha mengetengahkan perngertian “Jarh Wa`Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “Jarh Wa`Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
B. Pengertian Jarh wa`Ta’dil
Dalam buku ulumul hadits yang dikutif M. Agus Solahudin (2009:112) kata al-jarh secara etiminologi artinya cacat atau luka dan kata al-ta`dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi kata ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Sedangkan menurut Lois Ma`luf yang dikutip oleh Endad Musaddad (2009: 60) lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرحا جرح يجرح yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الحاكم الشّاهد جرح “hakim itu menolak saksi”.
Sedangkan menurut istilah al-Jarh ialah:
هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, al-Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Adapun pengertian ta`dil dalam buku Ulumul Hadits Sohari Sahrani (2010: 151) dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. ta`dil dengan arti al-Tawsiyah (menyamakan ) (al-Munjid, 491)
2. ta`dil menurut istilah ahli hadits, adalah:
وصفة الراوى بصفات تزكيه فيطهّر عدالة وتقبل خيره
“Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya” (Hasbi, 1981: 205)
Sedangkan menurut Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti yang dikutif Faturrahman mendefinisikan jarh wa`tadil yaitu suatu ilmu yang membahas tentang jarh dan ta`dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut, dan ilmu jarh wa`tadil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa`tadil adalah sebagai berikut:
العم الذى يحب فى احوال واة من قبل روثقته
“Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya” (Fatchur Rahman, 1987: 268)
C. Pertumbuhan Ilmu Jarh wa`Ta`dil
Ilmu Jarh Wa`Ta`dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadits yang shahih dan keadaan perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seseorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak(maqbul dan mardud).
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta`dil sebagaimana ilmu tarikh al ruwat muncul seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah setelah terjadinya al-fitan al-kubro atau pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan (36 H). pada waktu itu kaum muslimin telah terkotak-kotak pada beberapa kelompok, masing-masing mencari legitimasi atau tindakan mereka dengan mengutip hadits Rasulullah Saw, jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu.
Sejak saat itulah para ulama hadits dalam menjelaskan hadits-hadits Rasulullah Saw tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanadnya (rangkaian para perawi).
D. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain. Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
1. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
•
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat:6).
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
•
Artinya:…”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah:282)
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan saksi “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
E. Metode Jarh wa`Ta`dil
Dalam melakukan penyeleksian terhadap para perawi, para ahli menggunakan berbagai macam metode atau menilai adil tidaknya atau dapat dipercaya tidaknya seorang perawi. Diantara metode (norma)yang digunakan menurut Said Agil Al-Munawar yang dikutip Endad Musaddad (2009: 67) adalah sebagai berikut:
1. Al-Amanah wa al- Nadhahah fi al-Hukmi (Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi)
2. Al-Biqaqah fi al-Babsi wa al-Hukmi (Cermat dan teliti dalam penelitiannya)
3. Iltizam al-Adab fi al-jarh (Tetap memegang etika meskipun dalam mencacat perawi)
4. Al-Ijmal fi al-Ta`dil wa al- Tafsil (Ta`dil dilakukan secara global, sedang dalam tarjih harus diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan).
F. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil dan syarat seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1. Haruslah orang tersebut `alim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
G. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان (“Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”)
4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan yaitu:
1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
H. Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh wa Ta’dil
Melalui cara Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya)
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ (si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya)
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ (terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت (kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو (benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله (syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.
2. Tingkatan lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, أو غير (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
I. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib(1975: 267) sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
J. P e n u t u p
Demikianlah gambaran umum tentang ruang lingkup pembahasan ilmu Jarh dan Ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan , semoga setelah membaca dan menelaahnya makalah yang sangat sederhana ini bisa bermamfaat bagi kita. Kalau ada salahnya, itu datangnya dari penulis dan benarnya datang dari Allah swt. Lebih dan kurangnya mohon untuk dimaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz. “Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu”, Damaskus: Dar al-Fikr,1989.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. “Pengantar Studi Ilmu Hadits” , (Penj. Mifdhol Abd urrahman, Lc.), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2009.
Departemen Agama Republik Indonesia, ”Al-Qur’an dan Terjemahnya”, Jakarta: CV. Agung Harapan, 2006.
Endad Musaddad, Ilmu Jarh Wa`Ta`dil, Fud Press, 2009.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. “Pengantar Ilmu hadits”, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Izzan, Ahmad, “ Ulumul Hadits”. Bandung: Tafakur, 2011.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976.
Rahman, Fatchur, “ Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits”. Bandung: Al-Ma`arif, 1974.
Sahrani, Sohari, “Ulumul Hadits”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Solahudin, Agus. “ Ulumul Hadits”. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Yuslem, Nawir, “Sembilan Kitab Induk Hadis”, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006.
http://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/9/. di unduh pada hari kamis pukul 09.00 WIB
ILMU JARH WA`TA`DIL Oleh : Aep Saepul Anwar
A. Pendahuluan
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits (al-Sunnah) sebagai sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama bahwa al-Qur`an dan hadits merupakan sumber syari`at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari`at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut . Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah Saw, dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayah, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis ini dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “Jarh Wa` Ta’dil’.
Makalah ini berusaha mengetengahkan perngertian “Jarh Wa`Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “Jarh Wa`Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
B. Pengertian Jarh wa`Ta’dil
Dalam buku ulumul hadits yang dikutif M. Agus Solahudin (2009:112) kata al-jarh secara etiminologi artinya cacat atau luka dan kata al-ta`dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi kata ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Sedangkan menurut Lois Ma`luf yang dikutip oleh Endad Musaddad (2009: 60) lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرحا جرح يجرح yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الحاكم الشّاهد جرح “hakim itu menolak saksi”.
Sedangkan menurut istilah al-Jarh ialah:
هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, al-Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Adapun pengertian ta`dil dalam buku Ulumul Hadits Sohari Sahrani (2010: 151) dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. ta`dil dengan arti al-Tawsiyah (menyamakan ) (al-Munjid, 491)
2. ta`dil menurut istilah ahli hadits, adalah:
وصفة الراوى بصفات تزكيه فيطهّر عدالة وتقبل خيره
“Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya” (Hasbi, 1981: 205)
Sedangkan menurut Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti yang dikutif Faturrahman mendefinisikan jarh wa`tadil yaitu suatu ilmu yang membahas tentang jarh dan ta`dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut, dan ilmu jarh wa`tadil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa`tadil adalah sebagai berikut:
العم الذى يحب فى احوال واة من قبل روثقته
“Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya” (Fatchur Rahman, 1987: 268)
C. Pertumbuhan Ilmu Jarh wa`Ta`dil
Ilmu Jarh Wa`Ta`dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadits yang shahih dan keadaan perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seseorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak(maqbul dan mardud).
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta`dil sebagaimana ilmu tarikh al ruwat muncul seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah setelah terjadinya al-fitan al-kubro atau pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan (36 H). pada waktu itu kaum muslimin telah terkotak-kotak pada beberapa kelompok, masing-masing mencari legitimasi atau tindakan mereka dengan mengutip hadits Rasulullah Saw, jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu.
Sejak saat itulah para ulama hadits dalam menjelaskan hadits-hadits Rasulullah Saw tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanadnya (rangkaian para perawi).
D. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain. Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
1. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
•
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat:6).
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
•
Artinya:…”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah:282)
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan saksi “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
E. Metode Jarh wa`Ta`dil
Dalam melakukan penyeleksian terhadap para perawi, para ahli menggunakan berbagai macam metode atau menilai adil tidaknya atau dapat dipercaya tidaknya seorang perawi. Diantara metode (norma)yang digunakan menurut Said Agil Al-Munawar yang dikutip Endad Musaddad (2009: 67) adalah sebagai berikut:
1. Al-Amanah wa al- Nadhahah fi al-Hukmi (Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi)
2. Al-Biqaqah fi al-Babsi wa al-Hukmi (Cermat dan teliti dalam penelitiannya)
3. Iltizam al-Adab fi al-jarh (Tetap memegang etika meskipun dalam mencacat perawi)
4. Al-Ijmal fi al-Ta`dil wa al- Tafsil (Ta`dil dilakukan secara global, sedang dalam tarjih harus diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan).
F. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil dan syarat seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1. Haruslah orang tersebut `alim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
G. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان (“Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”)
4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan yaitu:
1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
H. Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh wa Ta’dil
Melalui cara Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya)
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ (si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya)
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ (terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت (kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو (benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله (syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.
2. Tingkatan lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, أو غير (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
I. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib(1975: 267) sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
J. P e n u t u p
Demikianlah gambaran umum tentang ruang lingkup pembahasan ilmu Jarh dan Ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan , semoga setelah membaca dan menelaahnya makalah yang sangat sederhana ini bisa bermamfaat bagi kita. Kalau ada salahnya, itu datangnya dari penulis dan benarnya datang dari Allah swt. Lebih dan kurangnya mohon untuk dimaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz. “Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu”, Damaskus: Dar al-Fikr,1989.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. “Pengantar Studi Ilmu Hadits” , (Penj. Mifdhol Abd urrahman, Lc.), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2009.
Departemen Agama Republik Indonesia, ”Al-Qur’an dan Terjemahnya”, Jakarta: CV. Agung Harapan, 2006.
Endad Musaddad, Ilmu Jarh Wa`Ta`dil, Fud Press, 2009.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. “Pengantar Ilmu hadits”, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Izzan, Ahmad, “ Ulumul Hadits”. Bandung: Tafakur, 2011.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976.
Rahman, Fatchur, “ Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits”. Bandung: Al-Ma`arif, 1974.
Sahrani, Sohari, “Ulumul Hadits”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Solahudin, Agus. “ Ulumul Hadits”. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Yuslem, Nawir, “Sembilan Kitab Induk Hadis”, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006.
http://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/9/. di unduh pada hari kamis pukul 09.00 WIB
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits (al-Sunnah) sebagai sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur’an sudah tidak diperselisihkan lagi oleh para ulama bahwa al-Qur`an dan hadits merupakan sumber syari`at Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syari`at Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut . Namun bagaimana menentukan kesahihan suatu hadits merupakan kajian yang sederhana. Suatu hal yang pasti ada jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rasulullah Saw, dengan masa penulisan dan pembukuan suatu hadits.
Untuk meneliti kesahihan suatu hadis dalam ilmu hadis dikembangkan dua cabang ilmu yakni ilmu hadits riwayah, yang objek kajiannya ialah bagaimana menerima, menyampaikan kepada orang lain, memindahkan dan mendewankan dalam hadis. Dalam menyampaikan dan mendewankan hadis ini dinukilkan dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan hal ikhwal sifat perawi yang berkenaan dengan ‘adil, dapat berpengaruh terhadap sahih tidaknya suatu hadis. Perihal perawi merupakan objek kajian ilmu hadits dirayah. Karena kedudukan perawi sangat penting dalam menentukan kesahihan suatu hadis, maka ilmu hadis dirayah membahas secara khusus keadaan perawi. Jalan untuk mengetahui keadaan perawi itu adalah melalui ilmu “Jarh Wa` Ta’dil’.
Makalah ini berusaha mengetengahkan perngertian “Jarh Wa`Ta’dil’, dasar-dasar kebolehan melakukan “Jarh Wa`Ta’dil’, sebab-sebab perawi di jarh dan di ta’dil, cara-cara melakukan Jarh dan ta’dil dan pertentangan antara jarh dan ta’dil.
B. Pengertian Jarh wa`Ta’dil
Dalam buku ulumul hadits yang dikutif M. Agus Solahudin (2009:112) kata al-jarh secara etiminologi artinya cacat atau luka dan kata al-ta`dil artinya mengadilkan atau menyamakan. Jadi kata ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu tentang kecacatan dan keadilan seseorang.
Sedangkan menurut Lois Ma`luf yang dikutip oleh Endad Musaddad (2009: 60) lafadz al-Jarh adalah masdar dari kata Kerja جرحا جرح يجرح yang berarti melukai sebagian badan yang memungkinkan darah dapat mengalir. selanjutnya dikatakan bahwa al-Jarh mempunyai arti “ mengaibkan” seseorang yang oleh karenanya ia menjadi kurang”. Disamping itu juga mempunyai arti menolak seperti dalam kalimat الحاكم الشّاهد جرح “hakim itu menolak saksi”.
Sedangkan menurut istilah al-Jarh ialah:
هو ظهور وصف في الراوي يسلم عد ا لته ا ويخل حفظه وضبطه مما يتر تب عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها
“Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya dan menyebabkan riwayatnya di tolak”.
Di dalam buku Pengantar Studi Ilmu Hadits oleh Syaikh Manna Al-Qaththan, al-Jarh menurut istilah adalah terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Adapun pengertian ta`dil dalam buku Ulumul Hadits Sohari Sahrani (2010: 151) dalam masalah periwayatan, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1. ta`dil dengan arti al-Tawsiyah (menyamakan ) (al-Munjid, 491)
2. ta`dil menurut istilah ahli hadits, adalah:
وصفة الراوى بصفات تزكيه فيطهّر عدالة وتقبل خيره
“Menafsirkan para perawi dengan sifat-sifat yang menetapkan kebersihannya, maka tampaklah keadilannya, dan diterima riwayatnya” (Hasbi, 1981: 205)
Sedangkan menurut Teungku M. Hasbi as Shidieqy definisi ta’dil adalah:
وصف الراوى بصفات توجب عدالته التى هي مدار القبول لروايته
“Mensifatkan si perawi dengan sifat-sifat yang dipandang orang tersebut adil, yang menjadi sumbu (puncak) penerimaan riwayatnya”.
Secara lebih tegas lagi Abd al-Rahman ibn Abi Hatim al-Razi seperti yang dikutif Faturrahman mendefinisikan jarh wa`tadil yaitu suatu ilmu yang membahas tentang jarh dan ta`dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafadz tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut, dan ilmu jarh wa`tadil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijal al-Hadits.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan ilmu jarh wa`tadil adalah sebagai berikut:
العم الذى يحب فى احوال واة من قبل روثقته
“Ilmu yang mempelajari keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayatnya” (Fatchur Rahman, 1987: 268)
C. Pertumbuhan Ilmu Jarh wa`Ta`dil
Ilmu Jarh Wa`Ta`dil tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan hadits dalam Islam karena untuk mengetahui hadits yang shahih dan keadaan perawinya sehingga dengan ilmu ini, memungkinkan menetapkan kebenaran seseorang perawi atau kedustaannya sampai mereka bisa membedakan antara yang diterima dan yang ditolak(maqbul dan mardud).
Pertumbuhan ilmu jarh wa ta`dil sebagaimana ilmu tarikh al ruwat muncul seiring dengan tumbuhnya periwayatan hadits. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah setelah terjadinya al-fitan al-kubro atau pembunuhan terhadap khalifah Usman bin Affan (36 H). pada waktu itu kaum muslimin telah terkotak-kotak pada beberapa kelompok, masing-masing mencari legitimasi atau tindakan mereka dengan mengutip hadits Rasulullah Saw, jika tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadits-hadits palsu.
Sejak saat itulah para ulama hadits dalam menjelaskan hadits-hadits Rasulullah Saw tidak hanya dari segi matan atau materinya saja, tetapi mereka juga melakukan kritik terhadap sanadnya (rangkaian para perawi).
D. Dasar Kebolehan Melakukan Jarh wa Ta’dil
Pada dasarnya menilai pribadi seseorang dan selanjutnya menyatakan kepada orang lain adalah sesuatu perbuatan yang tidak dianjurkan oleh syara’, bahkan dapat diancam dengan dosa apabila penilaian tersebut bersifat negatif, seperti memberitakan tentang cacat dan kelemahannya kepada orang lain. Dalam melakukan Jarh dan Ta’dil akan terungkap aib kepribadian perawi. Oleh karena itu dipermasalahkan apakah hal ini tidak sejalan dengan maksud firman Allah yang termaktub dalam QS. Al-Hujurat ayat 6 dan apakah ini berarti kita tidak menentang anjuran hadits Nabi yang menyatakan:
من ستر اخاه المسلم في الدنيا فلم يقضه ستر الله له يوم القيا مة (رواه أحمد)
“ Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya (yang muslim) di dunia, maka allah akan menutupi baginya pada hari qiyamat”(H.R. Ahmad).
Menanggapi permasalahan ini Ajaz al-Khatib justru berpandangan sebaliknya dan mengatakan bahwa kaidah-kaidah syari’ah yang umum telah menunjukan kewajiban melestarikan ilmu ini karena dengan menggunakan ikhwal para perawi akan nampak jalan yang lurus untuk memelihara al-Sunnah(al- Hadits).
1. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
•
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (QS. Al-Hujurat:6).
2. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282:
•
Artinya:…”Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah:282)
Menurut Ajaz al-Khatib yang dimaksud dengan saksi “ adalah orang-orang yang kamu ridhai agama dan keimanannya. Disamping dalil-dalil di atas beberapa keterangan menyatakan bahwa seiring dengan munculnya periwayatan yang salah satu segi pentingnya dalam menentukan khabar yang sahih adalah keadilan sisi periwayatannya, maka al-Jarh dan ta’dil ini telah diperaktekan pada masa sahabat, tabi’in, dan generasi selanajutnya. Kepentingan dasar untuk melakukan al-Jarh dan ta’dil ini adalah semata-mata bekhidmat pada syari’at Islamiyah, memelihara sumber syari’ah yang didasari kejujuran dan niat yang ikhlas.
E. Metode Jarh wa`Ta`dil
Dalam melakukan penyeleksian terhadap para perawi, para ahli menggunakan berbagai macam metode atau menilai adil tidaknya atau dapat dipercaya tidaknya seorang perawi. Diantara metode (norma)yang digunakan menurut Said Agil Al-Munawar yang dikutip Endad Musaddad (2009: 67) adalah sebagai berikut:
1. Al-Amanah wa al- Nadhahah fi al-Hukmi (Objektif dalam melakukan penilaian terhadap perawi)
2. Al-Biqaqah fi al-Babsi wa al-Hukmi (Cermat dan teliti dalam penelitiannya)
3. Iltizam al-Adab fi al-jarh (Tetap memegang etika meskipun dalam mencacat perawi)
4. Al-Ijmal fi al-Ta`dil wa al- Tafsil (Ta`dil dilakukan secara global, sedang dalam tarjih harus diperinci sebab-sebab cacatnya perawi yang bersangkutan).
F. Sebab-sebab Perawi dikenakan Jarh dan Ta’dil dan syarat seorang Kritikus
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’.
1. Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
Mengingat perjalanan (pekerjaan) melakukan jarh dan ta’dil ini merupakan pekerjaan yang rawan, karena menyangkut nama baik dan kehormatan para perawi yang akan menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadits, maka ulama yang menetapkan kriteria tertentu bagi seorang yang melakukan jarh dan ta’dil. Adapun syarat-syarat yang diperlukan, yakni:
1. Haruslah orang tersebut `alim (berilmu pengetahuan),
2. Bertaqwa,
3. Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat, syubhat-syubhat, dosa-dosa kecil dan makruhat-makruhat),
4. Jujur,
5. Belum pernah dijarh,
6. Menjauhi fanatik golongan,
7. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk men-tajrihkan.
Apabila persyaratan-persyaratan ini tidak terpenuhi maka periwayatan tidak diterima.
G. Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:
1. Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebut kebaikannya”
2. Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3. Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان (“Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”)
4. Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan yaitu:
1. Melalui popularitas keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri, maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang semula belum dikenal keadilannya.
H. Tingkatan dan Lafadz-lafazd Jarh wa Ta’dil
Melalui cara Jarh dan Ta’dil seperti yang dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi. Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib, mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
1. Tingkatan lafadz ta’dil
Secara berurutan dari yang tertinggi tingkat keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal sebagai berikut.
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ(orang yang paling tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya)
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ أَوْ عَنْ مِثْلِهِ (si fulan tidak perlu dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya)
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ (terpercaya lagi terpercaya, terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل ضابطثبت (kokoh, sempurna, hujjah, iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو (benar, jujur, tidak ada masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب, صويلح, صدوق إن شاء الله (syeikh, tidak jauh dari benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi itu sudah mendakati jarh.
Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain sebagai penguatnya.
2. Tingkatan lafadz Jarh
Berikut ini disebutkan secara berurutan tingkatan tajrih mulai dari tingkatan yang paling berat jarh nya, sampai kepada yang paling ringan jarh nya.
Pertama, Menggunakan lafadz yang menunjukan kecacatan perawi yang sangat parah, misalnya dengan kata-kata: أكذب الناس، ركن الكذب (Manusia paling pendusta, tiangnya dusta). Lafal yang dipergunakan pada peringkat ini menunjukkan jarh yang bersangatan.
Kedua, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi memang sering berdusta namun tidak separah tingkatan pertama. Lafadz yang digunakan misalnya: كذاب, وضاع (pendusta, pengada-ada) meskipun lafal yang dipergunakan menunjukkan bersangatan (mubalaghah), tetapi lebih lunak dari peringkat yang pertama.
Ketiga, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa bahwa perawi dituduh berdusta lafadz yang digunakan misalnya:
مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ, مُتَّهَمٌ بِالْوَضْعِ, يَسْرِقُ الْحَدِيْثَ, هَالِكٌ, مُتْرُوْقٌ, لَيْسَ بِثِقَةٍ (tertuduh dusta, tertuduh mengada-ada, mencari Hadis, celaka, ditinggalkan, tidak tsiqat)
Keempat, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa hadits diriwayatkan sangat lemah. Lafadz yang digunakan:
رُدَّ حَدِيْثُهُ, طُرِحَ حَدِيْثُهُ, ضَعِيْفٌ جِدًّا, لَيْسَ بِشَيْءٍ, لاَ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ (ditolak Hadisnya, dibuang Hadisnya, lemah sekali, tidak ada apa-apanya, tidak dituliskan Hadisnya).
Kelima, Menggunakan lafadz yang menunjukan bahwa perawi itu lemah atau tidak kokoh hafalannya atau banyak yang mengingkarinya. Lafadz yang digunakan misalnya:
الْحَدِيْثِ، لاَيُحْتَجُ بِهِ، ضَعَّفُوْهُ، ضَعِيْفٌ مُضْطَّرِبُ (goncang hadisnya, tidak dijadikan Hujjah, para ulama hadis melemahkannya, dia lemah)
Keenam, Mengemukakan sifat perawi untuk membuktikan kedhaifan perawi, namun sudah mendekati tingkat al-ta’dil. Lafadz yang digunakan misalnya:
ثق منه ليس بذلك القوي, فيه مقا ل, ليس بحجة، فيه ضعيف, أو غير (tidak kuat, padanya ada yang dipertanyakan/pembicaraan, tidak termasuk hujjah, padanya terdapat kelemahan, perawinya lebih tsiqat dari padanya).
Para ulama hadis tidak berhujjah dengan hadis-hadis yang perawinya memiliki sifat-sifat empat peringkat pertama. Terhadap perawi yang memiliki sifat yang terdapat pada peringkat kelima dan keenam, pada hadisnya hanya dapat dipergunakan sebagai I’tibar. Hal tersebut adalah karena tingkat kedaifannya adalah ringan.
I. Pertentangan Jarh dan Ta’dil
Diantara para ulama terkadang terjadi pertentangan pendapat terhadap seorang perawi. Ulama yang satu menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila dipilih permasalahan di atas maka dapat dibagi kedalam dua kategori. Pertama, pertentangan ulama itu diketahui sebabnya dan kedua pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.
Adapun terhadap kategori yang pertama, sebab-sebab terjadinya:
1. Terkadang sebagian ulama mengenal seorang perawi, ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih (mentajrih) perawi tersebut. Sebagian ulama lainnya mengetahui perawi itu setelah ia (perawi etersebut) bertaubat, sehingga mereka menta’dilkannya. Menurut Ajaj al-Khatib(1975: 267) sebenarnya hal tersebut bukanlah suatu pertentangan artinya jelas yang dimenangkan adalah ulama yang menta’dil.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagai orang yang daya hafalnya lemah, sehingga mereka mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya mengetahui perawi itu sebagai oarang yang dhabith, sehingga mereka menta’dilkannya.
Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama mengenai jarh dan ta’dilnya seorang perawi yang tidak dapat dikompromikan, maka untuk menentukan mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang mentajrih atau yang menta’dil terdaapat berbagai pendapat dikalangan ulama hadits, sebagai berikut:
1. Jarh didahulukan dari ta’dil meskipun ulama yang menta’dilnya lebih banyak dari ulama yang mentajrih. Menurut al-Syaukani pendapat ini adalah pendapat jumhur, alasanya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi yang hal ini umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
2. Ta’dil didahulukan dari jarh apabila orang yang menta’dil lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya yang menta’dil memperkuat keadaan mereka. Pendapat ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun ulama yang menta’dil itu banyak, namun mereka tidak mungkin akan mau menta’dil sesuatu yang telah ditajrih oleh ulama lain.
3. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang menguatkannya, dengan demikian terpaksa kitatawaquf dari mengamalkan salah satunya sampai diketemukan hal yang menguatkan salah satunya.
4. Ta’dil harus di dahulukan dari jarh, karena pentarjih dalam mentajrih perawi menggunakan ukuran yang bukan substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah meneliti secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya seorang perawi.
J. P e n u t u p
Demikianlah gambaran umum tentang ruang lingkup pembahasan ilmu Jarh dan Ta’dil yang merupakan ilmu tentang hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan , semoga setelah membaca dan menelaahnya makalah yang sangat sederhana ini bisa bermamfaat bagi kita. Kalau ada salahnya, itu datangnya dari penulis dan benarnya datang dari Allah swt. Lebih dan kurangnya mohon untuk dimaafkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz. “Ushul al-hadits Ulumuhu Wa Musthalahuhu”, Damaskus: Dar al-Fikr,1989.
Al-Qaththan, Syaikh Manna. “Pengantar Studi Ilmu Hadits” , (Penj. Mifdhol Abd urrahman, Lc.), Jakarta: Pustaka Al-Kautsar , 2009.
Departemen Agama Republik Indonesia, ”Al-Qur’an dan Terjemahnya”, Jakarta: CV. Agung Harapan, 2006.
Endad Musaddad, Ilmu Jarh Wa`Ta`dil, Fud Press, 2009.
Hasbi as-shidieqy, Teungku Muhammad. “Pengantar Ilmu hadits”, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
Izzan, Ahmad, “ Ulumul Hadits”. Bandung: Tafakur, 2011.
Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid Fî al;-Lughah wa al-’Alam, (Bairut: Dar al-Syarqy, 1976.
Rahman, Fatchur, “ Ikhtisar Mushthalahu`l Hadits”. Bandung: Al-Ma`arif, 1974.
Sahrani, Sohari, “Ulumul Hadits”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Solahudin, Agus. “ Ulumul Hadits”. Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Yuslem, Nawir, “Sembilan Kitab Induk Hadis”, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006.
http://vhocket.wordpress.com/2011/10/12/9/. di unduh pada hari kamis pukul 09.00 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)