Pada POR Ke-2 ini tahun 2011 dilaksanakannya kembali Pekan Olah Raga Tingkat MTs Se-KKM MTsN Ciruas, yang telah dilaksanakan dari tanggal 26-28 Desember 2011, dan akhirnya berkat perjuangan semua kontingen MTsN Ciruas berhasil meraih juara Umum dengan memperoleh medali emas sebanyak 3, perak 2 dan perunggu 1, atas nama Cicih Jayanti, Ibnu Hazar dan ari berhasil menyumbangkan emas dari perlombaan tenis meja dan bulu tangkis, sementara Samuripelariu asal dari MTsN Ciruas hanya mampu merebut perak dan pemain futsal juga hanya mampu merebut perak. Atas keberhasilan mereka atas nama lembaga MTsN Ciruas mengucapkan terima kasih kepada para kontingen yang telah berhasil merebut kejuaraan ini. mudah-mudahan prestasi yang dicapai dapat melanjutkan kembali perjuangan untuk POR di tahun mendatang POR ke-3 tingkat KKM MTsN Ciruas.Wasalam
Kamis, 29 Desember 2011
KKM MTSN CIRUAS MELAKSANAKAN POR KE-2 DALAM RANGKA HAB KE-66
Ciruas, sebanyak 950 siswa dan siswi MTs mengikuti Pekan Olah Raga ke-2 tingkatt KKM MTsN Ciruas. POR yang berlangsung 26-28 Desember 2011 tersebut mempertandingkan enam cabang olahraga masing-masing atletik, bola volli, bulutangkis, tenis meja, Futsal, dan catur.
POR yang diikuti 47 MTs dari 56 MTs yang berada di bawah KKM MTsN Ciruas tersebut dibuka oleh ketua KONI Kabupaten Serang Ir. Mulyadi di lapangan utama MTsN Ciruas. Pembukaan juga dimeriahkan oleh penampilan Drumb Band Gita Pesona
MTsN Ciruas, dilanjutkan dengan defile
kontingen yang berlangsung setelah upacara pembukaan.
Dalam laporan pada acara pembukaan Sibli, M.MPd. selaku ketua pelaksana mengatakan bahwa kegiatan ini adalah semata-mata bukan untuk mencari juara tetapi untuk mencari bakat dan minat siswa khususnya dalam bidang olah raga, sebab
Kegiatan POR ini adalah sebagai ajang silaturahmi antar siswa dan siswi MTs. Ditambahkan oleh ketua KKM MTsN Ciruas Ali Rokhman, Az, S.Ag. M.MPd. bahwa kegiatan POR ini adalah salah satu program kerja KKM MTsN Ciruas dan sebagai seleksi terhadap siswa yang memiliki kompetensi dan kompetisi dalam bidang olah raga untuk lebih meningkatkan prestasinya pada Tingkat Kabupaten, Provinsi dan Nasional (expo Madrasah) begitulah harapan dari ketua KKM MTsN Ciruas.
Pelaksanaan POR Ke-2 Tingkat KKM MTsN Ciruas kali ini dalam rangka memeriahkan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-66, sebagai momen yang terpenting karena, untuk melihat kembali sejarah berdirinya kementerian Agama. Tiada lain dari tujuan POR ini adalah :
1. Menanamkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan keluarga siswa -siswi MTs Se-KKM MTsN Ciruas.
2. Mengembangkan kompetensi dan Kompetisi siswa -siswi MTs Se-KKM MTsN Ciruas, khususnya dalam bidang olah raga
3. Mengembangkan jiwa kompetisi secara jujur, bermartabat, dan menjunjung tinggi sportivitas memiliki jiwa kebersamaan dan persaudaraan, serta saling menghargai dalam adu kompetensi olah raga.
4. Memotivasi pengembangan program ekstrakurikuler di MTs masing-masing yang berada dibawah naungan KKM MTsN Ciruas sebagai media pengembangan kompetensi nonakademik, khusus bidang olah raga
5. Mengingatkan kembali lahirnya kementerian agama sebagai lembaga departemen Pendidikan dan Agama.
Sementara pelaksanaan POR ke-2 ini untuk perolehan medali diambil dari jauara 1,2 dan 3 sedangkan untuk juara umum diambil banyaknya mendapatkan medali emas.
PEROLEHAN MEDALI POR II KKM MTS NEGERI CIRUAS
No Nama Madrasah Emas Perak Perunggu Total Medali
1 MTs Negeri Ciruas 3 2 5
2 MTs Mathlaul Falah Lempuyang 1 1 2
3 MTs Attoyyibiyyah Cikande 1 1 2
4 MTs Bani Karim 1 1 2
5 MTs Riyadhul Huda Asidiqi 1 1
6 MTs Raudlatul Athfal Astana 1 1
7 MTs Manba'ussalam Carenang 1 1
8 MTs Roudhotusalam Cikande 2 1 3
9 MTs Al Khairiyah Bendung Malang 1 1 2
10 MTs Al Khairiyah Pulo Kencana 1 1
11 MTs Bani Ma'mun Asalami Kibin 1 1
12 MTs Raudhatul Hikmah Sukatani 2 2
13 MTs Ashabul Maiamanah Lebak Kepuh 1 1
14 MTs Al Khairiyah Jati 1 1
15 MTs Al Ittihad Pedaleman Tanara 1 1
16 MTs Al Hafidz Al Bantani Cikande 1 1
Jumlah 9 9 9 27
Melihat dari tabel perolehan medali, MTsN Ciruas selaku tuan rumah pada pelaksanaan POR ke-2 ini adalah keluar sebagai juara Umum. Mudah-mudahan prestasi yang didapat bisa untuk dipertahankan pada pelaksanaan POR yang akan mendatang.
POR yang diikuti 47 MTs dari 56 MTs yang berada di bawah KKM MTsN Ciruas tersebut dibuka oleh ketua KONI Kabupaten Serang Ir. Mulyadi di lapangan utama MTsN Ciruas. Pembukaan juga dimeriahkan oleh penampilan Drumb Band Gita Pesona
MTsN Ciruas, dilanjutkan dengan defile
kontingen yang berlangsung setelah upacara pembukaan.
Dalam laporan pada acara pembukaan Sibli, M.MPd. selaku ketua pelaksana mengatakan bahwa kegiatan ini adalah semata-mata bukan untuk mencari juara tetapi untuk mencari bakat dan minat siswa khususnya dalam bidang olah raga, sebab
Kegiatan POR ini adalah sebagai ajang silaturahmi antar siswa dan siswi MTs. Ditambahkan oleh ketua KKM MTsN Ciruas Ali Rokhman, Az, S.Ag. M.MPd. bahwa kegiatan POR ini adalah salah satu program kerja KKM MTsN Ciruas dan sebagai seleksi terhadap siswa yang memiliki kompetensi dan kompetisi dalam bidang olah raga untuk lebih meningkatkan prestasinya pada Tingkat Kabupaten, Provinsi dan Nasional (expo Madrasah) begitulah harapan dari ketua KKM MTsN Ciruas.
Pelaksanaan POR Ke-2 Tingkat KKM MTsN Ciruas kali ini dalam rangka memeriahkan Hari Amal Bhakti (HAB) ke-66, sebagai momen yang terpenting karena, untuk melihat kembali sejarah berdirinya kementerian Agama. Tiada lain dari tujuan POR ini adalah :
1. Menanamkan rasa ukhuwah Islamiyah di kalangan keluarga siswa -siswi MTs Se-KKM MTsN Ciruas.
2. Mengembangkan kompetensi dan Kompetisi siswa -siswi MTs Se-KKM MTsN Ciruas, khususnya dalam bidang olah raga
3. Mengembangkan jiwa kompetisi secara jujur, bermartabat, dan menjunjung tinggi sportivitas memiliki jiwa kebersamaan dan persaudaraan, serta saling menghargai dalam adu kompetensi olah raga.
4. Memotivasi pengembangan program ekstrakurikuler di MTs masing-masing yang berada dibawah naungan KKM MTsN Ciruas sebagai media pengembangan kompetensi nonakademik, khusus bidang olah raga
5. Mengingatkan kembali lahirnya kementerian agama sebagai lembaga departemen Pendidikan dan Agama.
Sementara pelaksanaan POR ke-2 ini untuk perolehan medali diambil dari jauara 1,2 dan 3 sedangkan untuk juara umum diambil banyaknya mendapatkan medali emas.
PEROLEHAN MEDALI POR II KKM MTS NEGERI CIRUAS
No Nama Madrasah Emas Perak Perunggu Total Medali
1 MTs Negeri Ciruas 3 2 5
2 MTs Mathlaul Falah Lempuyang 1 1 2
3 MTs Attoyyibiyyah Cikande 1 1 2
4 MTs Bani Karim 1 1 2
5 MTs Riyadhul Huda Asidiqi 1 1
6 MTs Raudlatul Athfal Astana 1 1
7 MTs Manba'ussalam Carenang 1 1
8 MTs Roudhotusalam Cikande 2 1 3
9 MTs Al Khairiyah Bendung Malang 1 1 2
10 MTs Al Khairiyah Pulo Kencana 1 1
11 MTs Bani Ma'mun Asalami Kibin 1 1
12 MTs Raudhatul Hikmah Sukatani 2 2
13 MTs Ashabul Maiamanah Lebak Kepuh 1 1
14 MTs Al Khairiyah Jati 1 1
15 MTs Al Ittihad Pedaleman Tanara 1 1
16 MTs Al Hafidz Al Bantani Cikande 1 1
Jumlah 9 9 9 27
Melihat dari tabel perolehan medali, MTsN Ciruas selaku tuan rumah pada pelaksanaan POR ke-2 ini adalah keluar sebagai juara Umum. Mudah-mudahan prestasi yang didapat bisa untuk dipertahankan pada pelaksanaan POR yang akan mendatang.
Rabu, 28 Desember 2011
Kamis, 24 November 2011
“Belajar Demomkrasi Melalui Pemilihan Ketua OSIS & Wakil Ketua OSIS
Pesta demokrasi di MTsN Ciruas kembali lagi dalam rangka pemilihan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS periode 2011/2012, Jum`at (04/11/2011). Proses pemilihan Wakil siswa tersebut menggunakan metode demokrasi terbuka. Siswa pun bisa memilih satu dari empat kandidat dengan cara mencoblos surat suara yang memuat nama dan foto pasangan calon. Pencoblosan dilakukan di dalam bilik suara. Pemilihan ketua OSIS di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas, oleh Komisi Pemilihan OSIS (KPO) merupakan lembaga/wadah independen yang berada di MTsN Ciruas yang dibawah naungan oleh Pembina OSIS, pemilihan Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS Periode 2011/2012 melalui penerapan pemilihan secara demokrasi, sebab siswa mengenal istilah demokrasi hanya sebatas di mata pelajaran saja. Hal tersebut sekaligus merupakan sarana pembelajaran siswa sebagai generasi penerus bangsa menuju demokrasi yang sehat. Gagasan ini disambut baik oleh kepaala MTsN Ciruas. Pembina OSIS dan juga KPO sebagai penyelenggara kegiatan.
Untuk lolos hingga menjadi pasangan calon para kandidat terlebih dulu harus melalui beberapa tahapan. Mereka harus lolos penjaringan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS untuk selanjutnya bisa memasuki tahap penetapan nomor urut. Setelah itu mereka juga diberi kesempatan untuk melakukan kampanye.
“pencoblosan ini merupakan tahapan akhir. Siapa yang memperoleh suara terbanyak akan dilantik menjadi Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS senin mendatang(14/11/2011),oleh kepala MTsN Ciruas” ujar Aep, Ketua KPO MTsN Ciruas.
Adapun empat kandidat pasangan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS dimaksud adalah Usman dan Arini nomor pasangan 1. Kemudian M. Abdan dan Rizka Septiana nomor pasangan 2, Nuracih dan Ernawati nomor pasangan 3 serta Dede dan Ardiansyah dengan nomor pasangan 4. Acara pemilihan ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS dimulai dengan berbagai prosedural yang telah ditetapkan melalui keputusan KPO MTsN Ciruas, bahwa calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS kali ini harus benar-benar berbeda dengan kepengurusan tahun lalu, oleh karena itu syarat calon ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS di MTsN Ciruas harus memiliki jiwa kepemimpinan yang loyalitas dan kreadibilitas, tidak memiliki catatan hitam baik dari BP maupun dari wakaur Kesiswaan, memiliki prestasi minimal 5 besar di kelasnya, mengikuti salah satu eskul yang ada di MTsN Ciruas dan memiliki pengetahuan tentang keorganisasian.
Pemiliahan calon Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS oleh KPO pertama mereka harus melakukan pendaftaran calon dilanjutkan dengan pengisian biodata seklaigus pengujian tes tertulis maupun secara lisan (interview) pemilihan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS MTsN Ciruas periode 2011/2012 idealnya seperti pemilihan kepala Daerah dengan berbagai macam visi dan misi yang berbeda, mereka melakukan kampanye lokal artinya kampanye
perkelas yang telah ditentukan oleh KPO sesuai dengan jadwal masing-masing, dengan tujuan untuk menarik hati siswa/siswi MTsN Ciruas, selanjutnya siang harinya seusai pulang sekolah para calon melakukan debat kandidat dengan didukung oleh para tim suksesnya masing-masing, mereka boleh melakukan dan menyampaikan visi dan misi kembali dan diberi kesempatan kepada audien atau tim sukses dari pasangan yang lain bertanya dan mendebat kandidat bagaimana ketika anda terpilih sebagai ketua OSIS apa program yang akan anda lakuklan dan bagaimana untuk mempertrahankan prestasi yang pernah diraih oleh OSIS kemarin begitulah pertanyaan yang mereka lontarkan kepada calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS ketika pelaksanaan debat berlangsung (Kamis,3/11/2011)
Pada proses rangkaian kegiatan, telah dilalui tepat pada hari jum`at tanggal 04 Nopember 2011 sekitar tiga jam kemudian, proses pemilihan OSIS berlangsung secara hikmat yang melibatkan hak pilih suara dari siswa-siswi MTsN Ciruas berjalan lancar karena adanya rasa tanggung jawab semua pihak baik guru, siswa maupun panitia dari Komisi Pemilihan OSIS (KPO). Saat itu pula, dilanjutkan dengan perhitungan suara dan hasilnya nomor pasangan 4 atas nama Dede Surya Kusuma & Ardiansyah memperoleh suara terbanyak 268 suara (34,35%), disusul dengan nomor berpasangan 2. M. Abdan & Rizka memperoleh perhitungan suara sebanyak 220 suara (28,20%), dilanjutkan oleh pasangan Usman & Arini memperoleh 150 suara (19,23) dengan nomor pasangan 1 dan kemudian nomor pasangan 3 Nuracih & Eernawati sebanyak 70 suara (8,97%). Adapun Suara tidak sah 72 (9,23%) jumlah suara masuk 780, suara tidak masuk 12 dari jumlah seluruh siswa sebanyak 792 suara.
Untuk lolos hingga menjadi pasangan calon para kandidat terlebih dulu harus melalui beberapa tahapan. Mereka harus lolos penjaringan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS untuk selanjutnya bisa memasuki tahap penetapan nomor urut. Setelah itu mereka juga diberi kesempatan untuk melakukan kampanye.
“pencoblosan ini merupakan tahapan akhir. Siapa yang memperoleh suara terbanyak akan dilantik menjadi Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS senin mendatang(14/11/2011),oleh kepala MTsN Ciruas” ujar Aep, Ketua KPO MTsN Ciruas.
Adapun empat kandidat pasangan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS dimaksud adalah Usman dan Arini nomor pasangan 1. Kemudian M. Abdan dan Rizka Septiana nomor pasangan 2, Nuracih dan Ernawati nomor pasangan 3 serta Dede dan Ardiansyah dengan nomor pasangan 4. Acara pemilihan ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS dimulai dengan berbagai prosedural yang telah ditetapkan melalui keputusan KPO MTsN Ciruas, bahwa calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS kali ini harus benar-benar berbeda dengan kepengurusan tahun lalu, oleh karena itu syarat calon ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS di MTsN Ciruas harus memiliki jiwa kepemimpinan yang loyalitas dan kreadibilitas, tidak memiliki catatan hitam baik dari BP maupun dari wakaur Kesiswaan, memiliki prestasi minimal 5 besar di kelasnya, mengikuti salah satu eskul yang ada di MTsN Ciruas dan memiliki pengetahuan tentang keorganisasian.
Pemiliahan calon Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS oleh KPO pertama mereka harus melakukan pendaftaran calon dilanjutkan dengan pengisian biodata seklaigus pengujian tes tertulis maupun secara lisan (interview) pemilihan calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS MTsN Ciruas periode 2011/2012 idealnya seperti pemilihan kepala Daerah dengan berbagai macam visi dan misi yang berbeda, mereka melakukan kampanye lokal artinya kampanye
perkelas yang telah ditentukan oleh KPO sesuai dengan jadwal masing-masing, dengan tujuan untuk menarik hati siswa/siswi MTsN Ciruas, selanjutnya siang harinya seusai pulang sekolah para calon melakukan debat kandidat dengan didukung oleh para tim suksesnya masing-masing, mereka boleh melakukan dan menyampaikan visi dan misi kembali dan diberi kesempatan kepada audien atau tim sukses dari pasangan yang lain bertanya dan mendebat kandidat bagaimana ketika anda terpilih sebagai ketua OSIS apa program yang akan anda lakuklan dan bagaimana untuk mempertrahankan prestasi yang pernah diraih oleh OSIS kemarin begitulah pertanyaan yang mereka lontarkan kepada calon Ketua OSIS dan calon Wakil Ketua OSIS ketika pelaksanaan debat berlangsung (Kamis,3/11/2011)
Pada proses rangkaian kegiatan, telah dilalui tepat pada hari jum`at tanggal 04 Nopember 2011 sekitar tiga jam kemudian, proses pemilihan OSIS berlangsung secara hikmat yang melibatkan hak pilih suara dari siswa-siswi MTsN Ciruas berjalan lancar karena adanya rasa tanggung jawab semua pihak baik guru, siswa maupun panitia dari Komisi Pemilihan OSIS (KPO). Saat itu pula, dilanjutkan dengan perhitungan suara dan hasilnya nomor pasangan 4 atas nama Dede Surya Kusuma & Ardiansyah memperoleh suara terbanyak 268 suara (34,35%), disusul dengan nomor berpasangan 2. M. Abdan & Rizka memperoleh perhitungan suara sebanyak 220 suara (28,20%), dilanjutkan oleh pasangan Usman & Arini memperoleh 150 suara (19,23) dengan nomor pasangan 1 dan kemudian nomor pasangan 3 Nuracih & Eernawati sebanyak 70 suara (8,97%). Adapun Suara tidak sah 72 (9,23%) jumlah suara masuk 780, suara tidak masuk 12 dari jumlah seluruh siswa sebanyak 792 suara.
Makalah Ulumul Qur`an Tentang Penghimpunan dan pembukuan Al-Qur`an
PENGHIMPUNAN DAN PEMBUKUAN AL-QUR`AN
Oleh : Aep Saepul Anwar, S.Pd.I
A. Pendahuluan
Al Qur’an merupakan kalam Illahi yang di wahyukan kepada Muhammad SAW untuk disampaikan kepada segenap umat manusia di dunia dan dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia dan merupakan kitab suci bagi umat islam, namun tidak banyak orang yang mengetahui apa itu sebenarnya yang dinamakan Al Qur’an, serta bagaimana proses awal pembukuan serta pembakuan Al Qur’an itu sendiri, maka dari itu makalah ini akan membahas seputar pengertian Al Qur’an dan proses pembukuan serta pembakuan Al Qur’an hingga menjadi Al Qur’an yang utuh yang sering kita baca pada setiap harinya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususya.
Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an terkadang diartikan dengan menghafalkan dan mengikatnya dalam dada dan terkadang diartikan dengan penulisannya dalam lembaran-lembaran. Pengumpulan Al-Qur`an dengan pengertian di atas ini melalui tiga masa perkembangan yaitu :
1. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Nabi Muhammad SAW,
2. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah pertama, Abu Bakar Shidiq r.a,
3. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah ketiga, Utsman ibn Affan r.a.
Ketika Al-Qur`an turun kepada Nabi Muahammad SAW, beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan agar mereka menghafal lafaznya dan mampu memahami maknanya. Nabi Muhammad SAW, sangat perhatian dalam menghafal (memlihara) Al-Qur`an dan dalam memperolehnya.
Begitu besar perhatian dan kemauannya untuk menghafal dan memelihara Al-Qur`an, beliau senantiasa menggerakan lidahnya untuk mengucapkan dan melatihnya hingga diluar batas kebiasaan, yakni dengan menyegarakan penghafalannya karena khawatir ada yang luput walau satu kalimat atau menghilangkan satu huruf saja dari Al-Qur`an . Hal ini senantiasa Nabi Muhammad SAW lakukan sehingga Allah SWT, menegur beliau dan menjanjikannya untuk menghafalkannyadi dalam dadanya, membacakan lafadz, dan memberikan pemahaman maknanya kepada beliau.
B. Pembahasan Tentang Penghimpunan dan Pembukuan Al-Qur`an
Yang dimaksud dengan penghimpunan atau pengumpulan Al-Qur`an (Jam`ul Qur`an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian yaiitu:
1. Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jam`ul Qur`an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi senantiasa mengerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur`an ketiak Qur`an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya.
2. Pengumpulan atau penghimpunan dalam arti Kitabatuhu Kullihi (penulisan Qur`an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang terhimpun semua surah.
Pengumpulan dan penghimpunna Al-Qur`an merupakan suatu tahap penting dalam sejarah Al-Qur`an. Dari itu Al-Qur`an terpelihara dari pemalsuan dan persengketaan mengenai ayat-ayatnya sebagaimana terjadi pada hli kitab, serta terhindar dari kepunahan. Mengenai pemeliharaan Al-Qur`an, Allah berjani:
•
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."(QS. Al-Hijr: 9)
Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya. Sebagaimana Ash Shabuni (1985) dan Al Hasan (1983) menerangkan bahwa kata "pengumpulan" (al-Jam`u) untuk Al-Qur`an memiliki dua pengertian yaitu penghafalan (al-hifzhu) dan penulisan (al-kitabah). Pengumpulan Al-Qur`an terbagi dalam 2 periode; yaitu pada masa Nabi Muahammad SAW dan periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa Khalifah Abu bakar Ash-Shidiq dan Khalifah Utsman bin Affan (Ash Shabuni, 1985).
1. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan di hafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-Qur’an untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi, para sahabat selalu menyodorkan Al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan.
Pada masa Rasullah untuk menulis teks Al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun Al-Qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahabat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, pengumpulan dan penghimpunan Al-Qur`an dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan dalam dada (penghafalan) dan penulisan.
a. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Dada (Penghafalan)
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Al- Qur`an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya , sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.
Penghafalan ini sangat penting mengingat Al-Qur`an turun kepada yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang ditulis di tengah kaum yang juga ummi. Allah SWT, berfirman:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."(QS. Al-Jumu`ah: 2)
Sebagai orang yang ummi, mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Memang bagsa Arab pada masa turunnya Al-Qur`an memiliki budaya menghafal. Kekuatan ingatan dan hafalan mereka luar biasa. Banyak di antara mereka yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengingat diluar kepala silsilah serta nasab mereka. Maka ketika Al-Qur`an dengan jelas dan tegas ketentuannya, merekapun menghafalkan ayat demi ayat dan suart demi surat. Menilai Al-Qur`an sebagai bacaan yang sangat tinggi derajat kesusastraan dan kandungan isinya, mereka meninggalkan syair-syair kosong yang selama ini mereka hafalkan karena merasa memperoleh ruh dari Al-Qur`an
b. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Bentuk tulisan
Rasulullah, tidak hanya menghafalkan Al-Qur`an dan membacakannya kepada para sahabat dan kemudian dihafalkan oleh mereka, melainkan juga beliau menuliskannya dalam lembaran-lembaran.
Untuk itu Nabi memiliki beberapa orang penulis wahyu (kuttabu al-wahyu) seperti Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka`ab, Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abu Sufyan, Khulafaur Rasyidin, Tsabit Bin Qays, dan Khalid bin Walid. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati.
Di samping itu perangkat alat tulis sulit diperoleh sehingga mereka menuliskan ayat Al-Qur`an pada benda-benda yang mudah diperoleh, seperti pada pelapah kurma, lempengan batu, daun lontar, tulang belulang kulit atau daun kayu dan selainnya. Pada masa Nabi SAW, Al-Qur`an telah tertulis seluruhnya meskipun masih terpisah-pisah, dan penulisan tersebut dilakukan dengan "tujuh huruf" sebagaimana keadaan Al-Qur`an diturunkan.
Tulisan-tulisan Al-Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah menghafalkan seluruh isi Qur'an di masa Rasulullah.
Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur'an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas. Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tetapi Al-Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis, tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Al-Qur'an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Al- Qur'an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata, "Al-Qur'an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qur'an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah."
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan, "Rasulullah telah wafat sedang Al-Qur'an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar."
Adapun penyebab timbulnya penulisan Al-Qur`an pada masa Nabi SAW, ialah sebagai berikut:
1. Tulisan dapat memperkuat hafalan sehingga Al-Qur`an dapat memiliki sarana-sarana pemeliharaannya, baik hafalan maupun penetapan (dalam bnetuk tulisan). Oleh karena itu, referensi pengumpulan Al-Qur`an adalah hafalan dan tulisan.
2. Penyampaian wahyu secara sempurna, sebab penyampaian wahyu bersandarkan hafalan para sahabat tidak memadai karena mereka tidak luput dari kelupaan atau kematian, sedangkan tulisan akan senantuasa ada atau kekal dan tidak akan hilang.
2 Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq
Abu Bakar adalah pemangku pertama jabatan khalifah. Dalam perjalanan kepemimpinannya ia mengalami banyak permasalahan yang rumit, diantaranya adalah perang melawan orang-orang murtad yang terjadi dalam kaum muslim sendiri dan melawan pengikut Musailimah Al-Kadzab.
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur`an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada sat itu surat-surat dan ayat-ayatnya belum ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Abdillah Al-Muhasibi berkata di dalam kitabnya, “Fahm As-Sunan” penulisan Al-Qur`an bukanlah sesuatu yang baru, sebab Rasulullah SAW pernah memerintahkannya,. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur`an berpencar-pencar pada pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar kemudian berinsiatif menghimpun semuanya.
Ketika Rasullulah wafat dan kekhalifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang Islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H), yang menewaskan sekitar 70 para Qori’ dan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit.
Setelah Abu Bakar berbicara , Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan dating darinya, "Bagaimana mungkin kita melkaukan sesuatu yang belum dilkaukan Rasulullah?" Umar lalu menjawab,
Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
3. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan timbul hal-hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota-kota besar dalam wilayah negara Islam. Kesadaran ini timbul karana para huffazal Al-Qur’an telah bertebaran ke kota-kota besar dan di antara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf Al-Qur’an, karena perbedaan dialek bahasa mereka. Selanjutnya masing- masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik. Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi. Beliau meminta kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Satu prinisip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Qur`an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditengah Hafshah. Serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur`an selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoriatif (absah) Al-Qur`an, yang sering juga disebut mushaf “Utsmani”, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.
Begitu juga Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Kemudian Khalifah menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf. Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing-masing dikirimkan ke kota-kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah, dan Mesir. Khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) al-Qur’an itu amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman ”Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain disobek”
Sebelum Utsman bin Affan (W. 35 H), Khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan bahkan ratusan mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Al-Quran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Utsman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non Utsmani.
Faktor penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman berbeda dengan faktor pnghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Sidiq. Pada masa Utsman Islam sudah mulai meluas ke berbagai negara maka perpecahanpun terjadi diantara kaum muslimin antar negara.dan disetiap negara Islam terkenal dengan qiraah sahabat yang mengajari mereka. Perselisihan yang terus berlangsung ini hampir saja membawa kaum muslimin kepada efek pertikaian dan perpecahan, sehingga diantara mereka ada yang mengkafirkan hanya Karena perbedaan qiraah. Perbedaan penulisan Al-Qur`an pada masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pada Masa Abu Bakar Pada Masa Utsman bin Affan
1. Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur`an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur`an pada perang yamamah
2. Abu Bkar melakukannya dengan mengumpulkannya tulisan-tulisan Al-Qur`an yang terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya 1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihandi dalam cara membaca Al-Qur`an (qira`at)
2. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Qur`an turun.
C. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang harus dijaga keasliannya. Walaupun sudah ada jaminan dari Allah bahwa Al-Qur’an akan selalu dijaga olehnya akan tetapi kita sebagai umat islam wajib berusaha untuk menjaganya. Al-Qur’an sampai bentuk buku seperti yang kita pegang saat ini memiliki perjalanan yang cukup panjang yang terbagi dalam dua priode, pertama periode Rasulullah kedua periode khulafau Al-Rasyidin.
Pada masa rasulullah Al-Qur’an hanya berupa hafalan-hafalan yang berada benak dada para sahabat dan tulisan dilempeng-lempeng batu, pelepah kurma dan dikeping-keping tulang, pada masa itu Al-Qur’an masih berserakan belum ada pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf,.
Atas usulan Umar pada Masa Abu Bakar mulailah terbentuk pembukuan Al-Qur’an, yang dipicu oleh banyak para Qori’ dan hufadz yang gugur pada peperangan Yamamah ( melawan orang yang murtad dari islam ), dikawatirkan Al-Qur’an akan punah. Pada masa Umar Bin Khattab tidak terjadi permasalahan dengan Al-Qur’an, karena pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab lebih berorientasi terhadap perluasan wilayah. Masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Quraisy, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
Pada masa masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Qurays, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, “Ulum Al-Qur`an” Rineka Cipta, Bandung, 2008.
Mohammad Ali Ash-Shabuni, “Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an”. Al-Ikhlas, Surabaya.
Manna Khalil Al-Qattan, “ Studi Ilmu-Ilmu Qur`an”. Mitra Kerjaya, Jakarta, 2011.
Muhammad bin Muahammad Abu Syuhbah, “ Studi Ulmul Qur`an”. Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Muhammad Rahmat Kurnia, “ Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur`an dan Al-Hadits”. Khairul Bayan, Jakarta, 2002.
Syeikh Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, “ Studi Al-Qur`an Al-Karim”. Pustaka Setia, Bandung, 1992.
http://ricky-diah.blogspot.com/2011/04/sejarah-pembukuan-dan-pembakuan-al.html dikutip pada hari selasa 22/11/2011 pukul 11.00 WIB
Oleh : Aep Saepul Anwar, S.Pd.I
A. Pendahuluan
Al Qur’an merupakan kalam Illahi yang di wahyukan kepada Muhammad SAW untuk disampaikan kepada segenap umat manusia di dunia dan dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia dan merupakan kitab suci bagi umat islam, namun tidak banyak orang yang mengetahui apa itu sebenarnya yang dinamakan Al Qur’an, serta bagaimana proses awal pembukuan serta pembakuan Al Qur’an itu sendiri, maka dari itu makalah ini akan membahas seputar pengertian Al Qur’an dan proses pembukuan serta pembakuan Al Qur’an hingga menjadi Al Qur’an yang utuh yang sering kita baca pada setiap harinya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususya.
Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an terkadang diartikan dengan menghafalkan dan mengikatnya dalam dada dan terkadang diartikan dengan penulisannya dalam lembaran-lembaran. Pengumpulan Al-Qur`an dengan pengertian di atas ini melalui tiga masa perkembangan yaitu :
1. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Nabi Muhammad SAW,
2. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah pertama, Abu Bakar Shidiq r.a,
3. Pengumpulan dan pembukuan Al-Qur`an pada masa Khalifah ketiga, Utsman ibn Affan r.a.
Ketika Al-Qur`an turun kepada Nabi Muahammad SAW, beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan agar mereka menghafal lafaznya dan mampu memahami maknanya. Nabi Muhammad SAW, sangat perhatian dalam menghafal (memlihara) Al-Qur`an dan dalam memperolehnya.
Begitu besar perhatian dan kemauannya untuk menghafal dan memelihara Al-Qur`an, beliau senantiasa menggerakan lidahnya untuk mengucapkan dan melatihnya hingga diluar batas kebiasaan, yakni dengan menyegarakan penghafalannya karena khawatir ada yang luput walau satu kalimat atau menghilangkan satu huruf saja dari Al-Qur`an . Hal ini senantiasa Nabi Muhammad SAW lakukan sehingga Allah SWT, menegur beliau dan menjanjikannya untuk menghafalkannyadi dalam dadanya, membacakan lafadz, dan memberikan pemahaman maknanya kepada beliau.
B. Pembahasan Tentang Penghimpunan dan Pembukuan Al-Qur`an
Yang dimaksud dengan penghimpunan atau pengumpulan Al-Qur`an (Jam`ul Qur`an) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian yaiitu:
1. Pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jam`ul Qur`an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-nabi senantiasa mengerak-gerakan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur`an ketiak Qur`an itu turun kepadanya sebelum Jibril selesai membacakannya.
2. Pengumpulan atau penghimpunan dalam arti Kitabatuhu Kullihi (penulisan Qur`an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah di tulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang terhimpun semua surah.
Pengumpulan dan penghimpunna Al-Qur`an merupakan suatu tahap penting dalam sejarah Al-Qur`an. Dari itu Al-Qur`an terpelihara dari pemalsuan dan persengketaan mengenai ayat-ayatnya sebagaimana terjadi pada hli kitab, serta terhindar dari kepunahan. Mengenai pemeliharaan Al-Qur`an, Allah berjani:
•
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."(QS. Al-Hijr: 9)
Ayat Ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya. Sebagaimana Ash Shabuni (1985) dan Al Hasan (1983) menerangkan bahwa kata "pengumpulan" (al-Jam`u) untuk Al-Qur`an memiliki dua pengertian yaitu penghafalan (al-hifzhu) dan penulisan (al-kitabah). Pengumpulan Al-Qur`an terbagi dalam 2 periode; yaitu pada masa Nabi Muahammad SAW dan periode Khulafaur Rasyidin, yaitu pada masa Khalifah Abu bakar Ash-Shidiq dan Khalifah Utsman bin Affan (Ash Shabuni, 1985).
1. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Rasulullah SAW
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran islam yang diwahyukan kepada rasulullah secara mutawatir pada saat terjadi suatu peristiwa, disamping rasulullah menghafalkan secara pribadi, Nabi juga memberikan pengajaran kepada sahabat-sahabatnya untuk dipahami dan di hafalkan, ketika wahyu turun Rasulullah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal karena Zaid merupakan orang yang paling berpotensi dengan penulisan, sebagian dari mereka dengan sendirinya menulis teks Al-Qur’an untuk di milikinya sendiri diantara sahabat tadi, para sahabat selalu menyodorkan Al-Qur’an kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan-tulisan.
Pada masa Rasullah untuk menulis teks Al-Qur’an sangat terbatas sampai-sampai para sahabat menulis Al-Qur’an di pelepah-pelepah kurma,lempengan-lempengan batu dan dikeping-keping tulang hewan, meskipun Al-Qur’an sudah tertuliskan pada masa rasulullah tapi al-qur’an masih berserakan tidak terkumpul menjadi satu mushaf. Pada saat itu memang sengaja dibentuk dengan hafalan yang tertanam didalam dada para sahabat dan penulisan teks Al-Qur’an yang di lakukan oleh para sahabat. Dan tidak dibukukan didalam satu mushaf di karenakan rasulullah masih menunggu wahyu yang akan turun selanjutnya, dan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dimansukh oleh ayat yang lain, jika umpama Al-Qur’an segera dibukukan pada masa rasulullah, tentunya ada perubahan ketika ada ayat yang turun lagi atau ada ayat yang dimanskuh oleh ayat yang lain.
Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, pengumpulan dan penghimpunan Al-Qur`an dilakukan dengan dua cara, yaitu pengumpulan dalam dada (penghafalan) dan penulisan.
a. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Dada (Penghafalan)
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (al-Qiyamah:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Al- Qur`an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya , sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.
Penghafalan ini sangat penting mengingat Al-Qur`an turun kepada yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang ditulis di tengah kaum yang juga ummi. Allah SWT, berfirman:
"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."(QS. Al-Jumu`ah: 2)
Sebagai orang yang ummi, mereka hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Memang bagsa Arab pada masa turunnya Al-Qur`an memiliki budaya menghafal. Kekuatan ingatan dan hafalan mereka luar biasa. Banyak di antara mereka yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengingat diluar kepala silsilah serta nasab mereka. Maka ketika Al-Qur`an dengan jelas dan tegas ketentuannya, merekapun menghafalkan ayat demi ayat dan suart demi surat. Menilai Al-Qur`an sebagai bacaan yang sangat tinggi derajat kesusastraan dan kandungan isinya, mereka meninggalkan syair-syair kosong yang selama ini mereka hafalkan karena merasa memperoleh ruh dari Al-Qur`an
b. Pengumpulan Al-Qur`an Dalam Bentuk tulisan
Rasulullah, tidak hanya menghafalkan Al-Qur`an dan membacakannya kepada para sahabat dan kemudian dihafalkan oleh mereka, melainkan juga beliau menuliskannya dalam lembaran-lembaran.
Untuk itu Nabi memiliki beberapa orang penulis wahyu (kuttabu al-wahyu) seperti Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka`ab, Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abu Sufyan, Khulafaur Rasyidin, Tsabit Bin Qays, dan Khalid bin Walid. Bila ayat turun, ia memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati.
Di samping itu perangkat alat tulis sulit diperoleh sehingga mereka menuliskan ayat Al-Qur`an pada benda-benda yang mudah diperoleh, seperti pada pelapah kurma, lempengan batu, daun lontar, tulang belulang kulit atau daun kayu dan selainnya. Pada masa Nabi SAW, Al-Qur`an telah tertulis seluruhnya meskipun masih terpisah-pisah, dan penulisan tersebut dilakukan dengan "tujuh huruf" sebagaimana keadaan Al-Qur`an diturunkan.
Tulisan-tulisan Al-Qur'an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas'ud telah menghafalkan seluruh isi Qur'an di masa Rasulullah.
Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur'an di hadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan di atas. Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah di saat Al-Qur'an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas. Tetapi Al-Qur'an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis, tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang menasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Al-Qur'an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Al- Qur'an itu seluruhnya dikumpulkan di antara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-Zarkasyi berkata, "Al-Qur'an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qur'an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah."
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan, "Rasulullah telah wafat sedang Al-Qur'an belum dikumpulkan sama sekali." Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata, "Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar."
Adapun penyebab timbulnya penulisan Al-Qur`an pada masa Nabi SAW, ialah sebagai berikut:
1. Tulisan dapat memperkuat hafalan sehingga Al-Qur`an dapat memiliki sarana-sarana pemeliharaannya, baik hafalan maupun penetapan (dalam bnetuk tulisan). Oleh karena itu, referensi pengumpulan Al-Qur`an adalah hafalan dan tulisan.
2. Penyampaian wahyu secara sempurna, sebab penyampaian wahyu bersandarkan hafalan para sahabat tidak memadai karena mereka tidak luput dari kelupaan atau kematian, sedangkan tulisan akan senantuasa ada atau kekal dan tidak akan hilang.
2 Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq
Abu Bakar adalah pemangku pertama jabatan khalifah. Dalam perjalanan kepemimpinannya ia mengalami banyak permasalahan yang rumit, diantaranya adalah perang melawan orang-orang murtad yang terjadi dalam kaum muslim sendiri dan melawan pengikut Musailimah Al-Kadzab.
Pada dasarnya, seluruh Al-Qur`an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada sat itu surat-surat dan ayat-ayatnya belum ditulis dengan terpencar-pencar. Dan orang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Abdillah Al-Muhasibi berkata di dalam kitabnya, “Fahm As-Sunan” penulisan Al-Qur`an bukanlah sesuatu yang baru, sebab Rasulullah SAW pernah memerintahkannya,. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Qur`an berpencar-pencar pada pelapah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar kemudian berinsiatif menghimpun semuanya.
Ketika Rasullulah wafat dan kekhalifaaan jatuh ketangan Abu Bakar, banyak dari kalangan orang Islam kembali kepada kekhafiran dan kemurtatan, dengan jiwa kepemimpinannya umar mengirim pasukan untuk memerangi. Tragedi ini dinamakan perang Yamamah (12 H), yang menewaskan sekitar 70 para Qori’ dan Hufadz. dari sekian banyaknya para hufadz yang gugur, umar khawatir Al-Qur’an akan punah dan tidak akan terjaga, kemudian umar menyusulkan kepada Abu Bakar yang saat itu menjadi khalifah untuk membukukan Al-Qur’an yang masih berserakan kedalam satu mushaf, pada awalnya Abu Bakar menolak dikarenakan hal itu tidak dilakukan pada masa Rasulullah, dengan penuh keyakinan dan semangatnya untuk melestarikan Al-Qur’an umar berkata kepada Abu Bakar “ Demi Allah ini adalah baik” dengan terbukanya hati Abu Bakar akhirnya usulan Umar diterima. Abu Bakar menyerahkan urusan tersebut kepada Zaid Bin Tsabit.
Setelah Abu Bakar berbicara , Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan dating darinya, "Bagaimana mungkin kita melkaukan sesuatu yang belum dilkaukan Rasulullah?" Umar lalu menjawab,
Zaid sangat hati-hati didalam penulisannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok ajaran islam. Yang kemudian Zaid menyerahkan hasil penyusunannya kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpannya sampai wafat. Yang kemudian dipegang oleh umar Bin Khattab sebagai gantinya kekhalifaan.
3. Pengumpulan dan Pembukuan Al-Qur`an Masa Khalifah Utsman Bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan timbul hal-hal yang menyadarkan khalifah akan perlunya memperbanyak naskah shuhuf dan mengirimkannya ke kota-kota besar dalam wilayah negara Islam. Kesadaran ini timbul karana para huffazal Al-Qur’an telah bertebaran ke kota-kota besar dan di antara mereka terdapat perbedaan bacaan terhadap beberapa huruf Al-Qur’an, karena perbedaan dialek bahasa mereka. Selanjutnya masing- masing menganggap mereka bacaannya yang lebih tepat dan baik. Berita perselisihan itu sampai ketelinga Usman dan beliau menganggap hal itu sebagai sumber bahaya besar yang harus segera diatasi. Beliau meminta kepada Hafsah binti Umar supaya mengirimkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya.
Satu prinisip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy-suku dari mana Nabi berasal harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Qur`an direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada ditengah Hafshah. Serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Qur`an selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoriatif (absah) Al-Qur`an, yang sering juga disebut mushaf “Utsmani”, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.
Begitu juga Semakin banyaknya negara yang ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, semakin beraneragamlah pula pemeluk agama islam, disekian banyaknya pemeluk agama islam mengakibatkan perbedaan tentang Qiro’ah antara suku yang satu dengan yang lain, masing-masing suku mengklaim Qiro’ah dirinyalah yang paling benar. Perbedaan Qiro’ah tersebut terjadi disebabkan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Nabi kepada Kabilah-kabilah Arab dalam membaca Al-Qur’an menurut dialeknya masing-masing. Hufaidzah bin Yaman yang pernah ikut perang melawan syam bagian Armenia bersamaan Azabaijan bersama penduduk Iraq. Telah melihaT perbedaan tentang Qiro’ah tersebut. Setelah pulang dari peperangan. Hufaidzah menceritakan adanya perbedaan qiro’ah kepada Ustman Bin Affan, sekaligus ia mengusulkan untuk segera menindak perbedaan dan membuat kebijakan, dikhawatirkan akan terjadi perpecahan dikalangan ummat islam tentang kitab suci, seperti perbedaan yang terjadi dikalangan orang yahudi dan Nasrani yang mempermasalahkan perbedaan antara kitab injil dan taurat. Selanjutnya Ustman Bin Affan membentuk lajnah (panitia) yang dipimpin oleh Zaid Bin Harist dengan anggotanya Abdullah bin Zubair. Said ibnu Ash dan Abdurahman bin Harits.
Kemudian Khalifah menugaskan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam untuk menyalin (membukukan) menjadi beberapa shuhuf. Setelah selesai penghimpunannya, mushaf asli dikembalikan ke Hafsah dan tujuh mushaf yang telah disalin, masing-masing dikirimkan ke kota-kota Kufah, Bashrah, Damaskus, Mekah, Madinah, dan Mesir. Khalifah meninggalkan sebuah dari tujuh mushaf itu untuk dirinya sendiri. Dalam penyalinan (pembukuan) al-Qur’an itu amat teliti dan tegas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Jarir mengatakan berkenaan apa yang telah dilakukan Usman ”Ia telah menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu shuhuf, sedangkan mushaf yang lain disobek”
Sebelum Utsman bin Affan (W. 35 H), Khalifah ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan “Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan bahkan ratusan mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf Uthmani) dibakar dan dimusnahkan. Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H) beberapa puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari memori mereka atau para pengikut mereka, karena Al-Quran pada saat itu lebih banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan yang beredar pasca-kodifikasi Utsman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan (kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu. Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu adalah para pewaris varian bacaan non Utsmani.
Faktor penghimpunan Al-Qur’an pada masa Utsman berbeda dengan faktor pnghimpunan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Sidiq. Pada masa Utsman Islam sudah mulai meluas ke berbagai negara maka perpecahanpun terjadi diantara kaum muslimin antar negara.dan disetiap negara Islam terkenal dengan qiraah sahabat yang mengajari mereka. Perselisihan yang terus berlangsung ini hampir saja membawa kaum muslimin kepada efek pertikaian dan perpecahan, sehingga diantara mereka ada yang mengkafirkan hanya Karena perbedaan qiraah. Perbedaan penulisan Al-Qur`an pada masa Abu Bakar dan masa Utsman bin Affan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Pada Masa Abu Bakar Pada Masa Utsman bin Affan
1. Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Qur`an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur`an pada perang yamamah
2. Abu Bkar melakukannya dengan mengumpulkannya tulisan-tulisan Al-Qur`an yang terpencar-pencar pada pelapah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya 1. Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihandi dalam cara membaca Al-Qur`an (qira`at)
2. Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf yang dengannya Al-Qur`an turun.
C. Kesimpulan
Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang harus dijaga keasliannya. Walaupun sudah ada jaminan dari Allah bahwa Al-Qur’an akan selalu dijaga olehnya akan tetapi kita sebagai umat islam wajib berusaha untuk menjaganya. Al-Qur’an sampai bentuk buku seperti yang kita pegang saat ini memiliki perjalanan yang cukup panjang yang terbagi dalam dua priode, pertama periode Rasulullah kedua periode khulafau Al-Rasyidin.
Pada masa rasulullah Al-Qur’an hanya berupa hafalan-hafalan yang berada benak dada para sahabat dan tulisan dilempeng-lempeng batu, pelepah kurma dan dikeping-keping tulang, pada masa itu Al-Qur’an masih berserakan belum ada pembukuan al-Qur’an dalam satu mushaf,.
Atas usulan Umar pada Masa Abu Bakar mulailah terbentuk pembukuan Al-Qur’an, yang dipicu oleh banyak para Qori’ dan hufadz yang gugur pada peperangan Yamamah ( melawan orang yang murtad dari islam ), dikawatirkan Al-Qur’an akan punah. Pada masa Umar Bin Khattab tidak terjadi permasalahan dengan Al-Qur’an, karena pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab lebih berorientasi terhadap perluasan wilayah. Masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Quraisy, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
Pada masa masa Ustman terjadi perubahan Mushaf Al-Qur’an karena adanya perbedaan antar suku, atas usulan hufaidazh ustman menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an dengan dialek Qurays, yang kemudian Mushaf tersebut disebut Al-Imam yang lebih dikenal dengan mushaf Ustmani.
DAFTAR PUSTAKA
Rosihon Anwar, “Ulum Al-Qur`an” Rineka Cipta, Bandung, 2008.
Mohammad Ali Ash-Shabuni, “Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur’an”. Al-Ikhlas, Surabaya.
Manna Khalil Al-Qattan, “ Studi Ilmu-Ilmu Qur`an”. Mitra Kerjaya, Jakarta, 2011.
Muhammad bin Muahammad Abu Syuhbah, “ Studi Ulmul Qur`an”. Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Muhammad Rahmat Kurnia, “ Prinsip-prinsip pemahaman Al-Qur`an dan Al-Hadits”. Khairul Bayan, Jakarta, 2002.
Syeikh Muhammad Bin Muhammad Abu Syahbah, “ Studi Al-Qur`an Al-Karim”. Pustaka Setia, Bandung, 1992.
http://ricky-diah.blogspot.com/2011/04/sejarah-pembukuan-dan-pembakuan-al.html dikutip pada hari selasa 22/11/2011 pukul 11.00 WIB
Sabtu, 20 Agustus 2011
WORKSHOP PROGRAM MADRASAH MTS NEGERI CIRUAS TAHUN PELAJARAN 2011/2012
Carita, Salah satu agenda kegiatan MTs Negeri Ciruas dalam mempersiapkan tahun pelajaran 2011/2012 adalah menyelenggarakan workshop yang diikuti oleh segenap Dewan Guru, Tata Usaha dan komite Madrasah selama 2 hari, Kamis-Jum`at (28-29/7/2011). Workshop Program Madrasah yang mengambil tema "Membangun kebersamaan upaya menuju madrasah yang unggul" yang bertempat di Hotel Mutiara Carita Kabupaten Pandeglang dalam rangka penjabaran program kerja madrasah. Workshop ini merupakan rapat rutinitas tahunan madarasah setiap awal tahun pelajaran dimulai dan penyusunan program kerja madrasah untuk tahun pelajaran 2011/2012.
Dari unsur dinas, workshop ini dihadiri oleh Kepala Kantor Kementerian Agama
Kepala Kanwil Provinsi Banten Drs. H. Iding Mujtahjidin, M.Pd, (dua dari kiri) didampingi oleh Kepala MTsN Ciruas Ali Rokhman, Az, S.Ag. M.MPd, Ketua Pelaksana Khisni, S.Pd.I dan komite Madrasah Drs. H. Ismail (kiri
Provinsi Banten Drs. H. Iding Mujtahidin, M.Pd, sekaligus membuka kegiatan ini. Beliau menyambut kegitan ini dengan antusias dan perlu dikemas yang lebih baik agar workshop program madrasah ini terarah sesuai dengan rencana dan harapan semuanya. Dalam sambutannya juga mengatakan penyusunan program kerja madrasah ini hendaknya memperhatikan program kerja yang sudah dilaksanakan sebagai evaluasi untuk kedepan untuk membuka program yang baru menjadi lebih baik dari program yang lalu.
Hal senada dikatakan oleh ketua pelaksana khisni, S.Pd.I dalam laporannya bahwa kegiatan ini merupakan program kerja madrasah yang dilakukan menjelang awal tahun pelajaran baru khisni juga menambahkan dilaksanakannya kegiatan ini semata-mata untuk meningkatkan kinerja Sumber Daya Manusia dalam mengelola madrasah kedepan, sebab semua itu tergantung komponen madrasah itu sendiri untuk merealisasikan program-program kerja MTsN Ciruas pada tahun pelajaran 2011/2012.
Kepala MTsN Ciruas (kiri) dalam memberikan pengarahan kepada peserta rapat didampingi ketua Komite MTsN Ciruas
Ditambahkan oleh kepala MTsN Ciruas selaku penanggung jawab dalam kegiatan ini Ali Rokhman Az, S.Ag. M.MPd mengajak kepada seluruh Dewan guru, Staf TU dan karyawan untuk bersama-sama menjalankan program kerja ini dengan penuh kebersamaan dan tangung jawab secara moril, beliau juga menambhakan workshop program madrasah yang baru dilakasanakan bukan sekedar
kegiatan rutinitas tahunan yang wajib
dilakasanakan, akan tetapi yang menjadi tolok ukur dari kegiatan ini adanya hasil yang harus di implementasikan melalui siding komisi sesuai dengan program kerja masing-masing yang lebih pentingnya dilaksanakan sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) sehingga Guru, TU dan karyawan mengerti apa yang dilaksanakan dari workshop program madarash ini, sebab kegiatan ini adalah memotret kegiatan tahun yang lalu sebagai evaluasi diri guna untuk memperbaiki program-program yang telah usai dilaksanakan menuju program kerja madrasah pada tahun pelajaran 2011/2012.
Sementara itu, dalam acara tersebut menghadirkan pula pemateri oleh Kasubag TU Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten Drs. H. Bazari Syam, M.Pd. dengan materi tentang "Restrukturisasi Sumber Daya Madrasah yang Unggul" dalam pemaparan materinya beliau menitikberatkan kepada kedisiplinan pegawai dalam menjalankan kewajibannya sebagai abdi negara harus patuh terhadap UU yang telah ditentukan sesuai dengan PP. No. 53 tahun 2010 tentang beban kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki beban kjerja 37,5 jam dalam satu minggu
Selain itu Workshop kali ini menghasilkan program-program kerja yang baru, semangat yang baru namun masih memuat sejumlah agenda kerja yang perlu direalisasikan, semuanya itu harus dilaksankan penuh dengan keikhlasan dan penganbdian yang tinggi. Kegiatan ini ditutup langsung oleh Kabid MAPENDA Kanwil Provinsi Banten Drs. H. Ubik Baehaqie, M.Si.
Selamat dan Sukses !! Semoga Allah SWT selalu meridhoi,kita semua Amin.(Kir. Aep. SA/Humas MTsN Ciruas)
Dari unsur dinas, workshop ini dihadiri oleh Kepala Kantor Kementerian Agama
Kepala Kanwil Provinsi Banten Drs. H. Iding Mujtahjidin, M.Pd, (dua dari kiri) didampingi oleh Kepala MTsN Ciruas Ali Rokhman, Az, S.Ag. M.MPd, Ketua Pelaksana Khisni, S.Pd.I dan komite Madrasah Drs. H. Ismail (kiri
Provinsi Banten Drs. H. Iding Mujtahidin, M.Pd, sekaligus membuka kegiatan ini. Beliau menyambut kegitan ini dengan antusias dan perlu dikemas yang lebih baik agar workshop program madrasah ini terarah sesuai dengan rencana dan harapan semuanya. Dalam sambutannya juga mengatakan penyusunan program kerja madrasah ini hendaknya memperhatikan program kerja yang sudah dilaksanakan sebagai evaluasi untuk kedepan untuk membuka program yang baru menjadi lebih baik dari program yang lalu.
Hal senada dikatakan oleh ketua pelaksana khisni, S.Pd.I dalam laporannya bahwa kegiatan ini merupakan program kerja madrasah yang dilakukan menjelang awal tahun pelajaran baru khisni juga menambahkan dilaksanakannya kegiatan ini semata-mata untuk meningkatkan kinerja Sumber Daya Manusia dalam mengelola madrasah kedepan, sebab semua itu tergantung komponen madrasah itu sendiri untuk merealisasikan program-program kerja MTsN Ciruas pada tahun pelajaran 2011/2012.
Kepala MTsN Ciruas (kiri) dalam memberikan pengarahan kepada peserta rapat didampingi ketua Komite MTsN Ciruas
Ditambahkan oleh kepala MTsN Ciruas selaku penanggung jawab dalam kegiatan ini Ali Rokhman Az, S.Ag. M.MPd mengajak kepada seluruh Dewan guru, Staf TU dan karyawan untuk bersama-sama menjalankan program kerja ini dengan penuh kebersamaan dan tangung jawab secara moril, beliau juga menambhakan workshop program madrasah yang baru dilakasanakan bukan sekedar
kegiatan rutinitas tahunan yang wajib
dilakasanakan, akan tetapi yang menjadi tolok ukur dari kegiatan ini adanya hasil yang harus di implementasikan melalui siding komisi sesuai dengan program kerja masing-masing yang lebih pentingnya dilaksanakan sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi (TUPOKSI) sehingga Guru, TU dan karyawan mengerti apa yang dilaksanakan dari workshop program madarash ini, sebab kegiatan ini adalah memotret kegiatan tahun yang lalu sebagai evaluasi diri guna untuk memperbaiki program-program yang telah usai dilaksanakan menuju program kerja madrasah pada tahun pelajaran 2011/2012.
Sementara itu, dalam acara tersebut menghadirkan pula pemateri oleh Kasubag TU Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten Drs. H. Bazari Syam, M.Pd. dengan materi tentang "Restrukturisasi Sumber Daya Madrasah yang Unggul" dalam pemaparan materinya beliau menitikberatkan kepada kedisiplinan pegawai dalam menjalankan kewajibannya sebagai abdi negara harus patuh terhadap UU yang telah ditentukan sesuai dengan PP. No. 53 tahun 2010 tentang beban kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki beban kjerja 37,5 jam dalam satu minggu
Selain itu Workshop kali ini menghasilkan program-program kerja yang baru, semangat yang baru namun masih memuat sejumlah agenda kerja yang perlu direalisasikan, semuanya itu harus dilaksankan penuh dengan keikhlasan dan penganbdian yang tinggi. Kegiatan ini ditutup langsung oleh Kabid MAPENDA Kanwil Provinsi Banten Drs. H. Ubik Baehaqie, M.Si.
Selamat dan Sukses !! Semoga Allah SWT selalu meridhoi,kita semua Amin.(Kir. Aep. SA/Humas MTsN Ciruas)
Selasa, 07 Juni 2011
SISWA MTSN CIRUAS SUJUD SYUKUR LULUS UN TAHUN 2010/2011
ungkapan rasa syukur dan bahagia dirasakan oleh sejumlah siswa-siswi MTsN Ciruas, setelah pengumuman kelulusan yang diterima pada hari sabtu (04/06/2011) di MTsN Ciruas, berbeda dengan siswa pada umumnya yang merayakan kelulusan dengan melakukan konvoi di jalanan, aksi corat-coret atau segala bentuk budaya barat yang tidak Islami. Hal lain dari siswa-siswi MTsN Ciruas Kabupaten Serang merayakannya dengan melakukan sujud syukur sebagai rasa ungkapan terima kasih kepada Allah SWT atas keberhasilan mereka dalam menempuh Ujian Nasional. Tidak hanya itu pihak MTsN Ciruas juga memberikan himbauan kepada seluruh siswa kelas IX untuk melakukan sujud syukur yang dikoordinatori oleh pembina kerohanian sebagai bentuk implementasi, aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai keislamanya, karena kita adalah madrasah harus ada ciri-ciri keislamannya dan ini merupakan menjadi suatu kebanggaan bagi siswa-siswi tersebut dan umumnya bagi madrasah.
Salah seorang lulusan, Rifa Fitriani Dewi mantan pengurus OSIS (15), salah satu siswi yang lulus dengan memiliki bobot nilai tertinggi “merasakan terharu dan bahagia karena selama tiga tahun menuntut ilmu di madrasah yang ia cintai membuahkan hasil yang sangat luar biasa bagi saya
dan teman-teman seperjuangan, ucapan terima kasih kepada orang tua yang telah memberikan motivasi secara moril maupun materil dan kepada guru-guru serta segenap komponen madrasah yang sangat kami cintai dengan perjuangan dan pengorbanannya alhamdulilah siswa-siswi MTsN ciruas 100 persen mereka bisa lulus ujian dari hasil usaha dan amal baiknya Allah lah yang akan membalasnya. Amien” ujar Rifa FD, Sabtu (04/06/2011). Hal serupa dikatakan Ropiyati dari kelas IX.2 tampak amat gembira, sampai-sampai tak sadarkan diri meneteskan air mata karena sangat terharunya ketika menerima surat kelulusan.
Hal senada dikatakan Kepala MTsN Ciruas Ali Rokhman, Az. S.Ag, M.MPd, kelulusan siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Ciruas tahun ini lulus 100% itu adalah bukti nyata keberhasilan proses belajar mengajar, apalagi ditambah oleh siswa-siswinya yang memiliki ketekunan dan semangat belajar yang cukup tinggi, sebelum pelaksanaan UN berlangsung terlebih dahulu siswa diarahkan untuk mengikuti bimbingan belajar (bimbel) di madrasah sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan melalui kurikulum. Pihak MTsN Ciruas juga mengharapkan kepada orang tua wali/siswa untuk memberikan motivasi kepada anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, jangan merasakan puas apa yang telah didapatkan di madrash ini. Kelulusan tahun ini sebagai momen yang amat penting mudah-mudahan MTsN Ciruas di tahun yang akan datang menjadi madrasah tumpuan dan kebanggaan masyarakat Ciruas khususnya dan masyarakat Kabupaten serang pada umumnya.(Bag. Humas MTsN Ciruas Kir.Aep Saepul Anwar, S.Pd.I)
Kamis, 12 Mei 2011
Upacara Bendera, Upaya Menumbuhkan Semangat Nasionalisme (aep saepul anwar)
Upacara Bendera di sekolah adalah kegiatan pengibaran atau penurunan bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu atau saat yang telah ditentukan misalnya pelaksanaan upacara bendera di sekolah pada umumnya dilaksanakan setiap pagi pada hari senin, merupakan salah satu bagian mata pelajaran di setiap sekolah. Upacara bendera pada hari senin juga menjadi kewajiban yang harus di laksanakan tiap sekolah atau madrasah di indonesia, selain untuk menanamkan rasa persatuan dan kesatuan kepada siswa, upacara bendera juga menjadi tolak ukur kedisiplinan semua warga sekolah, khususnya para siswa. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pelaksanan upacara di sekolah, salah satu diantaranya adalah rasa nasionalisme atau cinta terhadap bangsa Indonesia.
Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol martabat bangsa. Dimana para calon penerus bangsa di bekali dengan kecintaan nya terhadap bangsa dan negara indonesia yang di mulai dari pendidikan taman kanak – kanak. Kecintaan terhadap bangsa paling tidak telah di tanamkan lebih dari 10 tahun di bangku sekolah, cinta terhadap bangsa bukan saja kita harus berperang melawan para penjajah, salah satu bukti yang nyata sekarang adalah melaksanakan upacara bendera secara khidmat sebagai salah satu kecintaan kita terhadap bangsa dan.
Secara teoritis upacara bendera merupakan kegiatan yang mencerminkan adanya rasa nasionalisme, karena melalui kegiatan upacara tersebut berbagai hal dapat dicapai. Sikap disiplin, kesegaran jasmani dan rohani, keterampilan gerak keterampilan memimpin dan pengembangan sifat kebangsaan, cinta tanah air, semangat nasionalisme, patriotisme dan idealisme serta meningkatkan peran siswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila upacara tersebut dilaksanakan dengan penuh khidmat. Karena upacara salah satu cermin kegiatanyang menimbulkan rasa nasionalisme, secara kongkrit pada tanggal 17 Agustus 1945 di proklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pertama kali dikibarkannya bendera Sang Merah Putih melalui kegiatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Artinya upacara mempunyai peran yang sangat penting karena melihat pada sejarah para pahlawan yang telah merebut bangsa Indonesia dari tangan para penjajah kurang lebih tiga abad setengah. Sekarang para pelajar khususnya untuk mengisi kemerdekaan dengan cara melaksanakan yang diatas sebagai bentuk penghargaan kepada jasa pahlawan dan ekspresi cinta pada bangsa.
Namun ironisnya, masih banyak sekali permasalahan di indonesia yang berawal dari kerusakan moral anak bangsa yang berdampak memperburuk Citra bangsa indonesia. Seharusnya ini tidak akan terjadi apabila rasa Nasionalisme tertanam dengan baik di jiwa semua bangsa indonesia.
Bukanlah kesalahan dari makna pelaksaan upacara, namun dengan pelaksaan upacara bendera di setiap sekolah, diharapkan dapat lebih menumbuhkan rasa nasionalisme para calon penerus bangsa, sehingga generasi mendatang dapat lebih mengerti tentang sikap dan sifat luhur berbangsa dan bernegara.
Upacara Bendera pada hari senin di setiap sekolah seharusnya lebih menekankan pesan pesan moral tentang sifat dan sikap luhur berbangsa dan bernegara. Sambutan yang di berikan oleh pembina upacara seharusnya juga lebih bersifat kepada pendidikan moral yang berasaskan pancasila. Paling tidak para siswa dapat mengetahui tentang makna pelaksaan upacara, sehingga rasa Nasionalisme terhadap sebuah bangsa dapat tertanam melalui pelaksaan upacara bendera. Dan pelaksanaan upacara akan sampai pada tujuan awalnya, yaitu sarana menanamkan rasa persatuan, kesatuan bangsa, serta menumbuhkan rasa Nasionalisme berbangsa dan bernegara.
Selasa, 10 Mei 2011
Upacara Bendera, Upaya Menumbuhkan Semangat Nasionalisme (aep saepul anwar)
Upacara Bendera di sekolah adalah kegiatan pengibaran atau penurunan bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu atau saat yang telah ditentukan misalnya pelaksanaan upacara bendera di sekolah pada umumnya dilaksanakan setiap pagi pada hari senin, merupakan salah satu bagian mata pelajaran di setiap sekolah. Upacara bendera pada hari senin juga menjadi kewajiban yang harus di laksanakan tiap sekolah atau madrasah di indonesia, selain untuk menanamkan rasa persatuan dan kesatuan kepada siswa, upacara bendera juga menjadi tolak ukur kedisiplinan semua warga sekolah, khususnya para siswa. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pelaksanan upacara di sekolah, salah satu diantaranya adalah rasa nasionalisme atau cinta terhadap bangsa Indonesia.
Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol martabat bangsa. Dimana para calon penerus bangsa di bekali dengan kecintaan nya terhadap bangsa dan negara indonesia yang di mulai dari pendidikan taman kanak – kanak. Kecintaan terhadap bangsa paling tidak telah di tanamkan lebih dari 10 tahun di bangku sekolah, cinta terhadap bangsa bukan saja kita harus berperang melawan para penjajah, salah satu bukti yang nyata sekarang adalah melaksanakan upacar bendera secara khidmat sebagai salah satu kecintaan kita terhadap bangsa dan.
Secara teoritis upacara bendera merupakan kegiatan yang mencerminkan adanya rasa nasionalisme, karena melalui kegiatan upacara tersebut berbagai hal dapat dicapai. Sikap disiplin, kesegaran jasmani dan rohani, keterampilan gerak keterampilan memimpin dan pengembangan sifat kebangsaan, cinta tanah air, semangat nasionalisme, patriotisme dan idealisme serta meningkatkan peran siswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila upacara tersebut dilaksanakan dengan penuh khidmat. Karena upacara salah satu cermin kegiatanyang menimbulkan rasa nasionalisme, secara kongkrit pada tanggal 17 Agustus 1945 di proklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pertama kali dikibarkannya bendera Sang Merah Putih melalui kegiatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Artinya upacara mempunyai peran yang sangat penting karena melihat pada sejarah para pahlawan yang telah merebut bangsa Indonesia dari tangan para penjajah kurang lebih tiga abad setengah. Sekarang para pelajar khususnya untuk mengisi kemerdekaan dengan cara melaksanakan yang diatas sebagai bentuk penghargaan kepada jasa pahlawan dan ekspresi cinta pada bangsa.
Namun ironisnya, masih banyak sekali permasalahan di indonesia yang berawal dari kerusakan moral anak bangsa yang berdampak memperburuk Citra bangsa indonesia. Seharusnya ini tidak akan terjadi apabila rasa Nasionalisme tertanam dengan baik di jiwa semua bangsa indonesia.
Bukanlah kesalahan dari makna pelaksaan upacara, namun dengan pelaksaan upacara bendera di setiap sekolah, diharapkan dapat lebih menumbuhkan rasa nasionalisme para calon penerus bangsa, sehingga generasi mendatang dapat lebih mengerti tentang sikap dan sifat luhur berbangsa dan bernegara.
Upacara Bendera pada hari senin di setiap sekolah seharusnya lebih menekankan pesan pesan moral tentang sifat dan sikap luhur berbangsa dan bernegara. Sambutan yang di berikan oleh pembina upacara seharusnya juga lebih bersifat kepada pendidikan moral yang berasaskan pancasila. Paling tidak para siswa dapat mengetahui tentang makna pelaksaan upacara, sehingga rasa Nasionalisme terhadap sebuah bangsa dapat tertanam melalui pelaksaan upacara bendera. Dan pelaksanaan upacara akan sampai pada tujuan awalnya, yaitu sarana menanamkan rasa persatuan, kesatuan bangsa, serta menumbuhkan rasa Nasionalisme berbangsa dan bernegara.
Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol martabat bangsa. Dimana para calon penerus bangsa di bekali dengan kecintaan nya terhadap bangsa dan negara indonesia yang di mulai dari pendidikan taman kanak – kanak. Kecintaan terhadap bangsa paling tidak telah di tanamkan lebih dari 10 tahun di bangku sekolah, cinta terhadap bangsa bukan saja kita harus berperang melawan para penjajah, salah satu bukti yang nyata sekarang adalah melaksanakan upacar bendera secara khidmat sebagai salah satu kecintaan kita terhadap bangsa dan.
Secara teoritis upacara bendera merupakan kegiatan yang mencerminkan adanya rasa nasionalisme, karena melalui kegiatan upacara tersebut berbagai hal dapat dicapai. Sikap disiplin, kesegaran jasmani dan rohani, keterampilan gerak keterampilan memimpin dan pengembangan sifat kebangsaan, cinta tanah air, semangat nasionalisme, patriotisme dan idealisme serta meningkatkan peran siswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila upacara tersebut dilaksanakan dengan penuh khidmat. Karena upacara salah satu cermin kegiatanyang menimbulkan rasa nasionalisme, secara kongkrit pada tanggal 17 Agustus 1945 di proklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pertama kali dikibarkannya bendera Sang Merah Putih melalui kegiatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Artinya upacara mempunyai peran yang sangat penting karena melihat pada sejarah para pahlawan yang telah merebut bangsa Indonesia dari tangan para penjajah kurang lebih tiga abad setengah. Sekarang para pelajar khususnya untuk mengisi kemerdekaan dengan cara melaksanakan yang diatas sebagai bentuk penghargaan kepada jasa pahlawan dan ekspresi cinta pada bangsa.
Namun ironisnya, masih banyak sekali permasalahan di indonesia yang berawal dari kerusakan moral anak bangsa yang berdampak memperburuk Citra bangsa indonesia. Seharusnya ini tidak akan terjadi apabila rasa Nasionalisme tertanam dengan baik di jiwa semua bangsa indonesia.
Bukanlah kesalahan dari makna pelaksaan upacara, namun dengan pelaksaan upacara bendera di setiap sekolah, diharapkan dapat lebih menumbuhkan rasa nasionalisme para calon penerus bangsa, sehingga generasi mendatang dapat lebih mengerti tentang sikap dan sifat luhur berbangsa dan bernegara.
Upacara Bendera pada hari senin di setiap sekolah seharusnya lebih menekankan pesan pesan moral tentang sifat dan sikap luhur berbangsa dan bernegara. Sambutan yang di berikan oleh pembina upacara seharusnya juga lebih bersifat kepada pendidikan moral yang berasaskan pancasila. Paling tidak para siswa dapat mengetahui tentang makna pelaksaan upacara, sehingga rasa Nasionalisme terhadap sebuah bangsa dapat tertanam melalui pelaksaan upacara bendera. Dan pelaksanaan upacara akan sampai pada tujuan awalnya, yaitu sarana menanamkan rasa persatuan, kesatuan bangsa, serta menumbuhkan rasa Nasionalisme berbangsa dan bernegara.
Sabtu, 07 Mei 2011
MAKALAH MEDIA AUDIO, VISUAL DAN AUDIO VISUAL
MAKALAH
MEDIA AUDIO, VISUAL DAN AUDIO VISUAL
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah Media Pembelajaran
Di susun Oleh :
AHMAD SUANDI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)ARRAHMANIAH
Serang 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya media yang banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah media komunikasi. Oleh karena itu dalam pembahasan taksonomi ini akan digunakan taksonomi
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian ini. Salah satu cara diantaranya ialah dengan menekankan pada teknik yang dipergunakan dalam pembuatan media tersebut. Sebagai contoh, seperti gambar, fotografi, rekaman audio, dan sebagainya. Ada pula yang dilihat dari cara yang dipergunakan untuk mengirimkan pesan. Contoh, ada penyampaian yang disampaikan melalui siaran televisi dan melalui optik. Berbagai bentuk presentasi media yang kita terima, membuat kita sadar bahwa kita menerima informasi dalam bentuk tertentu. Pesan-pesan tersebut dapat berupa bahan cetakan, bunyi, bahan visual, gerakan, atau kombinasi dari berbagai bentuk informasi ini.
Masih banyak ciri yang membedakan media yang satu dengan yang lain, sehingga tidaklah mudah untuk menyusun klasifikasi tunggal yang mencakup semua jenis media. Faktor lain yang juga mempersulit klasifikasi ini ialah untuk menentukan apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk media. Sebagai contoh, beberapa ahli membedakan antara media komunikasi dan alat bantu komunikasi. Yang menjadi dasar utama dari pembedaan ini ialah apakah suatu sarana komunikasi dapat menyampaikan program secara lengkap atau tidak. Berdasarkan pembedaan ini, film dapat digolongkan sebagai media, karena film dapat menyampaikan pesan yang lengkap selama waktu putarnya. Sedangkan overhead transparansi (OHT) digolongkan sebagai alat bantu saja, karena OHT tidak dapat berdiri sendiri. Hal tersebut hanya dapat digunakan oleh instruktur untuk membantu menerangkan pembelajarannya. Walaupun pendapat ini masuk akal, tetapi di sini kita akan membahas media dalam perspektif yang lebih luas, yaitu semua alat atau bahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran, sesuai dengan pengertian media pembelajaran sebelumnya (di bagian depan).
Selain alat-alat pembelajaran yang sederhana, masih ada beberapa teknik atau sistem pembelajaran yang sedemikian kompleks, sehingga jauh melebihi pengertian media yang biasa kita gunakan. Sebagai contoh, simulator, pengajaran dengan bantuan komputer, mesin pembelajaran, dan permainan pendidikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan suatu sistem klasifikas yang dapat mencakup berbagai macam sarana komunikasi, kita harus menggunakan pandangan yang lluas mengenai pengertian media, yaitu dengan memasukkan segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh seorang instruktur untuk meningkatkan pembelajaran.
BAB II PEMBAHASAN
TENTANG PEMBELAJARAN DALAM BENTUK MEDIA AUDIO, VISUAL
DAN AUDIO VISUAL
A. Media Pendidikan dan Proses Pembelajaran
Dalam pembelajaran pada hakekatnya terdapat dua proses yang saling keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu samal lain, yaitu proses belajar dan proses mengajar. Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja terlepas dari ada yang mengajar atau tidak. Proses belajar terjadi karena adanya interaksiindividu dengan lingkungannya. Apabila mengajar kita pandang sebagai kegiatan atau proses yang terarah dan terencana yang mengusahakan agar terjadi proses belajar pada diri seseorang maka pendapat bahwa seseorang belajar karena ada yang mengajar tidaklah benar.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang yang berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik)maupun menyangkut nilai dan siakp (afektif).
Kalau dilihat dari sejarah perkembangan profesi guru, tugas mengajar sebenarnya adalah pelimpahan dari tugas orang tua, karena tidak mampu lagi memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap tertentu sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan berkembnagnya ilmu pengetahuan, teknologi dan berkembangnya masyarakat serta budaya pada umumnya, maka berkembang pulalah tugas dan peranan guru seiring dengan berkembangnya jumlah anak yang memerlukan pendidikan.
Pada zaman Socrates, ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswanya adalah hasil penemuan atau daya pikir Socrates sendiri. Perkembangan selanjutnyamembuktikan bahwa situasi semacam itu tidak mungkin untuk dipertahankan. Suatu proses belajar mengajar akan lebih efektif apabila ada media.
atau alat yang mendukungnya seperti film atau video dan sebagainya. Hal itu akan lebih konkret dari pada pemaparan secara verbal.
Kegunaan media pendidikan dalam proses belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis/lisan)
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra, misalnya:
1. Objek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar atau model.
2. Objek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai atau gambar.
3. Kejadian/peristiwa yang terjadi di masal lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film dan video.
4. Objek yang terlalu kompleks (misalnya desain mesin) dapat disajikan dengan model dan diagram.
5. Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim) dapat divisualkan dalam bentuk film.
c. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dalam hal ini:
1. Menimbulkan kegairahan dalam belajar
2. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan
3. Memungkinkan anak didik belajar sendiri menurut kemmapuan dan minatnya.
B. Alat-Alat Dalam Teknologi Pembelajaran/Pendidikan
Banyak tokoh pendidikan, seperti Thorndike, Crowder, dan sebagainya. Kemajuan yang dicapai manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi membuatnya berkembang semakin cepat. Dalam rangka kegiatan pendidikan ada beberapa media yang dipergunakan, mulai yang paling sederhana sampai kepada yang tyercanggih. Beberapa alat teknologi pendidikan yang dimaksudkan antara lain:
a. Papan Tulis
b. Bulletin Board dan Display
c. Televisi siaran
d. Tele blackboard
e. Overhead Projector (OHP)
C. Media Berbentuk Audio, Visual dan Audio Visual
1. Media audio
adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan atau informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif yang berupa kata-kata, musik, dan sound effect.
MEDIA RADIO
Radio adalah media audio uang penyampaian pesannya dilakukan melalui pancaran gelombang elektromagnetik dari suatu pemancar. Pemberi pesan (penyiar) secara langsung dapat mengkomunikasikan pesan atau informasi melalui suatu alat (microfon) yang kemudian diolah dan dipancarkan ke segenap penjuru melalui gelombang elektromagnetik dan penerima pesan (pendengar) menerima pesan atau informasi tersebut dari pesawat radio di rumah-rumah atau para siswa mendengarkannya di kelas-kelas.
Kelebihan Media Radio
a. Memiliki variasi program yang cukup banyak.
b. Sifatnya mobile, karena mudah dipindah-pindah tempat dan gelombangnya.
c. Baik untuk mengembangkan imajinasi siswa.
Kelemahan Media Radio
a. Sifat komunikasinya hanya satu arah (one way communication).
b. Jika siarannya monoton akan lebih cepat membosankan siswa untuk mendengarkannya.
c. Program siarannya selintas, sehingga tidak bisa diulang-ulang dan disesuaikan dengan kemampuan belajar siswa secara individual.
MEDIA ALAT PEREKAM PITA MAGNETIK
Alat perekam pita magnetik atau kaset tape recorder adalah media yang menyajikan pesannya melalui proses perekaman kaset audio. Tidak seperti radio yang menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai alat pemancarannya.
Kelebihan Media Alat Perekam Pita Magnetik
a. Pita rekaman dapat diputar berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan siswa.
b. Rekaman dapat dihapus dan digunakan kembali.
c. Mengembangkan daya imajinasi siswa.
Kelemahan Media Alat Perekam Pita Magnetik
a. Daya jangkauannya terbatas.
b. Biaya penggandaan alatnya relatif lebih mahal dibanding radio.
2. Media visual
adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera penglihatan. Yang termasuk media visual ini adalah media grfais
MEDIA GRAFIS
Media grafis adalah media visual yang menyajikan fakta, ide atau gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka-angka, dan simbol/gambar
Yang termasuk media grafis antara lain :
1. Grafik, yaitu penyajian data berangka melalui perpaduan antara angka, garis, dan simbol.
2. Diagram, yaitu gambaran yang sederhana yang dirancang untuk memperlihatkan hubungan timbal balik yang biasanya disajikan melalui garis-garis simbol.
3. Bagan, yaitu perpaduan sajian kata-kata, garis, dan simbol yang merupakan ringkasan suatu proses, perkembangan, atau hubungan-hubungan penting.
Kelebihan Media Grafis
1. Dapat mempermudah dan mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan.
2. Dapat dilengkapi dengan warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa.
3. Pembuatannya mudah dan harganya murah.
Kelemahan Media Grafis
1. Membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya, terutama untuk grafis yang lebih kompleks.
2. Penyajian pesan hanya berupa unsur visual.
3. Media Audio visual
Media audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indera pendengaran dan indera pengelihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau sedikit memiliki unsur gerak.
Jenis media ini antara lain media sound slide (slide suara), film strip bersuara, dan halaman bersuara.
Kelebihan dan kelemahan media ini tidak jauh berbeda dengan media proyeksi diam. Perbedaannya adalah adanya aspek suara pada media audiovisual diam.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Proses pembelajaran tidaklah harus dengan cara penyampaian langsung dari seorang guru, peran teknologi pembelajaran sangat berfungsi untuk memabantu peserta didiknya dalam memahami materi pelajaran yang akan disampaikan itu akan lebih efektif dan efisien d
2. Teknologi pendidikan/pembelajaran merupakan media yang lahir dari revolusi teknologi komunikasi yang dapat digunakan untuk tujuan pendidikan. Pemanfaatan teknologi komunikasi dalam kegaiatan pendidikan dan teknologi pembelajaran itu sendiri mutlak perlu dalam rangka kegiatan belajar mengajar karena dengan pendekatan ilmiah, sistematis dan rasional, tujuan pendidikan yang efektif dan efisien dapat tercapai.
3. pemanfaatan media pendidikan mempunyai implikasi tertentu dalam proses belajar mengajar, sesuai dengan ciri dan kegunaan masing-masing media tersebut. Teknologi pendidikan itu sendiri menyangkut perangkat keras dan lunak yang dalam prakteknya biasanya saling mengisi.
4. Teknologi pendidikan mempumnyai arti tertentu dalamkegiatan belajar mengajar,seperti pendidikan lebih produktif,memungkinkan pengajaran lebih individual, ilmiah dan luas.
5. Pemanfaatan media teknologi pendidikan yang beraneka ragam itu menuntut keterampilan tersendiri dari para pelaksana pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Azhar, Media Pembelajaran, Rjawali Pers, Jakarta, Cet. 5, 2004.
Djamarah, Syaiful Djamarah, Startegi Belajar Mengajar, Rinekla Cipta, Jakarta, Cet. 2, 2002.
Fatah Syukur, Teknologi pendidikan, Rasail, Semarang, Cet. I, 2005.
MEDIA AUDIO, VISUAL DAN AUDIO VISUAL
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah Media Pembelajaran
Di susun Oleh :
AHMAD SUANDI
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)ARRAHMANIAH
Serang 2011
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya media yang banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah media komunikasi. Oleh karena itu dalam pembahasan taksonomi ini akan digunakan taksonomi
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian ini. Salah satu cara diantaranya ialah dengan menekankan pada teknik yang dipergunakan dalam pembuatan media tersebut. Sebagai contoh, seperti gambar, fotografi, rekaman audio, dan sebagainya. Ada pula yang dilihat dari cara yang dipergunakan untuk mengirimkan pesan. Contoh, ada penyampaian yang disampaikan melalui siaran televisi dan melalui optik. Berbagai bentuk presentasi media yang kita terima, membuat kita sadar bahwa kita menerima informasi dalam bentuk tertentu. Pesan-pesan tersebut dapat berupa bahan cetakan, bunyi, bahan visual, gerakan, atau kombinasi dari berbagai bentuk informasi ini.
Masih banyak ciri yang membedakan media yang satu dengan yang lain, sehingga tidaklah mudah untuk menyusun klasifikasi tunggal yang mencakup semua jenis media. Faktor lain yang juga mempersulit klasifikasi ini ialah untuk menentukan apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk media. Sebagai contoh, beberapa ahli membedakan antara media komunikasi dan alat bantu komunikasi. Yang menjadi dasar utama dari pembedaan ini ialah apakah suatu sarana komunikasi dapat menyampaikan program secara lengkap atau tidak. Berdasarkan pembedaan ini, film dapat digolongkan sebagai media, karena film dapat menyampaikan pesan yang lengkap selama waktu putarnya. Sedangkan overhead transparansi (OHT) digolongkan sebagai alat bantu saja, karena OHT tidak dapat berdiri sendiri. Hal tersebut hanya dapat digunakan oleh instruktur untuk membantu menerangkan pembelajarannya. Walaupun pendapat ini masuk akal, tetapi di sini kita akan membahas media dalam perspektif yang lebih luas, yaitu semua alat atau bahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran, sesuai dengan pengertian media pembelajaran sebelumnya (di bagian depan).
Selain alat-alat pembelajaran yang sederhana, masih ada beberapa teknik atau sistem pembelajaran yang sedemikian kompleks, sehingga jauh melebihi pengertian media yang biasa kita gunakan. Sebagai contoh, simulator, pengajaran dengan bantuan komputer, mesin pembelajaran, dan permainan pendidikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan suatu sistem klasifikas yang dapat mencakup berbagai macam sarana komunikasi, kita harus menggunakan pandangan yang lluas mengenai pengertian media, yaitu dengan memasukkan segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh seorang instruktur untuk meningkatkan pembelajaran.
BAB II PEMBAHASAN
TENTANG PEMBELAJARAN DALAM BENTUK MEDIA AUDIO, VISUAL
DAN AUDIO VISUAL
A. Media Pendidikan dan Proses Pembelajaran
Dalam pembelajaran pada hakekatnya terdapat dua proses yang saling keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu samal lain, yaitu proses belajar dan proses mengajar. Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja terlepas dari ada yang mengajar atau tidak. Proses belajar terjadi karena adanya interaksiindividu dengan lingkungannya. Apabila mengajar kita pandang sebagai kegiatan atau proses yang terarah dan terencana yang mengusahakan agar terjadi proses belajar pada diri seseorang maka pendapat bahwa seseorang belajar karena ada yang mengajar tidaklah benar.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang yang berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik)maupun menyangkut nilai dan siakp (afektif).
Kalau dilihat dari sejarah perkembangan profesi guru, tugas mengajar sebenarnya adalah pelimpahan dari tugas orang tua, karena tidak mampu lagi memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap tertentu sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan berkembnagnya ilmu pengetahuan, teknologi dan berkembangnya masyarakat serta budaya pada umumnya, maka berkembang pulalah tugas dan peranan guru seiring dengan berkembangnya jumlah anak yang memerlukan pendidikan.
Pada zaman Socrates, ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswanya adalah hasil penemuan atau daya pikir Socrates sendiri. Perkembangan selanjutnyamembuktikan bahwa situasi semacam itu tidak mungkin untuk dipertahankan. Suatu proses belajar mengajar akan lebih efektif apabila ada media.
atau alat yang mendukungnya seperti film atau video dan sebagainya. Hal itu akan lebih konkret dari pada pemaparan secara verbal.
Kegunaan media pendidikan dalam proses belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis/lisan)
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra, misalnya:
1. Objek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar atau model.
2. Objek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai atau gambar.
3. Kejadian/peristiwa yang terjadi di masal lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film dan video.
4. Objek yang terlalu kompleks (misalnya desain mesin) dapat disajikan dengan model dan diagram.
5. Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim) dapat divisualkan dalam bentuk film.
c. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dalam hal ini:
1. Menimbulkan kegairahan dalam belajar
2. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan
3. Memungkinkan anak didik belajar sendiri menurut kemmapuan dan minatnya.
B. Alat-Alat Dalam Teknologi Pembelajaran/Pendidikan
Banyak tokoh pendidikan, seperti Thorndike, Crowder, dan sebagainya. Kemajuan yang dicapai manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi membuatnya berkembang semakin cepat. Dalam rangka kegiatan pendidikan ada beberapa media yang dipergunakan, mulai yang paling sederhana sampai kepada yang tyercanggih. Beberapa alat teknologi pendidikan yang dimaksudkan antara lain:
a. Papan Tulis
b. Bulletin Board dan Display
c. Televisi siaran
d. Tele blackboard
e. Overhead Projector (OHP)
C. Media Berbentuk Audio, Visual dan Audio Visual
1. Media audio
adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan atau informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif yang berupa kata-kata, musik, dan sound effect.
MEDIA RADIO
Radio adalah media audio uang penyampaian pesannya dilakukan melalui pancaran gelombang elektromagnetik dari suatu pemancar. Pemberi pesan (penyiar) secara langsung dapat mengkomunikasikan pesan atau informasi melalui suatu alat (microfon) yang kemudian diolah dan dipancarkan ke segenap penjuru melalui gelombang elektromagnetik dan penerima pesan (pendengar) menerima pesan atau informasi tersebut dari pesawat radio di rumah-rumah atau para siswa mendengarkannya di kelas-kelas.
Kelebihan Media Radio
a. Memiliki variasi program yang cukup banyak.
b. Sifatnya mobile, karena mudah dipindah-pindah tempat dan gelombangnya.
c. Baik untuk mengembangkan imajinasi siswa.
Kelemahan Media Radio
a. Sifat komunikasinya hanya satu arah (one way communication).
b. Jika siarannya monoton akan lebih cepat membosankan siswa untuk mendengarkannya.
c. Program siarannya selintas, sehingga tidak bisa diulang-ulang dan disesuaikan dengan kemampuan belajar siswa secara individual.
MEDIA ALAT PEREKAM PITA MAGNETIK
Alat perekam pita magnetik atau kaset tape recorder adalah media yang menyajikan pesannya melalui proses perekaman kaset audio. Tidak seperti radio yang menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai alat pemancarannya.
Kelebihan Media Alat Perekam Pita Magnetik
a. Pita rekaman dapat diputar berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan siswa.
b. Rekaman dapat dihapus dan digunakan kembali.
c. Mengembangkan daya imajinasi siswa.
Kelemahan Media Alat Perekam Pita Magnetik
a. Daya jangkauannya terbatas.
b. Biaya penggandaan alatnya relatif lebih mahal dibanding radio.
2. Media visual
adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera penglihatan. Yang termasuk media visual ini adalah media grfais
MEDIA GRAFIS
Media grafis adalah media visual yang menyajikan fakta, ide atau gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka-angka, dan simbol/gambar
Yang termasuk media grafis antara lain :
1. Grafik, yaitu penyajian data berangka melalui perpaduan antara angka, garis, dan simbol.
2. Diagram, yaitu gambaran yang sederhana yang dirancang untuk memperlihatkan hubungan timbal balik yang biasanya disajikan melalui garis-garis simbol.
3. Bagan, yaitu perpaduan sajian kata-kata, garis, dan simbol yang merupakan ringkasan suatu proses, perkembangan, atau hubungan-hubungan penting.
Kelebihan Media Grafis
1. Dapat mempermudah dan mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan.
2. Dapat dilengkapi dengan warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa.
3. Pembuatannya mudah dan harganya murah.
Kelemahan Media Grafis
1. Membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya, terutama untuk grafis yang lebih kompleks.
2. Penyajian pesan hanya berupa unsur visual.
3. Media Audio visual
Media audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indera pendengaran dan indera pengelihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau sedikit memiliki unsur gerak.
Jenis media ini antara lain media sound slide (slide suara), film strip bersuara, dan halaman bersuara.
Kelebihan dan kelemahan media ini tidak jauh berbeda dengan media proyeksi diam. Perbedaannya adalah adanya aspek suara pada media audiovisual diam.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Proses pembelajaran tidaklah harus dengan cara penyampaian langsung dari seorang guru, peran teknologi pembelajaran sangat berfungsi untuk memabantu peserta didiknya dalam memahami materi pelajaran yang akan disampaikan itu akan lebih efektif dan efisien d
2. Teknologi pendidikan/pembelajaran merupakan media yang lahir dari revolusi teknologi komunikasi yang dapat digunakan untuk tujuan pendidikan. Pemanfaatan teknologi komunikasi dalam kegaiatan pendidikan dan teknologi pembelajaran itu sendiri mutlak perlu dalam rangka kegiatan belajar mengajar karena dengan pendekatan ilmiah, sistematis dan rasional, tujuan pendidikan yang efektif dan efisien dapat tercapai.
3. pemanfaatan media pendidikan mempunyai implikasi tertentu dalam proses belajar mengajar, sesuai dengan ciri dan kegunaan masing-masing media tersebut. Teknologi pendidikan itu sendiri menyangkut perangkat keras dan lunak yang dalam prakteknya biasanya saling mengisi.
4. Teknologi pendidikan mempumnyai arti tertentu dalamkegiatan belajar mengajar,seperti pendidikan lebih produktif,memungkinkan pengajaran lebih individual, ilmiah dan luas.
5. Pemanfaatan media teknologi pendidikan yang beraneka ragam itu menuntut keterampilan tersendiri dari para pelaksana pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad Azhar, Media Pembelajaran, Rjawali Pers, Jakarta, Cet. 5, 2004.
Djamarah, Syaiful Djamarah, Startegi Belajar Mengajar, Rinekla Cipta, Jakarta, Cet. 2, 2002.
Fatah Syukur, Teknologi pendidikan, Rasail, Semarang, Cet. I, 2005.
PRINSIP DAN TUJUAN HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Pengejawantahan syari’at Islam atas dua sumber utama dan pertama syari’at Islam. Dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. Eksistensi syari’at Islam yang konsisten/ajeg pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manisia.
Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sbg paradigmanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka orang Islam (khususnya para alim ulama Islam Umum seluruh umat Islam) dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh dan yang namanya fiqh itu senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.
Namun dengan adanya fleksibelitas dalam syari‟at Islam dan tuntutan bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi per-kembangan kehidupan ummat, bukan berarti atau dimaksudkan ajaran Islam, terutama fiqh (hukum) nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas menginterpretasikan Al-Qur‟an dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia --- sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser ke-qath‟i-an Al-Qur‟an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih tuntutan humanisme.
Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman.
BAB II
PRINSIP DAN TUJUAN HUKUM ISLAM
A. Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip (al-mabda`) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam.
Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetepan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya
Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda.
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam .
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
2. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
5. Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
6. Prinsip At-Ta`awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya --- tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam . Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja, tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya .
B. Ciri-Ciri Hukum Islam
Ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lin adalah :
1. Hukum Islam berdasar atas wahyyu Allah Swt, yang terdapat dalam al-Qur`an dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
3. Hukum Islam bersifat universal (alami)
4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan di akherat kelak.
5. Hukum Islam mengarah kepada jama`iyah (kebersamaan).
6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
C. Sendi-Sendi Hukum Islam
Hukum Islam dibangun di atas sendi-sendi atau tiang-tiang pokoknya (da`a imut tasyri`). Sendi-sendi itu adalah :
1. Hukum Islam mewujudkan dan menegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manuisa (tahqiq al-`adalat)
2. Hukum Islam memelihara dan mewujudkan kemalahatan seluruh umat manusia (ri`ayat mashalih al-ummat)
3. Hukum Islam tidak membanyakan (mensedikitkan)beban dan menghindarkan (menghilangkan) kesulitan (Qillat al-taklif, nafyu al-haraj waraf`u al-masyarakat)
4. Pembebaban yang bertahap
5. Masing-masing orang hanya memikul dosanya sendiri.
D. Tujuan Hukum Islam
Allah Swt menurunkan syariat (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep hukum di luar Islam yang hanya ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia selaku anggota masyarakat (odening van het social eleven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, bahwa hukum itu sebagai hasil proses kehidupan manusia bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cicero, bahwa Ubi Societas Ibi Ius, (di mana ada masyarakat di sana ada hukum).
Hukum yang menjadi penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.Setiap keberadaan hokum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum.Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu. Manusia berharap pada beberapa hal-hal berikut:
a. Kemaslahatan hidup bagi diri orang lain
b. Menegakkan keadilan
c. Persamaan hak dan kewajipan dalam hukum
d. Saling control dalam masyarakat
e. Kebebasan berekpresi,berpendapat,bertindak dengan tidak melebihi batasan hukum.
f. Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab
Apabila satu minit sahaja kehidupan sosial tidak terjamin oleh hokum yang kuat,masyarakat dengan semua komponannya akan rosak,karena seminit tanpa adanya jaminan hukum bagaikan adanya bencana yang melanda dalam sesuatu masyarakat tersebut.
Asas legalitas sebagai pokok dari hidup dan berlakunya hokum .Yang berbahaya lagi adalah memendan hukum tidak berguna lagi karena keberpehakan hukum kepada keadilan dan persamaan hak sehingga masyarakat kurang percaya kepada hukum.
Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan,tetapi yang menegakkan keadilan bukan teks-teks hokum,melainkan manusia yang meneria sebutan hakim,pengacara penguasa hukum,penegak hukum,polisi dan sebagainya. Identitas hukum Islam adalah adil,member rahmat dan mengandungi hikmah yang banyak bagi kehidupan. Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan kezaliman,tidak member rasa keadilan,jauh dari rahmat,menciptakan kemafsadatan bukan merupakan tujuan hokum Islam. Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupon di akhirat.Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:
a. Memelihara Agama
b. Memelihara Jiwa
c. Memelihara Akal
d. Memelihara Keturunan
e. Memelihara Kekeyaan
Lima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
a. Dharuriyyat
b. Hijayyat
c. Tahsiniyyat
Peringkat Dharuriyyat menepati urutan yang pertama,disusuli dengan peringkat yang ke dua yaitu Hijiyyat dan dilengkapi dengan yang terakhir sekali ialah Tahsiniyyat.
Yang dimaksudkan dengan Dharuriyyat adalah memelihara segala kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
Yang dimaksudkan dengan Hijiyyat adalah tidak termasuk dlam kebutuhan-kebutuhan yang esensial,melainkan kebutuhan yangdapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup mereka. Dimaksudkan pula dengan Tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan mertanat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya,sesuai dengan kepatutan.
Kesimpulannya disini ketiga-tiga peringkat yang disebut Dharuriyyat,hijiyyat serta Tahsiniyyat,mampu mewujudkan serta memelihara kelima-lima pokok tersebut.
a. Memelihara Agama (Hifz Ad-Din)
Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya,dapat kita bedekan dengan tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyah: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat primer.
Contoh : Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah
eksestensi agama.
2. Hijiyyat : Melaksanakan ketentuan Agama
Contoh : Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang yang sedangbepergian.
jika tidak dilaksanakan solat tersebut,maka tidak akan mengancam
eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang
yang melakukannya.
3. Tahsiniyyat : Mengikuti petunjuk agama.
Contoh : Menutup aurat.baik di dalam maupon diluar solat,membersihkan
badan,pakaian dan tempat.Kegiatan ini tidak sama sekali mengancan
eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.
b. Memelihara Jiwa (Hifz An-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyat : Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup.Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi
jiwa manusia.
2. Hijiyyat : sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan
yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam
eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
3. Tahsiniyyat : Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini
hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidakmengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan kehidupan seseorang.
c. Memelihara Akal (Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyat: Diharamkan meminum minuman keras jika tidak diindahkan maka akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
2. Hijiyyat : Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
3. Tahsiniyyat : Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya eksestensi akal secara langsung.
d. Memelihara Keturunan (Hifz An-Nasl)
1. Dharuriyyat: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka eksestensi keturunannya akan terancam.
2. Hijiyyat : Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad
nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada
waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan,kerana suami
harus membayar mahar misl.
3. Tahsiniyyat : Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
e. Memelihara Harta (Hifz Al-Mal)
1. Dharuriyat : Tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain.Jika diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi harta.
2. Hijiyyat : Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam,
Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.
3. Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal ini erat
Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis.
BAB III
PENUTUP
Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan asas dan tujuan hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali, sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman. Maka dengan itu penyusun dapat simpulkan dari berbagai pokok permasalahan yaitu:
1. Tujuan Hukum Islam yaitu sebagai penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum. Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu sebagai panduan dalam hidupnya yaitu al-Qur`an dan As-Sunah-Nya.
2. Prinsip-prinsip hukum Islam meliputi prinsip tauhid yaitu mengesakan Allah, prinsip keadilan, prinsip amar ma`ruf nahi munkar, prinsip kebebasan, prinsip persamaan, prinsif at-ta`awun (tolong menolong) dan prinsip toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996.
Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1958.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.
M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 .
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.
Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993..
.
PENDAHULUAN
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Pengejawantahan syari’at Islam atas dua sumber utama dan pertama syari’at Islam. Dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. Eksistensi syari’at Islam yang konsisten/ajeg pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manisia.
Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sbg paradigmanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka orang Islam (khususnya para alim ulama Islam Umum seluruh umat Islam) dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh dan yang namanya fiqh itu senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.
Namun dengan adanya fleksibelitas dalam syari‟at Islam dan tuntutan bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi per-kembangan kehidupan ummat, bukan berarti atau dimaksudkan ajaran Islam, terutama fiqh (hukum) nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas menginterpretasikan Al-Qur‟an dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia --- sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser ke-qath‟i-an Al-Qur‟an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih tuntutan humanisme.
Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman.
BAB II
PRINSIP DAN TUJUAN HUKUM ISLAM
A. Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip (al-mabda`) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam.
Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetepan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya
Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda.
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam .
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
2. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
5. Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
6. Prinsip At-Ta`awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya --- tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam . Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja, tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya .
B. Ciri-Ciri Hukum Islam
Ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lin adalah :
1. Hukum Islam berdasar atas wahyyu Allah Swt, yang terdapat dalam al-Qur`an dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
3. Hukum Islam bersifat universal (alami)
4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan di akherat kelak.
5. Hukum Islam mengarah kepada jama`iyah (kebersamaan).
6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
C. Sendi-Sendi Hukum Islam
Hukum Islam dibangun di atas sendi-sendi atau tiang-tiang pokoknya (da`a imut tasyri`). Sendi-sendi itu adalah :
1. Hukum Islam mewujudkan dan menegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manuisa (tahqiq al-`adalat)
2. Hukum Islam memelihara dan mewujudkan kemalahatan seluruh umat manusia (ri`ayat mashalih al-ummat)
3. Hukum Islam tidak membanyakan (mensedikitkan)beban dan menghindarkan (menghilangkan) kesulitan (Qillat al-taklif, nafyu al-haraj waraf`u al-masyarakat)
4. Pembebaban yang bertahap
5. Masing-masing orang hanya memikul dosanya sendiri.
D. Tujuan Hukum Islam
Allah Swt menurunkan syariat (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep hukum di luar Islam yang hanya ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia selaku anggota masyarakat (odening van het social eleven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, bahwa hukum itu sebagai hasil proses kehidupan manusia bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cicero, bahwa Ubi Societas Ibi Ius, (di mana ada masyarakat di sana ada hukum).
Hukum yang menjadi penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.Setiap keberadaan hokum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum.Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu. Manusia berharap pada beberapa hal-hal berikut:
a. Kemaslahatan hidup bagi diri orang lain
b. Menegakkan keadilan
c. Persamaan hak dan kewajipan dalam hukum
d. Saling control dalam masyarakat
e. Kebebasan berekpresi,berpendapat,bertindak dengan tidak melebihi batasan hukum.
f. Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab
Apabila satu minit sahaja kehidupan sosial tidak terjamin oleh hokum yang kuat,masyarakat dengan semua komponannya akan rosak,karena seminit tanpa adanya jaminan hukum bagaikan adanya bencana yang melanda dalam sesuatu masyarakat tersebut.
Asas legalitas sebagai pokok dari hidup dan berlakunya hokum .Yang berbahaya lagi adalah memendan hukum tidak berguna lagi karena keberpehakan hukum kepada keadilan dan persamaan hak sehingga masyarakat kurang percaya kepada hukum.
Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan,tetapi yang menegakkan keadilan bukan teks-teks hokum,melainkan manusia yang meneria sebutan hakim,pengacara penguasa hukum,penegak hukum,polisi dan sebagainya. Identitas hukum Islam adalah adil,member rahmat dan mengandungi hikmah yang banyak bagi kehidupan. Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan kezaliman,tidak member rasa keadilan,jauh dari rahmat,menciptakan kemafsadatan bukan merupakan tujuan hokum Islam. Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupon di akhirat.Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:
a. Memelihara Agama
b. Memelihara Jiwa
c. Memelihara Akal
d. Memelihara Keturunan
e. Memelihara Kekeyaan
Lima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
a. Dharuriyyat
b. Hijayyat
c. Tahsiniyyat
Peringkat Dharuriyyat menepati urutan yang pertama,disusuli dengan peringkat yang ke dua yaitu Hijiyyat dan dilengkapi dengan yang terakhir sekali ialah Tahsiniyyat.
Yang dimaksudkan dengan Dharuriyyat adalah memelihara segala kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
Yang dimaksudkan dengan Hijiyyat adalah tidak termasuk dlam kebutuhan-kebutuhan yang esensial,melainkan kebutuhan yangdapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup mereka. Dimaksudkan pula dengan Tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan mertanat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya,sesuai dengan kepatutan.
Kesimpulannya disini ketiga-tiga peringkat yang disebut Dharuriyyat,hijiyyat serta Tahsiniyyat,mampu mewujudkan serta memelihara kelima-lima pokok tersebut.
a. Memelihara Agama (Hifz Ad-Din)
Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya,dapat kita bedekan dengan tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyah: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat primer.
Contoh : Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah
eksestensi agama.
2. Hijiyyat : Melaksanakan ketentuan Agama
Contoh : Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang yang sedangbepergian.
jika tidak dilaksanakan solat tersebut,maka tidak akan mengancam
eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang
yang melakukannya.
3. Tahsiniyyat : Mengikuti petunjuk agama.
Contoh : Menutup aurat.baik di dalam maupon diluar solat,membersihkan
badan,pakaian dan tempat.Kegiatan ini tidak sama sekali mengancan
eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.
b. Memelihara Jiwa (Hifz An-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyat : Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup.Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi
jiwa manusia.
2. Hijiyyat : sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan
yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam
eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
3. Tahsiniyyat : Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini
hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidakmengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan kehidupan seseorang.
c. Memelihara Akal (Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyat: Diharamkan meminum minuman keras jika tidak diindahkan maka akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
2. Hijiyyat : Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
3. Tahsiniyyat : Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya eksestensi akal secara langsung.
d. Memelihara Keturunan (Hifz An-Nasl)
1. Dharuriyyat: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka eksestensi keturunannya akan terancam.
2. Hijiyyat : Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad
nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada
waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan,kerana suami
harus membayar mahar misl.
3. Tahsiniyyat : Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
e. Memelihara Harta (Hifz Al-Mal)
1. Dharuriyat : Tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain.Jika diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi harta.
2. Hijiyyat : Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam,
Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.
3. Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal ini erat
Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis.
BAB III
PENUTUP
Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan asas dan tujuan hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali, sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman. Maka dengan itu penyusun dapat simpulkan dari berbagai pokok permasalahan yaitu:
1. Tujuan Hukum Islam yaitu sebagai penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum. Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu sebagai panduan dalam hidupnya yaitu al-Qur`an dan As-Sunah-Nya.
2. Prinsip-prinsip hukum Islam meliputi prinsip tauhid yaitu mengesakan Allah, prinsip keadilan, prinsip amar ma`ruf nahi munkar, prinsip kebebasan, prinsip persamaan, prinsif at-ta`awun (tolong menolong) dan prinsip toleransi.
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996.
Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1958.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.
M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 .
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.
Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.
Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993..
.
Makalah Hukum Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum.
Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Sunnah.
Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia, sebgaimana terdapat di dalam sumber dalil hukum Islam, Al-Qur`an, hadits, Ijma dam Qiyas tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengemabangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokrtais, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, menutamakan persaudaraan, berkhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
Dengan rujukan diatas tadi dapat dikembangkan bahwa dalil atau sumber hukum Islam itu merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah Al-Adillah al-Syari`iyyah Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum atau dalil dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahabi syar`u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara`i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan metode ijtihad, keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN TENTANG DALIL HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Teoritis Dalil Hukum Islam
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah. Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah yang menjadi sumber dalam syariat.
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana. Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.
Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.
Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.
Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.
Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).
Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.
Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.
Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah. Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash. Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.
Madzhab Al-Shahabiy berarti praktek dan pendapat para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli (penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.
Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada segenap relung-relung syariat.
Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.
Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat muhakkamat.
Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid (khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i. Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid tersebut.
Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi. Dari sekian banyaknya dalil hukum Islam yang telah diuraikan secara singkat diatas tadi maka keempat dalil hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) yaitu diantaranya:
B. Al-Qur`an
1. Pengertian Al-Qur`an
Sumber hukum yang seklaigus sebagai dalil hukum yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah yang diturnunkan kepada nabi Muhammad Saw dikenal dengan nama:
1. Al-Qur`an artinya bacaan mulia, sebagaimana disebutkan dalam QD. Al-Qiyamah ayat 17, 18; QS. Al-Isra` ayat 88, QS. Al-Baqarah ayat 85, dan seterusnya.
2. Al-Kitab atau Kitabullah artinya kitab suci, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, QS. al-An`am ayat 114
3. Al-Furqon, yang artinya pembeda yang membedakan antara yang benar dengan yang batil, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Furqon ayat 1
4. Al-Dzikir, artinya peringatan, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Hijr ayat 9. Menuut para ulama nama lain terhadap al-Qur`an al-Mubin, al-Kalam, dan An-Nur.
Para ulama memberikan definisi tentang al-Qur`an sebagai kalamullah (firman Allah)yang mengandung mu`jizat diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Adapun pengertian al-Qur`an yang lain yaitu secara bahasa berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersaebut dalam ayat 17, 18 surat al-Qiyamah. Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya.”
Kemudian dipakai kata “Quran” itu untuk al-Quran yang hingga sekarang ini. Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli Fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ,ibadah”
Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur`an dengan: “Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah."
Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu di antara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa “al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat”.
Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qaththan di atas
2. Garis Besar Isi Al-Qur`an
a. tauhid kepercayaan kepada Allah swt, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul, hari kiamat/kemudian, serta qada dan qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perubahan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman: al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang menerima dan mengamalkan isi al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa
d. Hukum : yang dihajati pergaulan hidup untuk kebahagiaan dunia akhirat.
e. Inti sejarah, orang-orang yang tunduk kepada Allah swt, yaitu orang-orang yang shalih seperti nabi-nabi, dan rasul-rasul juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah Swt dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak
3. Dasar Hukum Al-Qur`an
Al-Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Dalam mengadakan perintah dan larangan, al-Qur'an selalu berpedoman kepada dua hal yaitu: (1) tidak membedakan, dan (2) berangsur-angsur
4. Kehujjahan Al-Qur`an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur`an adalah sumber hukum dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah Swt, dan wajib diamalkan oleh manusia. Seorang mujtahid tidk dibenarkan menjadikan dalil sebagai hujjah (landasan hukum)sebelum ia membalas dan meneliti ayat al-Qur`an. Apabila suatu masalah yang ia cari tidak ditemukan dalam al-Qur`an, maka barulah ia mempergunakan dalil lain.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjad dengan al-Qur`an adalah:
a. Al-Qur`an diturunkan kepada Rasulullah Saw, diketahui secara mutawatir, hal ini memberi keyakinan bahwa al-Qur`an itu benar dating dari Allah Swt, melalui malaikat Jibril kepada Muhammad Saw, yang dikenal dengan orang yang paling dipercaya.
b. Ayat-ayat al-Qur`an menyatakan bahwa al-Qur`an itu dating dari Allah Swt.
c. Kemu`jizatan al-Qur`an merupakan dalil akan kebenaran bahwa al-Qur`an itu
C. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur`an yaitu sunnah, Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukanya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar menjelaskan hukum Al-Qur’an tidak diragukan lagi, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Dalam kedudukannya sebagai sumber yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar yang tersebut dalam Al-Qur’an dipertanyakan oleh ulama Ushul Fiqh. Karena ini disebabkan oleh keterangan Allah sendiri bahwa Al-Qur’an atau agama sudah sempurna karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sunnah.
Pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkannya, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Adapun pengertian sunnah secara istilah,dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah Saw, sebagai berikut:
Artinya:
"Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang sesudahnya yang mengamalkannya." (H.R. Muslim)
Adapun pengertian sunnah secara istilah (dalam istilah syari`ah), sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu;
1. Sunnah menuurt ilmu ushul fiqih, yaitu segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum".
2. Sunah menurut ilmu fiqih, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukun taklifi, yang mengandung pengertian"perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa(tidak berdosa)".
3. Istilah sunnah menuurt ilmu hadits, biasanya digunakan hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw jadi sunah menuurt ilmu hadits adalah segala perbuatan, perkataan maupun ketetapan Nabi.
2. Macam-macam Sunnah
Berdasatkan definisi sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadirnal-ahkam)dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat disimpulkan sebagai perintah larangan melalui contoh teladan beliau seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.
b. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan atau ucapan dari Rasul yang didengar oleh dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
c. Sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang perkataan maupun perbuatan, atau sepengetahuan Nabi Saw; tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegah dari nabi Nabisaw ini, menunjukan persetujuan Nabi Saw (taqrir), terhadap perbuatan sahabat tersebut . Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat. Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada, salah seorang dari keduanya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata: engkau mendapat pahala dua kali.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
b. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
c. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4. Kehujjahan Sunnah
Peran As Sunnah dalam syariah menjadi sumber hukum kedua setelah al –Qur`an. Dengan demikian As Sunnah wajib dijadikan dalil syar’i sama dengan al- Qur`an dikarenakan adanya dalil-dalil yang tegas menunjuk hal dimaksud.
Dalil-dalil al-Qur`an dengan sharih, gamblang, menegaskan bahwa Sunnah adalah wahyu sebagaimana al-Qur`an. Adapula dalil yang memerintahkan taat dan tunduk mengikuti as sunnah. Ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Surah An Nisa’: 59.
Artinya"
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
3. Surah Muhammad: 33
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu".
D. I j m a`
1. Pengertian Ijma`
Secara etimologis ijma` berarti n"keepakatan"atau konsesus". Sedangkan secara terminologis ijma` adalah" kesepakatan para mujtahid dari Umat Muhammad Saw, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw, tentang suatu hukum syara"
Secara terminologi ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibnu Siyar al Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang”, akan tetapi rumusan al Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi diatas.
2. Macam-macam Ijma`
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan, ulama membagi ijma` menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Ijma` Sharih
Ijma` sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam siding (pertemuan)setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibhas. Ijma` seperti ini, menurut jumhur ulamabisa dijadikan hujjah (landasan hukum)
b. Ijma` Sukuti
Ijma` sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Terhadap ijma` sukuti ini terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan apakah kesepakatan yang seperti itu dikatakan ijma` dan bias dijadikan hujjah. Jumhur (sebagian besar)ulama berpendapat bahwa ijma`, dan tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).
3. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima:
a. Yang terikat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid, apabila ada di antara mujtahid ada yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
d. Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang bersifat ktual dan
e. tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an
4. Kemungkinan terjadinya Ijma’
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
5. Beberapa contoh Ijma`
Beberapa contoh masalah yang sudah disepakati hukumnya oleh para ulama, artinya mereka sudah ijma` yaitu:
a. bagian dua orang anak perempuan sebagai ahli waris, sebesar 2/3 bagian
b. kesaksian seseorang terhadap saudaranya, apabila ia adil, adalah boleh.
c. Lemak babi adalah haram, diqiyakan dengan haramnya daging babi.
E. Q i y a s
1. Pengertian Qiyas
Dasar hukum yang keempat ialah Qiyas. Qiyas dipergunakan untuk memantapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, qiyas secara bahasa ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain sedangkan menuurt istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnnya di dalam nash (al-Qur`an atau Sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan `illat hukum antara keduanya.
Adapun qiyas menurut pandangan ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
2. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
3. Beberapa contoh Qiyas
Beberapa contoh penetapan hukum berdasakan qiyas antara lain:
a. mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan membakar harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim secara tidak benar
b. mengqiyaskan (menyamakan) hukum mlarangan minum nabidz(minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur)kepada khamar yang dilarang oleh nash, illatnya kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan kuat kepada yang meminumnya.
c. Mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan melakukan setiap perbuatan apa saja, dengan larangan perbuatan melakukan jual beli ketika waktu panggilan shalat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1. Ulama’ sepakat bahwa sumber- sumber hukum islam yang bisa kita jadikan hujjah adalah Al-qur’an ,hadis ,ijma’ dan qiyas. Alasannya karena al-qur’an dan hadis yang menjadi sumber hukum islam yang utama tidak ada lagi setelah rasullullah SAW. wafat padahal sejalan dengan perioderisasi manusia yang semakin berkembang maka permasalahan barupun ikut-ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang disepakati oleh sahabat sebagai sumber hukum sehingga menjadi ijma’ dan mengqiyaskan hukum yang yang tidak ada dalam al-quran ,hadis dan ijma’ untuk menyelesaikan hukum permasalahan baru.
2. Al-Qur`an merupakan umber atau dalil hukum yang utama karena al-Qur`an berasal dari Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya melalui Malaikat Jibril
3. Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
4. Sedangkan ijma` dan qiyas juga adalah sebagai dalil hukum yang berasal dari para ulama (jumhur ulma) atas dasar kesepakatan hasil dari para mujtahidnya untuk memantapkan dasar-dasar hukum yang belum ada pada al-Qur`an dan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Prof, Dr, MA, Metedologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009,
Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996,
Sulaiman Rasjid, H, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009, cet. ke-44
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.
Rahmat Syafe`I, Prof. Dr. , Fiqih Islam, Prof, Dr, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007, cet. ke- 3.
PENDAHULUAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum.
Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Sunnah.
Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia, sebgaimana terdapat di dalam sumber dalil hukum Islam, Al-Qur`an, hadits, Ijma dam Qiyas tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengemabangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokrtais, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, menutamakan persaudaraan, berkhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
Dengan rujukan diatas tadi dapat dikembangkan bahwa dalil atau sumber hukum Islam itu merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah Al-Adillah al-Syari`iyyah Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum atau dalil dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahabi syar`u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara`i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan metode ijtihad, keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN TENTANG DALIL HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Teoritis Dalil Hukum Islam
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah. Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah yang menjadi sumber dalam syariat.
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana. Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.
Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.
Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.
Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.
Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).
Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.
Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.
Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah. Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash. Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.
Madzhab Al-Shahabiy berarti praktek dan pendapat para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli (penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.
Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada segenap relung-relung syariat.
Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.
Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat muhakkamat.
Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid (khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i. Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid tersebut.
Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi. Dari sekian banyaknya dalil hukum Islam yang telah diuraikan secara singkat diatas tadi maka keempat dalil hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) yaitu diantaranya:
B. Al-Qur`an
1. Pengertian Al-Qur`an
Sumber hukum yang seklaigus sebagai dalil hukum yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah yang diturnunkan kepada nabi Muhammad Saw dikenal dengan nama:
1. Al-Qur`an artinya bacaan mulia, sebagaimana disebutkan dalam QD. Al-Qiyamah ayat 17, 18; QS. Al-Isra` ayat 88, QS. Al-Baqarah ayat 85, dan seterusnya.
2. Al-Kitab atau Kitabullah artinya kitab suci, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, QS. al-An`am ayat 114
3. Al-Furqon, yang artinya pembeda yang membedakan antara yang benar dengan yang batil, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Furqon ayat 1
4. Al-Dzikir, artinya peringatan, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Hijr ayat 9. Menuut para ulama nama lain terhadap al-Qur`an al-Mubin, al-Kalam, dan An-Nur.
Para ulama memberikan definisi tentang al-Qur`an sebagai kalamullah (firman Allah)yang mengandung mu`jizat diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Adapun pengertian al-Qur`an yang lain yaitu secara bahasa berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersaebut dalam ayat 17, 18 surat al-Qiyamah. Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya.”
Kemudian dipakai kata “Quran” itu untuk al-Quran yang hingga sekarang ini. Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli Fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ,ibadah”
Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur`an dengan: “Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah."
Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu di antara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa “al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat”.
Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qaththan di atas
2. Garis Besar Isi Al-Qur`an
a. tauhid kepercayaan kepada Allah swt, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul, hari kiamat/kemudian, serta qada dan qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perubahan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman: al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang menerima dan mengamalkan isi al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa
d. Hukum : yang dihajati pergaulan hidup untuk kebahagiaan dunia akhirat.
e. Inti sejarah, orang-orang yang tunduk kepada Allah swt, yaitu orang-orang yang shalih seperti nabi-nabi, dan rasul-rasul juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah Swt dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak
3. Dasar Hukum Al-Qur`an
Al-Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Dalam mengadakan perintah dan larangan, al-Qur'an selalu berpedoman kepada dua hal yaitu: (1) tidak membedakan, dan (2) berangsur-angsur
4. Kehujjahan Al-Qur`an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur`an adalah sumber hukum dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah Swt, dan wajib diamalkan oleh manusia. Seorang mujtahid tidk dibenarkan menjadikan dalil sebagai hujjah (landasan hukum)sebelum ia membalas dan meneliti ayat al-Qur`an. Apabila suatu masalah yang ia cari tidak ditemukan dalam al-Qur`an, maka barulah ia mempergunakan dalil lain.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjad dengan al-Qur`an adalah:
a. Al-Qur`an diturunkan kepada Rasulullah Saw, diketahui secara mutawatir, hal ini memberi keyakinan bahwa al-Qur`an itu benar dating dari Allah Swt, melalui malaikat Jibril kepada Muhammad Saw, yang dikenal dengan orang yang paling dipercaya.
b. Ayat-ayat al-Qur`an menyatakan bahwa al-Qur`an itu dating dari Allah Swt.
c. Kemu`jizatan al-Qur`an merupakan dalil akan kebenaran bahwa al-Qur`an itu
C. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur`an yaitu sunnah, Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukanya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar menjelaskan hukum Al-Qur’an tidak diragukan lagi, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Dalam kedudukannya sebagai sumber yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar yang tersebut dalam Al-Qur’an dipertanyakan oleh ulama Ushul Fiqh. Karena ini disebabkan oleh keterangan Allah sendiri bahwa Al-Qur’an atau agama sudah sempurna karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sunnah.
Pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkannya, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Adapun pengertian sunnah secara istilah,dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah Saw, sebagai berikut:
Artinya:
"Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang sesudahnya yang mengamalkannya." (H.R. Muslim)
Adapun pengertian sunnah secara istilah (dalam istilah syari`ah), sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu;
1. Sunnah menuurt ilmu ushul fiqih, yaitu segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum".
2. Sunah menurut ilmu fiqih, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukun taklifi, yang mengandung pengertian"perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa(tidak berdosa)".
3. Istilah sunnah menuurt ilmu hadits, biasanya digunakan hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw jadi sunah menuurt ilmu hadits adalah segala perbuatan, perkataan maupun ketetapan Nabi.
2. Macam-macam Sunnah
Berdasatkan definisi sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadirnal-ahkam)dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat disimpulkan sebagai perintah larangan melalui contoh teladan beliau seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.
b. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan atau ucapan dari Rasul yang didengar oleh dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
c. Sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang perkataan maupun perbuatan, atau sepengetahuan Nabi Saw; tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegah dari nabi Nabisaw ini, menunjukan persetujuan Nabi Saw (taqrir), terhadap perbuatan sahabat tersebut . Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat. Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada, salah seorang dari keduanya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata: engkau mendapat pahala dua kali.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
b. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
c. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4. Kehujjahan Sunnah
Peran As Sunnah dalam syariah menjadi sumber hukum kedua setelah al –Qur`an. Dengan demikian As Sunnah wajib dijadikan dalil syar’i sama dengan al- Qur`an dikarenakan adanya dalil-dalil yang tegas menunjuk hal dimaksud.
Dalil-dalil al-Qur`an dengan sharih, gamblang, menegaskan bahwa Sunnah adalah wahyu sebagaimana al-Qur`an. Adapula dalil yang memerintahkan taat dan tunduk mengikuti as sunnah. Ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Surah An Nisa’: 59.
Artinya"
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".
3. Surah Muhammad: 33
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu".
D. I j m a`
1. Pengertian Ijma`
Secara etimologis ijma` berarti n"keepakatan"atau konsesus". Sedangkan secara terminologis ijma` adalah" kesepakatan para mujtahid dari Umat Muhammad Saw, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw, tentang suatu hukum syara"
Secara terminologi ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibnu Siyar al Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang”, akan tetapi rumusan al Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi diatas.
2. Macam-macam Ijma`
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan, ulama membagi ijma` menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Ijma` Sharih
Ijma` sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam siding (pertemuan)setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibhas. Ijma` seperti ini, menurut jumhur ulamabisa dijadikan hujjah (landasan hukum)
b. Ijma` Sukuti
Ijma` sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Terhadap ijma` sukuti ini terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan apakah kesepakatan yang seperti itu dikatakan ijma` dan bias dijadikan hujjah. Jumhur (sebagian besar)ulama berpendapat bahwa ijma`, dan tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).
3. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima:
a. Yang terikat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid, apabila ada di antara mujtahid ada yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
d. Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang bersifat ktual dan
e. tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an
4. Kemungkinan terjadinya Ijma’
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
5. Beberapa contoh Ijma`
Beberapa contoh masalah yang sudah disepakati hukumnya oleh para ulama, artinya mereka sudah ijma` yaitu:
a. bagian dua orang anak perempuan sebagai ahli waris, sebesar 2/3 bagian
b. kesaksian seseorang terhadap saudaranya, apabila ia adil, adalah boleh.
c. Lemak babi adalah haram, diqiyakan dengan haramnya daging babi.
E. Q i y a s
1. Pengertian Qiyas
Dasar hukum yang keempat ialah Qiyas. Qiyas dipergunakan untuk memantapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, qiyas secara bahasa ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain sedangkan menuurt istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnnya di dalam nash (al-Qur`an atau Sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan `illat hukum antara keduanya.
Adapun qiyas menurut pandangan ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
2. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
3. Beberapa contoh Qiyas
Beberapa contoh penetapan hukum berdasakan qiyas antara lain:
a. mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan membakar harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim secara tidak benar
b. mengqiyaskan (menyamakan) hukum mlarangan minum nabidz(minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur)kepada khamar yang dilarang oleh nash, illatnya kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan kuat kepada yang meminumnya.
c. Mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan melakukan setiap perbuatan apa saja, dengan larangan perbuatan melakukan jual beli ketika waktu panggilan shalat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1. Ulama’ sepakat bahwa sumber- sumber hukum islam yang bisa kita jadikan hujjah adalah Al-qur’an ,hadis ,ijma’ dan qiyas. Alasannya karena al-qur’an dan hadis yang menjadi sumber hukum islam yang utama tidak ada lagi setelah rasullullah SAW. wafat padahal sejalan dengan perioderisasi manusia yang semakin berkembang maka permasalahan barupun ikut-ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang disepakati oleh sahabat sebagai sumber hukum sehingga menjadi ijma’ dan mengqiyaskan hukum yang yang tidak ada dalam al-quran ,hadis dan ijma’ untuk menyelesaikan hukum permasalahan baru.
2. Al-Qur`an merupakan umber atau dalil hukum yang utama karena al-Qur`an berasal dari Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya melalui Malaikat Jibril
3. Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
4. Sedangkan ijma` dan qiyas juga adalah sebagai dalil hukum yang berasal dari para ulama (jumhur ulma) atas dasar kesepakatan hasil dari para mujtahidnya untuk memantapkan dasar-dasar hukum yang belum ada pada al-Qur`an dan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Prof, Dr, MA, Metedologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009,
Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996,
Sulaiman Rasjid, H, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009, cet. ke-44
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.
Rahmat Syafe`I, Prof. Dr. , Fiqih Islam, Prof, Dr, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007, cet. ke- 3.
Langganan:
Postingan (Atom)