Kamis, 12 Mei 2011

Upacara Bendera, Upaya Menumbuhkan Semangat Nasionalisme (aep saepul anwar)


Upacara Bendera di sekolah adalah kegiatan pengibaran atau penurunan bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu atau saat yang telah ditentukan misalnya pelaksanaan upacara bendera di sekolah pada umumnya dilaksanakan setiap pagi pada hari senin, merupakan salah satu bagian mata pelajaran di setiap sekolah. Upacara bendera pada hari senin juga menjadi kewajiban yang harus di laksanakan tiap sekolah atau madrasah di indonesia, selain untuk menanamkan rasa persatuan dan kesatuan kepada siswa, upacara bendera juga menjadi tolak ukur kedisiplinan semua warga sekolah, khususnya para siswa. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pelaksanan upacara di sekolah, salah satu diantaranya adalah rasa nasionalisme atau cinta terhadap bangsa Indonesia.
Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol martabat bangsa. Dimana para calon penerus bangsa di bekali dengan kecintaan nya terhadap bangsa dan negara indonesia yang di mulai dari pendidikan taman kanak – kanak. Kecintaan terhadap bangsa paling tidak telah di tanamkan lebih dari 10 tahun di bangku sekolah, cinta terhadap bangsa bukan saja kita harus berperang melawan para penjajah, salah satu bukti yang nyata sekarang adalah melaksanakan upacara bendera secara khidmat sebagai salah satu kecintaan kita terhadap bangsa dan.
Secara teoritis upacara bendera merupakan kegiatan yang mencerminkan adanya rasa nasionalisme, karena melalui kegiatan upacara tersebut berbagai hal dapat dicapai. Sikap disiplin, kesegaran jasmani dan rohani, keterampilan gerak keterampilan memimpin dan pengembangan sifat kebangsaan, cinta tanah air, semangat nasionalisme, patriotisme dan idealisme serta meningkatkan peran siswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila upacara tersebut dilaksanakan dengan penuh khidmat. Karena upacara salah satu cermin kegiatanyang menimbulkan rasa nasionalisme, secara kongkrit pada tanggal 17 Agustus 1945 di proklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pertama kali dikibarkannya bendera Sang Merah Putih melalui kegiatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Artinya upacara mempunyai peran yang sangat penting karena melihat pada sejarah para pahlawan yang telah merebut bangsa Indonesia dari tangan para penjajah kurang lebih tiga abad setengah. Sekarang para pelajar khususnya untuk mengisi kemerdekaan dengan cara melaksanakan yang diatas sebagai bentuk penghargaan kepada jasa pahlawan dan ekspresi cinta pada bangsa.
Namun ironisnya, masih banyak sekali permasalahan di indonesia yang berawal dari kerusakan moral anak bangsa yang berdampak memperburuk Citra bangsa indonesia. Seharusnya ini tidak akan terjadi apabila rasa Nasionalisme tertanam dengan baik di jiwa semua bangsa indonesia.
Bukanlah kesalahan dari makna pelaksaan upacara, namun dengan pelaksaan upacara bendera di setiap sekolah, diharapkan dapat lebih menumbuhkan rasa nasionalisme para calon penerus bangsa, sehingga generasi mendatang dapat lebih mengerti tentang sikap dan sifat luhur berbangsa dan bernegara.
Upacara Bendera pada hari senin di setiap sekolah seharusnya lebih menekankan pesan pesan moral tentang sifat dan sikap luhur berbangsa dan bernegara. Sambutan yang di berikan oleh pembina upacara seharusnya juga lebih bersifat kepada pendidikan moral yang berasaskan pancasila. Paling tidak para siswa dapat mengetahui tentang makna pelaksaan upacara, sehingga rasa Nasionalisme terhadap sebuah bangsa dapat tertanam melalui pelaksaan upacara bendera. Dan pelaksanaan upacara akan sampai pada tujuan awalnya, yaitu sarana menanamkan rasa persatuan, kesatuan bangsa, serta menumbuhkan rasa Nasionalisme berbangsa dan bernegara.

Selasa, 10 Mei 2011

Upacara Bendera, Upaya Menumbuhkan Semangat Nasionalisme (aep saepul anwar)

Upacara Bendera di sekolah adalah kegiatan pengibaran atau penurunan bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dilaksanakan pada saat-saat tertentu atau saat yang telah ditentukan misalnya pelaksanaan upacara bendera di sekolah pada umumnya dilaksanakan setiap pagi pada hari senin, merupakan salah satu bagian mata pelajaran di setiap sekolah. Upacara bendera pada hari senin juga menjadi kewajiban yang harus di laksanakan tiap sekolah atau madrasah di indonesia, selain untuk menanamkan rasa persatuan dan kesatuan kepada siswa, upacara bendera juga menjadi tolak ukur kedisiplinan semua warga sekolah, khususnya para siswa. Banyak pesan moral yang terkandung dalam pelaksanan upacara di sekolah, salah satu diantaranya adalah rasa nasionalisme atau cinta terhadap bangsa Indonesia.
Salah satu nilai luhur yang terkandung dari setiap pelaksanaan upacara bendera yaitu penghormatan kepada Bendera Merah Putih, sebagai simbol martabat bangsa. Dimana para calon penerus bangsa di bekali dengan kecintaan nya terhadap bangsa dan negara indonesia yang di mulai dari pendidikan taman kanak – kanak. Kecintaan terhadap bangsa paling tidak telah di tanamkan lebih dari 10 tahun di bangku sekolah, cinta terhadap bangsa bukan saja kita harus berperang melawan para penjajah, salah satu bukti yang nyata sekarang adalah melaksanakan upacar bendera secara khidmat sebagai salah satu kecintaan kita terhadap bangsa dan.
Secara teoritis upacara bendera merupakan kegiatan yang mencerminkan adanya rasa nasionalisme, karena melalui kegiatan upacara tersebut berbagai hal dapat dicapai. Sikap disiplin, kesegaran jasmani dan rohani, keterampilan gerak keterampilan memimpin dan pengembangan sifat kebangsaan, cinta tanah air, semangat nasionalisme, patriotisme dan idealisme serta meningkatkan peran siswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, apabila upacara tersebut dilaksanakan dengan penuh khidmat. Karena upacara salah satu cermin kegiatanyang menimbulkan rasa nasionalisme, secara kongkrit pada tanggal 17 Agustus 1945 di proklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesia pertama kali dikibarkannya bendera Sang Merah Putih melalui kegiatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Artinya upacara mempunyai peran yang sangat penting karena melihat pada sejarah para pahlawan yang telah merebut bangsa Indonesia dari tangan para penjajah kurang lebih tiga abad setengah. Sekarang para pelajar khususnya untuk mengisi kemerdekaan dengan cara melaksanakan yang diatas sebagai bentuk penghargaan kepada jasa pahlawan dan ekspresi cinta pada bangsa.
Namun ironisnya, masih banyak sekali permasalahan di indonesia yang berawal dari kerusakan moral anak bangsa yang berdampak memperburuk Citra bangsa indonesia. Seharusnya ini tidak akan terjadi apabila rasa Nasionalisme tertanam dengan baik di jiwa semua bangsa indonesia.
Bukanlah kesalahan dari makna pelaksaan upacara, namun dengan pelaksaan upacara bendera di setiap sekolah, diharapkan dapat lebih menumbuhkan rasa nasionalisme para calon penerus bangsa, sehingga generasi mendatang dapat lebih mengerti tentang sikap dan sifat luhur berbangsa dan bernegara.
Upacara Bendera pada hari senin di setiap sekolah seharusnya lebih menekankan pesan pesan moral tentang sifat dan sikap luhur berbangsa dan bernegara. Sambutan yang di berikan oleh pembina upacara seharusnya juga lebih bersifat kepada pendidikan moral yang berasaskan pancasila. Paling tidak para siswa dapat mengetahui tentang makna pelaksaan upacara, sehingga rasa Nasionalisme terhadap sebuah bangsa dapat tertanam melalui pelaksaan upacara bendera. Dan pelaksanaan upacara akan sampai pada tujuan awalnya, yaitu sarana menanamkan rasa persatuan, kesatuan bangsa, serta menumbuhkan rasa Nasionalisme berbangsa dan bernegara.

Sabtu, 07 Mei 2011

MAKALAH MEDIA AUDIO, VISUAL DAN AUDIO VISUAL

MAKALAH

MEDIA AUDIO, VISUAL DAN AUDIO VISUAL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada
Mata Kuliah Media Pembelajaran

Di susun Oleh :

AHMAD SUANDI





SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)ARRAHMANIAH
Serang 2011

BAB I
PENDAHULUAN


Pada dasarnya media yang banyak digunakan untuk kegiatan pembelajaran adalah media komunikasi. Oleh karena itu dalam pembahasan taksonomi ini akan digunakan taksonomi
Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam pengklasifikasian ini. Salah satu cara diantaranya ialah dengan menekankan pada teknik yang dipergunakan dalam pembuatan media tersebut. Sebagai contoh, seperti gambar, fotografi, rekaman audio, dan sebagainya. Ada pula yang dilihat dari cara yang dipergunakan untuk mengirimkan pesan. Contoh, ada penyampaian yang disampaikan melalui siaran televisi dan melalui optik. Berbagai bentuk presentasi media yang kita terima, membuat kita sadar bahwa kita menerima informasi dalam bentuk tertentu. Pesan-pesan tersebut dapat berupa bahan cetakan, bunyi, bahan visual, gerakan, atau kombinasi dari berbagai bentuk informasi ini.
Masih banyak ciri yang membedakan media yang satu dengan yang lain, sehingga tidaklah mudah untuk menyusun klasifikasi tunggal yang mencakup semua jenis media. Faktor lain yang juga mempersulit klasifikasi ini ialah untuk menentukan apa yang termasuk dan apa yang tidak termasuk media. Sebagai contoh, beberapa ahli membedakan antara media komunikasi dan alat bantu komunikasi. Yang menjadi dasar utama dari pembedaan ini ialah apakah suatu sarana komunikasi dapat menyampaikan program secara lengkap atau tidak. Berdasarkan pembedaan ini, film dapat digolongkan sebagai media, karena film dapat menyampaikan pesan yang lengkap selama waktu putarnya. Sedangkan overhead transparansi (OHT) digolongkan sebagai alat bantu saja, karena OHT tidak dapat berdiri sendiri. Hal tersebut hanya dapat digunakan oleh instruktur untuk membantu menerangkan pembelajarannya. Walaupun pendapat ini masuk akal, tetapi di sini kita akan membahas media dalam perspektif yang lebih luas, yaitu semua alat atau bahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pembelajaran, sesuai dengan pengertian media pembelajaran sebelumnya (di bagian depan).
Selain alat-alat pembelajaran yang sederhana, masih ada beberapa teknik atau sistem pembelajaran yang sedemikian kompleks, sehingga jauh melebihi pengertian media yang biasa kita gunakan. Sebagai contoh, simulator, pengajaran dengan bantuan komputer, mesin pembelajaran, dan permainan pendidikan. Oleh karena itu untuk mengembangkan suatu sistem klasifikas yang dapat mencakup berbagai macam sarana komunikasi, kita harus menggunakan pandangan yang lluas mengenai pengertian media, yaitu dengan memasukkan segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh seorang instruktur untuk meningkatkan pembelajaran.


























BAB II PEMBAHASAN
TENTANG PEMBELAJARAN DALAM BENTUK MEDIA AUDIO, VISUAL
DAN AUDIO VISUAL


A. Media Pendidikan dan Proses Pembelajaran
Dalam pembelajaran pada hakekatnya terdapat dua proses yang saling keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu samal lain, yaitu proses belajar dan proses mengajar. Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan dimana saja terlepas dari ada yang mengajar atau tidak. Proses belajar terjadi karena adanya interaksiindividu dengan lingkungannya. Apabila mengajar kita pandang sebagai kegiatan atau proses yang terarah dan terencana yang mengusahakan agar terjadi proses belajar pada diri seseorang maka pendapat bahwa seseorang belajar karena ada yang mengajar tidaklah benar.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang yang berlangsung seumur hidup, sejak dia masih bayi hingga liang lahat nanti. Salah satu pertanda bahwa seseorang telah belajar sesuatu adalah adanya perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik)maupun menyangkut nilai dan siakp (afektif).
Kalau dilihat dari sejarah perkembangan profesi guru, tugas mengajar sebenarnya adalah pelimpahan dari tugas orang tua, karena tidak mampu lagi memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap tertentu sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan berkembnagnya ilmu pengetahuan, teknologi dan berkembangnya masyarakat serta budaya pada umumnya, maka berkembang pulalah tugas dan peranan guru seiring dengan berkembangnya jumlah anak yang memerlukan pendidikan.
Pada zaman Socrates, ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswanya adalah hasil penemuan atau daya pikir Socrates sendiri. Perkembangan selanjutnyamembuktikan bahwa situasi semacam itu tidak mungkin untuk dipertahankan. Suatu proses belajar mengajar akan lebih efektif apabila ada media.

atau alat yang mendukungnya seperti film atau video dan sebagainya. Hal itu akan lebih konkret dari pada pemaparan secara verbal.
Kegunaan media pendidikan dalam proses belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut:
a. Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalitas (dalam bentuk kata-kata tertulis/lisan)
b. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra, misalnya:
1. Objek yang terlalu besar bisa digantikan dengan realita, gambar atau model.
2. Objek yang kecil dibantu dengan proyektor mikro, film bingkai atau gambar.
3. Kejadian/peristiwa yang terjadi di masal lalu bisa ditampilkan lagi lewat rekaman film dan video.
4. Objek yang terlalu kompleks (misalnya desain mesin) dapat disajikan dengan model dan diagram.
5. Konsep yang terlalu luas (gunung berapi, gempa bumi, iklim) dapat divisualkan dalam bentuk film.
c. Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap pasif anak didik, dalam hal ini:
1. Menimbulkan kegairahan dalam belajar
2. Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan dan kenyataan
3. Memungkinkan anak didik belajar sendiri menurut kemmapuan dan minatnya.
B. Alat-Alat Dalam Teknologi Pembelajaran/Pendidikan
Banyak tokoh pendidikan, seperti Thorndike, Crowder, dan sebagainya. Kemajuan yang dicapai manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi membuatnya berkembang semakin cepat. Dalam rangka kegiatan pendidikan ada beberapa media yang dipergunakan, mulai yang paling sederhana sampai kepada yang tyercanggih. Beberapa alat teknologi pendidikan yang dimaksudkan antara lain:
a. Papan Tulis
b. Bulletin Board dan Display
c. Televisi siaran
d. Tele blackboard
e. Overhead Projector (OHP)
C. Media Berbentuk Audio, Visual dan Audio Visual
1. Media audio
adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan atau informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif yang berupa kata-kata, musik, dan sound effect.

MEDIA RADIO

Radio adalah media audio uang penyampaian pesannya dilakukan melalui pancaran gelombang elektromagnetik dari suatu pemancar. Pemberi pesan (penyiar) secara langsung dapat mengkomunikasikan pesan atau informasi melalui suatu alat (microfon) yang kemudian diolah dan dipancarkan ke segenap penjuru melalui gelombang elektromagnetik dan penerima pesan (pendengar) menerima pesan atau informasi tersebut dari pesawat radio di rumah-rumah atau para siswa mendengarkannya di kelas-kelas.
Kelebihan Media Radio
a. Memiliki variasi program yang cukup banyak.
b. Sifatnya mobile, karena mudah dipindah-pindah tempat dan gelombangnya.
c. Baik untuk mengembangkan imajinasi siswa.

Kelemahan Media Radio
a. Sifat komunikasinya hanya satu arah (one way communication).
b. Jika siarannya monoton akan lebih cepat membosankan siswa untuk mendengarkannya.
c. Program siarannya selintas, sehingga tidak bisa diulang-ulang dan disesuaikan dengan kemampuan belajar siswa secara individual.
MEDIA ALAT PEREKAM PITA MAGNETIK
Alat perekam pita magnetik atau kaset tape recorder adalah media yang menyajikan pesannya melalui proses perekaman kaset audio. Tidak seperti radio yang menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai alat pemancarannya.

Kelebihan Media Alat Perekam Pita Magnetik
a. Pita rekaman dapat diputar berulang-ulang sesuai dengan kebutuhan siswa.
b. Rekaman dapat dihapus dan digunakan kembali.
c. Mengembangkan daya imajinasi siswa.
Kelemahan Media Alat Perekam Pita Magnetik
a. Daya jangkauannya terbatas.
b. Biaya penggandaan alatnya relatif lebih mahal dibanding radio.

2. Media visual
adalah media yang penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera penglihatan. Yang termasuk media visual ini adalah media grfais
MEDIA GRAFIS
Media grafis adalah media visual yang menyajikan fakta, ide atau gagasan melalui penyajian kata-kata, kalimat, angka-angka, dan simbol/gambar
Yang termasuk media grafis antara lain :
1. Grafik, yaitu penyajian data berangka melalui perpaduan antara angka, garis, dan simbol.
2. Diagram, yaitu gambaran yang sederhana yang dirancang untuk memperlihatkan hubungan timbal balik yang biasanya disajikan melalui garis-garis simbol.
3. Bagan, yaitu perpaduan sajian kata-kata, garis, dan simbol yang merupakan ringkasan suatu proses, perkembangan, atau hubungan-hubungan penting.

Kelebihan Media Grafis
1. Dapat mempermudah dan mempercepat pemahaman siswa terhadap pesan yang disajikan.
2. Dapat dilengkapi dengan warna-warna sehingga lebih menarik perhatian siswa.
3. Pembuatannya mudah dan harganya murah.

Kelemahan Media Grafis
1. Membutuhkan keterampilan khusus dalam pembuatannya, terutama untuk grafis yang lebih kompleks.
2. Penyajian pesan hanya berupa unsur visual.

3. Media Audio visual
Media audiovisual adalah media yang penyampaian pesannya dapat diterima oleh indera pendengaran dan indera pengelihatan, akan tetapi gambar yang dihasilkannya adalah gambar diam atau sedikit memiliki unsur gerak.
Jenis media ini antara lain media sound slide (slide suara), film strip bersuara, dan halaman bersuara.
Kelebihan dan kelemahan media ini tidak jauh berbeda dengan media proyeksi diam. Perbedaannya adalah adanya aspek suara pada media audiovisual diam.
















BAB III
PENUTUP

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Proses pembelajaran tidaklah harus dengan cara penyampaian langsung dari seorang guru, peran teknologi pembelajaran sangat berfungsi untuk memabantu peserta didiknya dalam memahami materi pelajaran yang akan disampaikan itu akan lebih efektif dan efisien d
2. Teknologi pendidikan/pembelajaran merupakan media yang lahir dari revolusi teknologi komunikasi yang dapat digunakan untuk tujuan pendidikan. Pemanfaatan teknologi komunikasi dalam kegaiatan pendidikan dan teknologi pembelajaran itu sendiri mutlak perlu dalam rangka kegiatan belajar mengajar karena dengan pendekatan ilmiah, sistematis dan rasional, tujuan pendidikan yang efektif dan efisien dapat tercapai.
3. pemanfaatan media pendidikan mempunyai implikasi tertentu dalam proses belajar mengajar, sesuai dengan ciri dan kegunaan masing-masing media tersebut. Teknologi pendidikan itu sendiri menyangkut perangkat keras dan lunak yang dalam prakteknya biasanya saling mengisi.
4. Teknologi pendidikan mempumnyai arti tertentu dalamkegiatan belajar mengajar,seperti pendidikan lebih produktif,memungkinkan pengajaran lebih individual, ilmiah dan luas.
5. Pemanfaatan media teknologi pendidikan yang beraneka ragam itu menuntut keterampilan tersendiri dari para pelaksana pendidikan.








DAFTAR PUSTAKA

Arsyad Azhar, Media Pembelajaran, Rjawali Pers, Jakarta, Cet. 5, 2004.

Djamarah, Syaiful Djamarah, Startegi Belajar Mengajar, Rinekla Cipta, Jakarta, Cet. 2, 2002.

Fatah Syukur, Teknologi pendidikan, Rasail, Semarang, Cet. I, 2005.

PRINSIP DAN TUJUAN HUKUM ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari’at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Pengejawantahan syari’at Islam atas dua sumber utama dan pertama syari’at Islam. Dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era mekanisasai dan modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. Eksistensi syari’at Islam yang konsisten/ajeg pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi justeru harus fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manisia.
Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi dewasa ini sbg paradigmanya.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka orang Islam (khususnya para alim ulama Islam Umum seluruh umat Islam) dituntut untuk dapat melakukan rekonstruksi terhadap khazanah hukum Islam secara inovatif melalui media ijtihad. Sebab kajian soal ijtihad akan selalu aktual, mengingat kedudukan dan fungsi ijtihad dalam yurisprudensi Islam tidak bisa dipisahkan dengan produk-produk fiqh dan yang namanya fiqh itu senantiasa fleksibel dan perkembangannya berbanding lurus dengan kehidupan dan kebutuhan manusia.
Namun dengan adanya fleksibelitas dalam syari‟at Islam dan tuntutan bahwa hukum Islam harus senantiasa up to date dan dapat mereduksi per-kembangan kehidupan ummat, bukan berarti atau dimaksudkan ajaran Islam, terutama fiqh (hukum) nya tidak konsisten, mudah mengikuti arus zaman dan bebas menginterpretasikan Al-Qur‟an dan Sunnah sesuai kebutuhan hidup manusia --- sehingga aktualisasi hukum Islam melalui pintu ijtihad dalam prakteknya dapat menggeser ke-qath‟i-an Al-Qur‟an dan Sunnah hanya untuk memberikan legitimasi kepentingan manusia, baik politik, ekonomi, sosial, hukum dan lain sebagainya dengan dalih tuntutan humanisme.
Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan prinsip-prinsip dan asas-asas hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman.





BAB II
PRINSIP DAN TUJUAN HUKUM ISLAM

A. Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip (al-mabda`) adalah landasan yang menjadi titik tolak atau pedoman pemikiran kefilsafatan dan pembinaan hukum Islam.
Syariat Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur‟an dan Sunnah Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah khitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, atau dengan redaksi lain, hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Ketetepan Allah dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu. Sebagaimana hukum-hukum yang lain, hukum Islam memiliki prinsip-prinsip dan asas-asas sebagai tiang pokok, kuat atau lemahnya sebuah undang-undang, mudah atau sukarnya, ditolak atau diterimanya oleh masyarakat, tergantung kepada asas dan tiang pokonya
Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; itik tolak; atau al-mabda.
Adapun secara terminologi Prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam .
1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).
2. Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi’za’n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuifalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.
3. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridloi Allah dalam filsafat hukum Barat diartikan sebagai fungsi social engineering hukum. Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar didasarkan pada QS. Al-Imran : 110, pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan akal.
4. Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5)
5. Prinsip Persamaan/Egalite
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
6. Prinsip At-Ta`awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.


7. Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya --- tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.
Wahbah Az-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Qur‟an dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syari‟at ketentuan hukum Islam . Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja, tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya .
B. Ciri-Ciri Hukum Islam
Ciri-ciri kekhususan hukum Islam yang membedakannya dengan hukum lin adalah :
1. Hukum Islam berdasar atas wahyyu Allah Swt, yang terdapat dalam al-Qur`an dan dijelaskan oleh sunnah Rasul-Nya.
2. Hukum Islam dibangun berdasarkan prinsip akidah (iman dan tauhid) dan akhlak (moral).
3. Hukum Islam bersifat universal (alami)
4. Hukum Islam memberikan sanksi di dunia dan di akherat kelak.
5. Hukum Islam mengarah kepada jama`iyah (kebersamaan).
6. Hukum Islam dinamis dalam menghadapi perkembangan sesuai dengan tuntutan waktu dan tempat.
7. Hukum Islam bertujuan menciptakan kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.
C. Sendi-Sendi Hukum Islam
Hukum Islam dibangun di atas sendi-sendi atau tiang-tiang pokoknya (da`a imut tasyri`). Sendi-sendi itu adalah :
1. Hukum Islam mewujudkan dan menegakan keadilan yang merata bagi seluruh umat manuisa (tahqiq al-`adalat)
2. Hukum Islam memelihara dan mewujudkan kemalahatan seluruh umat manusia (ri`ayat mashalih al-ummat)
3. Hukum Islam tidak membanyakan (mensedikitkan)beban dan menghindarkan (menghilangkan) kesulitan (Qillat al-taklif, nafyu al-haraj waraf`u al-masyarakat)
4. Pembebaban yang bertahap
5. Masing-masing orang hanya memikul dosanya sendiri.
D. Tujuan Hukum Islam
Allah Swt menurunkan syariat (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Hal ini berbeda dengan konsep hukum di luar Islam yang hanya ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia selaku anggota masyarakat (odening van het social eleven). Dalam pandangan hukum di luar Islam, bahwa hukum itu sebagai hasil proses kehidupan manusia bermasyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cicero, bahwa Ubi Societas Ibi Ius, (di mana ada masyarakat di sana ada hukum).
Hukum yang menjadi penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.Setiap keberadaan hokum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum.Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu. Manusia berharap pada beberapa hal-hal berikut:
a. Kemaslahatan hidup bagi diri orang lain
b. Menegakkan keadilan
c. Persamaan hak dan kewajipan dalam hukum
d. Saling control dalam masyarakat
e. Kebebasan berekpresi,berpendapat,bertindak dengan tidak melebihi batasan hukum.
f. Regenerasi sosial yang positif dan bertanggungjawab
Apabila satu minit sahaja kehidupan sosial tidak terjamin oleh hokum yang kuat,masyarakat dengan semua komponannya akan rosak,karena seminit tanpa adanya jaminan hukum bagaikan adanya bencana yang melanda dalam sesuatu masyarakat tersebut.
Asas legalitas sebagai pokok dari hidup dan berlakunya hokum .Yang berbahaya lagi adalah memendan hukum tidak berguna lagi karena keberpehakan hukum kepada keadilan dan persamaan hak sehingga masyarakat kurang percaya kepada hukum.
Cita-cita hukum adalah menegakkan keadilan,tetapi yang menegakkan keadilan bukan teks-teks hokum,melainkan manusia yang meneria sebutan hakim,pengacara penguasa hukum,penegak hukum,polisi dan sebagainya. Identitas hukum Islam adalah adil,member rahmat dan mengandungi hikmah yang banyak bagi kehidupan. Dengan yang demikian setiap hal yang merupakan kezaliman,tidak member rasa keadilan,jauh dari rahmat,menciptakan kemafsadatan bukan merupakan tujuan hokum Islam. Asy Syatibi mengatakan bahawa tujuan Syariat Islam adalah mencapai kemaslahatan hamba baik di dunia maupon di akhirat.Antara kemaslahatan tersebut adalah seperti berikut:
a. Memelihara Agama
b. Memelihara Jiwa
c. Memelihara Akal
d. Memelihara Keturunan
e. Memelihara Kekeyaan
Lima unsur di atas dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
a. Dharuriyyat
b. Hijayyat
c. Tahsiniyyat
Peringkat Dharuriyyat menepati urutan yang pertama,disusuli dengan peringkat yang ke dua yaitu Hijiyyat dan dilengkapi dengan yang terakhir sekali ialah Tahsiniyyat.
Yang dimaksudkan dengan Dharuriyyat adalah memelihara segala kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.
Yang dimaksudkan dengan Hijiyyat adalah tidak termasuk dlam kebutuhan-kebutuhan yang esensial,melainkan kebutuhan yangdapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup mereka. Dimaksudkan pula dengan Tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan mertanat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Tuhannya,sesuai dengan kepatutan.
Kesimpulannya disini ketiga-tiga peringkat yang disebut Dharuriyyat,hijiyyat serta Tahsiniyyat,mampu mewujudkan serta memelihara kelima-lima pokok tersebut.
a. Memelihara Agama (Hifz Ad-Din)
Menjaga atau memelihara agama,berdasarkan kepentingannya,dapat kita bedekan dengan tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyah: Memelihara dan melaksanakan kewajipan agama yang masuk peringkat primer.
Contoh : Solat lima waktu.Jika solat itu diabaikan,maka akan terancamlah
eksestensi agama.
2. Hijiyyat : Melaksanakan ketentuan Agama
Contoh : Solat Jamak dan Solat Kasarbagi orang yang sedangbepergian.
jika tidak dilaksanakan solat tersebut,maka tidak akan mengancam
eksestensi agamanya,melainkan hanya mempersulitkan bagi orang
yang melakukannya.
3. Tahsiniyyat : Mengikuti petunjuk agama.
Contoh : Menutup aurat.baik di dalam maupon diluar solat,membersihkan
badan,pakaian dan tempat.Kegiatan ini tidak sama sekali mengancan
eksestensi agama dan tidak pua mempersulitkan bagi orang yang melakukannya.

b. Memelihara Jiwa (Hifz An-Nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan tingkat kepentinganya,kita dapat bedakan dengan tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyat : Memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup.Jika diabaikan maka akan berakibat terancamnya eksestansi
jiwa manusia.
2. Hijiyyat : sepertinya diperbolehkan berburu binatang untuk menukmati makanan
yang halal dan lazat.Jika diabaikan maka tidak akan mengancam
eksestensi manusia,melainkan hanya untuk mempersulitkan hidupnya.
3. Tahsiniyyat : Sepertinya ditetapkannya tatacara makan dan minum.Kegiatan ini
hanya berhubung dengan kesopanan dan etika.Sama sekali tidakmengancam eksestensi jiwa manusia ataupun mempersulitkan kehidupan seseorang.
c. Memelihara Akal (Hifz Al-‘Aql)
Memelihara akal,dilihat dari segi kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat yaitu:
1. Dharuriyyat: Diharamkan meminum minuman keras jika tidak diindahkan maka akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
2. Hijiyyat : Sepertinya menuntu ilmu pengetahuan.Jika hat tersebut diindahkan
maka tidak akan mengakibatkan terancamnya eksestensinya akal.
3. Tahsiniyyat : Menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.Hal ini jika diindahkan maka tidak akan ancamnya eksestensi akal secara langsung.
d. Memelihara Keturunan (Hifz An-Nasl)
1. Dharuriyyat: Sepertinya disyari’atkan nikah dan dilarang berzina.Jika di abaikan maka eksestensi keturunannya akan terancam.
2. Hijiyyat : Sepertinya ditetapkan menyebut mahar bagi suami pada waktu akad
nikah dan diberi hak talaq padanya.Jika mahar itu tidak disebut pada
waktu akad maka si suami akan mengalami kesulitan,kerana suami
harus membayar mahar misl.
3. Tahsiniyyat : Disyariatkan Khitbah atau Walimat dalam perkahwinan.hal ini jika diabaikan maka tidak akan mengancam eksestensi keturunan.
e. Memelihara Harta (Hifz Al-Mal)
1. Dharuriyat : Tata cara pemilikan dan larangan mengambil harta orang lain.Jika diabaikan maka akan mengakibatkan eksestensi harta.
2. Hijiyyat : Sepertinya tentang jual beli dengan salam.Jika tidak dipakai salam,
Maka tidak akan mengancam eksestensi harta.
3. Tahsiniyyat: Menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.Hal ini erat
Kaitannya dengan etika bermu’amalah atau etika bisnis.




BAB III
PENUTUP

Berdasakan fenomena tersebut, penulis memandang bahwa pemahaman akan asas dan tujuan hukum Islam secara radikal melalui kacamata filsafat memiliki urgensi yang tinggi sekali, sebagai upaya untuk membentengi syari‟at Islam yang kontemporer namun dalam proses pengistinbatan hukumnya tetap memperhatikan rukh-rukh syari‟ahnya atau dengan bahasa lain tidak menggadaikan ke-qath‟i-an syari‟at Islam (baca : Al-Qur‟an dan Sunnah) hanya untuk dikatakan bahwa hukum Islam itu up to date dan tidak ketinggalan zaman. Maka dengan itu penyusun dapat simpulkan dari berbagai pokok permasalahan yaitu:
1. Tujuan Hukum Islam yaitu sebagai penutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat.Cita-cita sosial bersandarkan pada hukum.Setiap keberadaan hukum tidak dapat terlepas dari tujuan dan harapan subjek hukum. Harapan manusia terhadap hukum pada umumnya meliputi harapan keamanan dan ketenteraman hidup tanpa batas waktu sebagai panduan dalam hidupnya yaitu al-Qur`an dan As-Sunah-Nya.
2. Prinsip-prinsip hukum Islam meliputi prinsip tauhid yaitu mengesakan Allah, prinsip keadilan, prinsip amar ma`ruf nahi munkar, prinsip kebebasan, prinsip persamaan, prinsif at-ta`awun (tolong menolong) dan prinsip toleransi.
DAFTAR PUSTAKA

Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996.

Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1958.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995.
M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 .
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.

Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997.

Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993..






.

Makalah Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN

Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih bermakna dan terarah dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam penetapan hukum dalam agama Islam harus dilandasi dengan pijakan atau alasan yang disebut dengan sumber hukum, sumber hukum yang dimaksud yaitu Al Quran dan as sunnah. Namun adakalanya timbul permasalahan-permasalahan baru yang timbul akibat berkembangnya jaman, oleh karena itu dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan pijakan untuk menetapkan hukum perkara tersebut. Dengan didasari oleh hadits Nabi, para ulama berijtihad dan menyusun sistematika istinbat hukum.
Akan tetapi, dalam perkembangan perkembangan pemikiran ushul fikih yang terlihat dalam kitab-kitab ushul fikih kontemporer, istilah sumber hukum dan dalil hukum tidak dibedakan. Maka dalam makalah ini kami akan berusaha membahasnya dan akan kami sertakan sumber hukum utama yaitu Al Quran dan Sunnah.
Petunjuk-petunjuk agama yang mengenai berbagai kehidupan manusia, sebgaimana terdapat di dalam sumber dalil hukum Islam, Al-Qur`an, hadits, Ijma dam Qiyas tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengemabangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokrtais, berorientasi pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, menutamakan persaudaraan, berkhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainnya.
Dengan rujukan diatas tadi dapat dikembangkan bahwa dalil atau sumber hukum Islam itu merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah Al-Adillah al-Syari`iyyah Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum atau dalil dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’dan Qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahabi syar`u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara`i.
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan metode ijtihad, keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.












BAB II
PEMBAHASAN TENTANG DALIL HUKUM ISLAM

A. Tinjauan Teoritis Dalil Hukum Islam
Dalam kajian ushul fikih, para ulama ushul mengartikan dalil secara etimologis dengan “sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”. Sementara itu, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa, menurut bahasa yang dimaksud dengan dalil ialah “sesuatu yang meberi patunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”.
Adapun secara terminologis para ulama ushul berbeda dalam mendefinisikan dalil hukum. Abdul Wahab Khallaf menyebutkan, menurut istilah yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun secara zhani”.
Ibnu al Subki dalam kitab Matn Jam’i al Jawami’ menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan dalil hukum ialah “apa saja yang dapat dipergunakan untuk sampai kepada yang dikehendaki, yaitu hukum syara dengan berpijak pada pemikiran yang benar”.
Dari pengertian yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil hukum ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Oleh karena itu, dalam istinbat hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum syara harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil yang jelas.
Dalil-dalil hukum (adillat al-ahkam) sering pula disebut dengan sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam). Sepanjang yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah maka kedua istilah tersebut absah. Namun jika yang dimaksud adalah hal-hal yang kemudian dipahami oleh ushuliyyun sebagai dalil-dalil hukum, yang jenisnya amat banyak, maka istilah adillat al-ahkam merupakan istilah yang lebih tepat. Alasannya, banyak hal memang bisa berfungsi sebagai dalil (penunjuk) hukum, tidak terbatas pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah saja – meskipun asalnya juga dari keduanya. Lain halnya dengan istilah mashadir al-ahkam. Istilah mashadir (sumber) hanya tepat jika dipakai untuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, karena hanya kedua hal itulah yang menjadi sumber dalam syariat.
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam masalah dalil-dalil hukum. Mereka berselisih tentang apa sajakah yang absah untuk dijadikan sebagai dalil hukum. Kalau diamati dengan teliti, akan tampak bahwa sebagian besar perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan definisi terminologis, dan bukan disebabkan oleh perbedaan esensi. Namun perbedaan definisi terminologis bukanlah satu-satunya penyebab perbedaan pendapat ini, karena ada hal-hal lainnya yang juga turut berperan bagi timbulnya perbedaan pendapat ini.
Dalil-dalil hukum yang dimaksud antara lain Al-Qur’an, Al-Sunnah, ijma’, qiyas, madzhab al-shahabiy, istihsan, maslahat al-mursalah, istish-hab, ‘urf, dan syar’u man qablana. Metode berdalil dengan berbagai dalil hukum selain Al-Qur’an dan Al-Sunnah biasanya disebut sebagai istidlal. Ijtihad, dalam pengertian sebagai usaha optimal untuk memutuskan perkara yang tidak di-nash-kan dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tidak lain adalah istidlal itu sendiri.
Diantara dalil-dalil hukum diatas, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sajalah yang tidak diperselisihkan otoritasnya. Dalil-dalil hukum yang lain tidak ada yang lepas dari perbedaan pendapat para ulama.
Keberadaan ijma’(konsensus) diperselisihkan oleh para ulama. Mungkinkah segenap mujtahid pada satu masa bersepakat atas satu hal tanpa ada satupun yang menyalahinya? Mereka yang menjawab “mungkin” kemudian mengemukakan klasifikasi ijma’ atas ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Betapapun serunya perbedaan pendapat dalam masalah ini, paling tidak para ulama bersepakat atas otoritas ijma’ para sahabat Nabi.
Permasalahan lain yang juga muncul dalam masalah ijma’ ialah apakah ijma’ yang lama akan bisa digantikan oleh suatu ijma’ yang baru ? Golongan yang amat liberal mengatakan bahwa ijma’ tidak pernah mengenal kata putus. Setiap generasi berhak melakukan suatu kesepakatan, yang bisa menjelma menjadi ijma’, atas jaminan Nabi bahwa umat Islam tidak akan mungkin bersepakat dalam suatu kesesatan. Dalam hal ini, ijma’ diposisikan sebagai produk ijtihad dan bukan sebaliknya, menghalangi gerak ijtihad. Bagaimanapun juga, ide yang amat liberal inipun hanya bisa diterima apabila ijma’ didefinisikan tidak terlampau sempit (hanya terbatas di kalangan sahabat Nabi saja) dan juga tidak terlalu luas (meliputi segenap ulama mujtahidin). Apabila ijma’ didefinisikan terlalu luas, maka sebagaimana diketahui, kesepakatan seluruh ulama mujtahidin tanpa kecuali merupakan suatu hal yang amat sulit untuk diwujudkan.
Qiyas (analogi) termasuk dalil hukum yang disepakati oleh hampir sebagian besar ulama ushul. Hanya golongan zhahiriyah sajalah yang tidak mengakui otoritas qiyas. Imam Syafi’i merupakan ulama yang paling getol dalam memperjuangkan otoritas qiyas. Beliau bahkan berpendapat bahwa ijtihad itu tidak lain adalah qiyas. Sebetulnya pembatasan ini beliau lakukan karena beliau mendefinisikan qiyas dalam pengertian yang amat luas, yang tidak lain adalah pengertian ijtihad itu sendiri.
Bentuk qiyas yang paling populer ialah qiyas ‘illatiy, yaitu qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan ‘illat. Disamping itu, terdapat pula qiyas aulawiy dan qiyas maslahatiy. Qiyas aulawiy didasarkan pada keserupaan dalam intensitas yang lebih besar. Sementara qiyas maslahatiy ialah qiyas yang dilakukan atas dasar kesamaan maslahat. Qiyas ini merupakan bentuk qiyas yang terjauh karena persamaan yang muncul adalah persamaan pada kaidah umum (al-qa’idat al-kulliyyat).
Khusus untuk qiyas ‘illatiy, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Apabila persyaratan-persyaratan tersebut dilanggar maka qiyas yang dilakukan akan menjadi batal (tidak absah). ‘Illat, sebagai esensi persoalan, dibedakan atas ‘illat manshushat dan ‘illat muktasabat (mustanbathat). ‘Illat harus dibedakan dengan sabab dan hikmah. Ketiganya mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing.
Selain dalil-dalil hukum yang telah tersebut diatas, terdapat pula berbagai dalil hukum yang lain, yang masih diperdebatkan secara sengit diantara para ulama ushul. Kita mulai dari istihsan (preferensi). Istihsan sangat dominan dipakai oleh Abu Hanifah namun ditentang dengan sangat keras oleh Imam Syafi’i. Sikap Imam Syafi’i ini pada dasarnya muncul karena beliau mendefinisikan istihsan dalam pengertian yang terlalu luas, sehingga terkesan bahwa istihsan itu tidak lain adalah semata-mata rasio atau hawa nafsu. Istihsan bisa dibedakan atas dua macam. Pertama, istihsan yang merupakan peralihan dari qiyas jaliy menuju qiyas khafiy karena adanya maslahah. Kedua, istihsan yang merupakan peralihan meninggalkan qiyas karena adanya maslahah.
Dalil hukum yang serupa dengan istihsan, dari sisi bahwa keduanya melibatkan rasio secara dominan, adalah maslahah mursalah. Disebut demikian, karena maslahah yang dijadikan landasan merupakan maslahah yang tidak disebutkan dalam nash secara spesifik. Maslahah yang dimaksud disini tidak melanggar nash dan tidak pula secara spesifik dinyatakan oleh nash. Sebaliknya, maslahah ini hanya ditunjukkan oleh makna umum yang dikandung oleh nash. Konsep al-maqasid al-syar’iyyat merupakan konsep yang amat berkaitan dengan maslahah mursalah. Imam Syathibiy termasuk ahli ushul yang cukup getol menganjurkan pemakaian maslahah mursalah sebagai dalil hukum. Sebetulnya, maslahah mursalah merupakan suatu keniscayaan, karena tanpa itu kehidupan manusia akan menjadi statis dan jumud.
Madzhab Al-Shahabiy berarti praktek dan pendapat para sahabat Nabi. Imam Ahmad amat menghargai atsar para sahabat. Apabila para sahabat telah bersepakat dalam suatu hal, maka beliau akan menetapkannya sebagai hukum. Apabila para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan mengambil salah satunya dan tidak akan keluar dari pendapat mereka. Landasan berpikirnya adalah karena sahabat Nabi merupakan generasi yang paling mengerti tentang syariat dan maksud-maksudnya. Sementara itu, Imam Malik amat menjunjung tinggi otoritas amalan ahli Madinah, yakni praktek yang hidup di kalangan ahli (penduduk) Madinah. Hal ini tidak lain didasarkan pada anggapan bahwa Madinah adalah kota Nabi, yang telah mewarisi tradisi Nabi secara lengkap dan orisinil.
Istish-hab (kontinuitas) merupakan dalil hukum yang didasarkan atas prinsip bahwa dalam Islam, segala hal pasti ada hukumnya. Hal ini tidak lain karena syariat Islam bersifat sempurna dan final, semenjak wahyu telah turun secara tuntas. Konsep bara-at al-dzimmah dan al-ibahat al-ashliyyat dalam aspek muamalah, al-tahrim wa al-tauqif al-ashliyyat dalam aspek ta’abbud, merupakan beberapa bentuk istish-hab.Di samping itu, istish-hab juga dipakai dalam pengertiannya yang mendasar pada segenap relung-relung syariat.
Syar’u man qablana (syariat sebelum kita, syariat Nabi-nabi terdahulu) juga merupakan dalil hukum yang diperselisihkan. Bagi yang mengakui otoritas dalil hukum ini, syariat umat terdahulu masih absah berlaku hingga kini sepanjang tidak ada nash yang menghapuskan atau mengubahnya. Dalam hal ini, otoritasnya tidak memerlukan adanya penetapan ulang dalam syari’at sekarang (syari’at Muhammad). Sementara bagi yang menentang otoritas syar’u man qablana, syariat Muhammad telah menghapus seluruh syariat umat terdahulu, kecuali kalau ditetapkan lagi dengan nash.
Al-‘urf atau al-‘adat, yang berarti kebiasaan atau tradisi yang hidup dalam masyarakat, bisa dibedakan atas dua : al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang selaras dengan syariat) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang bertentangan dengan syariat). Al-‘urf, dalam pengertian al-‘urf al-shahih, oleh sebagian besar ulama dianggap absah sebagai dalil hukum. Oleh karena itu, terdapat kaidah fiqh asasi yang berbunyi al-‘adat muhakkamat.
Mengenai tradisi bahasa (‘urf lughawiy) yang fasid (khathi’), Imam Hasan Al-Banna mengemukakan dalam Ushul ‘Isyrun bahwa ‘urf yang demikian itu tidak bisa mengubah hakikat teks-teks syar’i. Ibrah hendaknya diambil dari esensi dan bukan dari teks-teks yang fasid tersebut.
Kalau kita amati, betapa banyak dalil-dalil hukum yang masih menjadi bahan perdebatan diantara para ulama. Oleh karena itu, studi dan penelitian yang intensif terhadap dalil-dalil hukum, dan ushul fiqh pada umumnya, merupakan tugas berat yang harus digarap. Ushul fiqh hanyalah suatu bentuk sistemasisasi prinsip-prinsip syariat, yang berarti merupakan produk pemikiran manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk direkonstruksi. Dari sekian banyaknya dalil hukum Islam yang telah diuraikan secara singkat diatas tadi maka keempat dalil hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) yaitu diantaranya:
B. Al-Qur`an
1. Pengertian Al-Qur`an
Sumber hukum yang seklaigus sebagai dalil hukum yang utama dan pertama terdapat dalam wahyu Allah yang diturnunkan kepada nabi Muhammad Saw dikenal dengan nama:
1. Al-Qur`an artinya bacaan mulia, sebagaimana disebutkan dalam QD. Al-Qiyamah ayat 17, 18; QS. Al-Isra` ayat 88, QS. Al-Baqarah ayat 85, dan seterusnya.
2. Al-Kitab atau Kitabullah artinya kitab suci, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 2, QS. al-An`am ayat 114
3. Al-Furqon, yang artinya pembeda yang membedakan antara yang benar dengan yang batil, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Furqon ayat 1
4. Al-Dzikir, artinya peringatan, sebagaimana disebutkan antara lain dalam QS. al-Hijr ayat 9. Menuut para ulama nama lain terhadap al-Qur`an al-Mubin, al-Kalam, dan An-Nur.
Para ulama memberikan definisi tentang al-Qur`an sebagai kalamullah (firman Allah)yang mengandung mu`jizat diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara mutawatir, terdapat dalam mushaf dan membacanya merupakan ibadah yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.
Adapun pengertian al-Qur`an yang lain yaitu secara bahasa berarti “bacaan”. Di dalam Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” dalam arti demikian sebagai tersaebut dalam ayat 17, 18 surat al-Qiyamah. Sesungguhnya mengumpulkan Al-Quran (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami, jika Kami telah membacakannya hendaklah kamu ikuti bacaannya.”
Kemudian dipakai kata “Quran” itu untuk al-Quran yang hingga sekarang ini. Sedangkan pengertian al-Qur’an secara terminologis banyak dikemukakan oleh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik disiplin ilmu bahasa, ilmu kalam, ushul fiqh, dan sebagainya dengan redaksi yang berbeda-beda. Perbedaan ini sudah tentu disebabkan oleh karena Al-Qur’an mempunyai kekhususan-kekhususan, sehingga penekanan dari masing-masing ulama ketika mendefinisikan al-Qur’an berdasarkan kapasitas keilmuan yang dimiliki, karena hendak mencari kekhasan al-Qur’an tersebut.
Menurut Dr. Subhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur’an, bahwa definisi al-Qur’an yang disepakati oleh kalangan ahli bahasa, ahli kalam, ahli Fiqh, ushul fiqh, adalah sebagai berikut:
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan ,ibadah”
Sementara itu al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur`an dengan: “Lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas. Sedangkan Manna’ al-Qatthan dalam Mabahis fi Ulum al-Qur’an mendefinisikan al-Qur’an yaitu kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang membacanya merupakan suatu ibadah."
Nampaknya dari berbagai definisi al-Qur’an sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kalau dilihat dari segi redaksinya, maka definisi tersebut ada yang panjang dan ada pula yang pendek. Semakin banyak sifat-sifat al-Qur’an yang diungkapkan, maka semakin panjang rumusan definisi al-Qur’an itu, demikian juga sebaliknya. Bahkan ada yang merumuskan definisi al-Qur’an dengan kalimat yang sangat pendek dengan mengungkapkan satu di antara sekian banyak keistimewaan al-Qur’an, bahwa “al-Qur’an adalah kalam Allah yang berfungsi sebagai mu’jizat”.
Dengan demikian, kalau definisi tentang al-Qur’an itu hendak dirumuskan kembali dengan melihat sifat-sifat al-Qur’an tersebut, maka rumusan definisi al-Qur’an yang paling jami’ dan mani’ adalah sebagaimana yang dirumuskan oleh Manna al-Qaththan di atas
2. Garis Besar Isi Al-Qur`an
a. tauhid kepercayaan kepada Allah swt, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasul, hari kiamat/kemudian, serta qada dan qadar yang baik dan buruk.
b. Tuntunan ibadah sebagai perubahan yang menghidupkan jiwa tauhid.
c. Janji dan ancaman: al-Qur'an menjanjikan pahala bagi orang yang menerima dan mengamalkan isi al-Qur'an dan mengancam mereka yang mengingkarinya dengan siksa
d. Hukum : yang dihajati pergaulan hidup untuk kebahagiaan dunia akhirat.
e. Inti sejarah, orang-orang yang tunduk kepada Allah swt, yaitu orang-orang yang shalih seperti nabi-nabi, dan rasul-rasul juga sejarah mereka yang mengingkari agama Allah Swt dan hukum-hukumnya. Maksud sejarah ialah sebagai tuntunan dan tauladan bagi orang-orang yang hendak mencari kebahagiaan dan meliputi tuntunan akhlak
3. Dasar Hukum Al-Qur`an
Al-Qur'an diturunkan Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Dalam mengadakan perintah dan larangan, al-Qur'an selalu berpedoman kepada dua hal yaitu: (1) tidak membedakan, dan (2) berangsur-angsur
4. Kehujjahan Al-Qur`an
Umat Islam sepakat bahwa al-Qur`an adalah sumber hukum dalil hukum utama yang diturunkan oleh Allah Swt, dan wajib diamalkan oleh manusia. Seorang mujtahid tidk dibenarkan menjadikan dalil sebagai hujjah (landasan hukum)sebelum ia membalas dan meneliti ayat al-Qur`an. Apabila suatu masalah yang ia cari tidak ditemukan dalam al-Qur`an, maka barulah ia mempergunakan dalil lain.
Beberapa alasan tentang kewajiban berhujjad dengan al-Qur`an adalah:
a. Al-Qur`an diturunkan kepada Rasulullah Saw, diketahui secara mutawatir, hal ini memberi keyakinan bahwa al-Qur`an itu benar dating dari Allah Swt, melalui malaikat Jibril kepada Muhammad Saw, yang dikenal dengan orang yang paling dipercaya.
b. Ayat-ayat al-Qur`an menyatakan bahwa al-Qur`an itu dating dari Allah Swt.
c. Kemu`jizatan al-Qur`an merupakan dalil akan kebenaran bahwa al-Qur`an itu
C. Sunnah
1. Pengertian Sunnah
Sumber hukum Islam yang kedua setelah al-Qur`an yaitu sunnah, Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
Kedudukanya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar menjelaskan hukum Al-Qur’an tidak diragukan lagi, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Dalam kedudukannya sebagai sumber yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar yang tersebut dalam Al-Qur’an dipertanyakan oleh ulama Ushul Fiqh. Karena ini disebabkan oleh keterangan Allah sendiri bahwa Al-Qur’an atau agama sudah sempurna karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sunnah.
Pengertian sunnah secara bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkannya, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Adapun pengertian sunnah secara istilah,dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah Saw, sebagai berikut:


Artinya:
"Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang sesudahnya yang mengamalkannya." (H.R. Muslim)
Adapun pengertian sunnah secara istilah (dalam istilah syari`ah), sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu;
1. Sunnah menuurt ilmu ushul fiqih, yaitu segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum".
2. Sunah menurut ilmu fiqih, disamping pengertian yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukun taklifi, yang mengandung pengertian"perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa(tidak berdosa)".
3. Istilah sunnah menuurt ilmu hadits, biasanya digunakan hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw jadi sunah menuurt ilmu hadits adalah segala perbuatan, perkataan maupun ketetapan Nabi.
2. Macam-macam Sunnah
Berdasatkan definisi sunnah yang dikemukakan para ulama ushul fiqih di atas, Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam (mashadirnal-ahkam)dan dalil hukum Islam kedua (adillat al-ahkam), itu ada tiga macam, yaitu:
a. Sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat disimpulkan sebagai perintah larangan melalui contoh teladan beliau seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.
b. Sunnah Qauliyah, yaitu perkataan atau ucapan dari Rasul yang didengar oleh dan disampaikan seseorang atau beberapa sahabat kepada orang lain.
c. Sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang perkataan maupun perbuatan, atau sepengetahuan Nabi Saw; tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegah dari nabi Nabisaw ini, menunjukan persetujuan Nabi Saw (taqrir), terhadap perbuatan sahabat tersebut . Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat. Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan air, sedangkan waktu shalat masih ada, salah seorang dari keduanya kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata: engkau mendapat pahala dua kali.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
b. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
c. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
4. Kehujjahan Sunnah
Peran As Sunnah dalam syariah menjadi sumber hukum kedua setelah al –Qur`an. Dengan demikian As Sunnah wajib dijadikan dalil syar’i sama dengan al- Qur`an dikarenakan adanya dalil-dalil yang tegas menunjuk hal dimaksud.
Dalil-dalil al-Qur`an dengan sharih, gamblang, menegaskan bahwa Sunnah adalah wahyu sebagaimana al-Qur`an. Adapula dalil yang memerintahkan taat dan tunduk mengikuti as sunnah. Ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Surah An Nisa’: 59.
                              

Artinya"
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".

3. Surah Muhammad: 33
          
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu".

D. I j m a`
1. Pengertian Ijma`
Secara etimologis ijma` berarti n"keepakatan"atau konsesus". Sedangkan secara terminologis ijma` adalah" kesepakatan para mujtahid dari Umat Muhammad Saw, pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw, tentang suatu hukum syara"
Secara terminologi ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan para ulama ushul fiqh. Ibrahim ibnu Siyar al Nazzam, seorang tokoh mu’tazilah, merumuskan ijma’ dengan “setiap pendapat yang didukung oleh hujjah sekalipun pendapat itu muncul dari seseorang”, akan tetapi rumusan al Nazzam ini tidak sejalan dengan pengertian etimologi diatas.
2. Macam-macam Ijma`
Dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan, ulama membagi ijma` menjadi dua bentuk, yaitu:
a. Ijma` Sharih
Ijma` sharih adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Kesepakatan itu dikemukakan dalam siding (pertemuan)setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya terhadap masalah yang dibhas. Ijma` seperti ini, menurut jumhur ulamabisa dijadikan hujjah (landasan hukum)
b. Ijma` Sukuti
Ijma` sukuti adalah pendapat sebagian mujtahid pada satu masa tentang hukum suatu masalah, sedangkan sebagian mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang dikemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. Terhadap ijma` sukuti ini terdapat perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan apakah kesepakatan yang seperti itu dikatakan ijma` dan bias dijadikan hujjah. Jumhur (sebagian besar)ulama berpendapat bahwa ijma`, dan tidak dapat dijadikan hujjah (landasan hukum).
3. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa rukun ijma’ itu ada lima:
a. Yang terikat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid, apabila ada di antara mujtahid ada yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, maka hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan ijma’.
b. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan pandangannya.
d. Hukum yang disepakati adalah hukum syara’ yang bersifat ktual dan
e. tidak ada hukumnya secara rinci dalam al-Qur’an
4. Kemungkinan terjadinya Ijma’
Pada masa Rasulullah SAW, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW. Jika mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Rasululah adakalanya langsung menjawabnya, adakalanya menunggu ayat al-Qur'an turunkan Allah SWT. Karena itu kaum muslimin masih satu, belum nampak perbedaan pendapat yang menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian yang mereka alami.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum muslimin kehilangan tempat bertanya, namun mereka telah mempunyai pegangan yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits. Jika ada kejadian atau peristiwa yang memerlukan penetapan hukum, mereka berijtihad, tetapi belum ada bukti yang nyata bahwa mereka telah berijma'. Seandainya ada ijma' itu, kemungkinan terjadi pada masa khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Disamping itu daerah Islam semakin luas, sejak dari Asia Tengah (Rusia Selatan sekarang) sampai kebagian tengah benua Afrika, sejak ujung Afrika Barat sampai Indonesia, Tiongkok Selatan, Semenanjung Balkan dan Asia Kecil. Karena itu amat sukar melakukan ijma' dalam keadaan dan luas daerah yang demikian.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
2. Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman; dan c. Setelah masa enam tahun kedua pemerintahan Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam.
undang-undang perkawinan khusus bagi umat Islam. Undang-undang itu ditetapkan oleh pemerintah dan parlemen India setelah musyawarah dengan para mujtahid kaum muslimin yang ada di India. Jika persepakatan para mujtahid India itu dapat dikatakan sebagai ijma', maka ada kemungkinan terjadinya ijma' pada masa setelah Khalifah Utsman sampai sekarang sekalipun ijma' itu hanya dapat dikatakan sebagai ijma' lokal.
5. Beberapa contoh Ijma`
Beberapa contoh masalah yang sudah disepakati hukumnya oleh para ulama, artinya mereka sudah ijma` yaitu:
a. bagian dua orang anak perempuan sebagai ahli waris, sebesar 2/3 bagian
b. kesaksian seseorang terhadap saudaranya, apabila ia adil, adalah boleh.
c. Lemak babi adalah haram, diqiyakan dengan haramnya daging babi.

E. Q i y a s
1. Pengertian Qiyas
Dasar hukum yang keempat ialah Qiyas. Qiyas dipergunakan untuk memantapkan hukum suatu masalah jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, qiyas secara bahasa ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain sedangkan menuurt istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnnya di dalam nash (al-Qur`an atau Sunnah) dengan sesuatu yang sudah disebutkan hukumnnya oleh nash, disebabkan adanya kesatuan `illat hukum antara keduanya.
Adapun qiyas menurut pandangan ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
               
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
2. Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
a. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
b. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
c. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
d. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
3. Beberapa contoh Qiyas
Beberapa contoh penetapan hukum berdasakan qiyas antara lain:
a. mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan membakar harta anak yatim dengan memakan harta anak yatim secara tidak benar
b. mengqiyaskan (menyamakan) hukum mlarangan minum nabidz(minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur)kepada khamar yang dilarang oleh nash, illatnya kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan kuat kepada yang meminumnya.
c. Mengqiyaskan (menyamakan)hukum larangan melakukan setiap perbuatan apa saja, dengan larangan perbuatan melakukan jual beli ketika waktu panggilan shalat.














BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1. Ulama’ sepakat bahwa sumber- sumber hukum islam yang bisa kita jadikan hujjah adalah Al-qur’an ,hadis ,ijma’ dan qiyas. Alasannya karena al-qur’an dan hadis yang menjadi sumber hukum islam yang utama tidak ada lagi setelah rasullullah SAW. wafat padahal sejalan dengan perioderisasi manusia yang semakin berkembang maka permasalahan barupun ikut-ikut berkembang sehingga ulama’ melakukan ijtihad yang disepakati oleh sahabat sebagai sumber hukum sehingga menjadi ijma’ dan mengqiyaskan hukum yang yang tidak ada dalam al-quran ,hadis dan ijma’ untuk menyelesaikan hukum permasalahan baru.
2. Al-Qur`an merupakan umber atau dalil hukum yang utama karena al-Qur`an berasal dari Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umatnya melalui Malaikat Jibril
3. Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.
4. Sedangkan ijma` dan qiyas juga adalah sebagai dalil hukum yang berasal dari para ulama (jumhur ulma) atas dasar kesepakatan hasil dari para mujtahidnya untuk memantapkan dasar-dasar hukum yang belum ada pada al-Qur`an dan hadits.



















DAFTAR PUSTAKA

Abudin Nata, Prof, Dr, MA, Metedologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009,

Afif, Abdul whab, H.A, Prof, MA, Sebab-Sebab Ikhtilaf dalam Madzhab Fiqhiyah, Serang: MUI Serang, 1996,

Sulaiman Rasjid, H, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009, cet. ke-44
Suparman Usman, Prof, Dr, S.H, Hukum Islam Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pertama, 2002, cet. ke-2.

Rahmat Syafe`I, Prof. Dr. , Fiqih Islam, Prof, Dr, MA, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007, cet. ke- 3.

Berpikir dan Berjiwa Besar


Manusia adalah makhluk yang palimg sempurna, sebagian orang besar tahu kalimat ini, akan tetapi sebagian besar orang juga TIDAK TAHU cara menjadi sempurna,. Mengapa demikian? Allah menjadikan manusia yang sempurna karena memiliki akal dan fikiran berbeda dengan makhluk yang lainnya, dengan akal dan fikiranlah manusia dapat berbuat sesuka hatinya, bahkan lebih bodoh lagi hidup tidak dengan akal fikiran yang ada hanya nafsu belaka yang dijadikan sebagai landasan dalam hidupnya tidak beraturan melanggar norma yang ditentuka berbuat seenaknya saja tidak memikirkan bahkan mereka lebih hina dari binatang. Allah sengaja memberikan kelebihan kepada kita untuk memikirkan dan menjalankan roda kehidupan sesuai dengan batas dan koridor Islam, hidup bukan hanya untuk difikirkan tapi bagaimana kita bias mencapai kehidupan yang sempurna kehidupan yang di dambakan sebagai jalan kita menuju akhirat.
Keberhasilan seseorang dalam mencapai kebahagian hidup tergantung bagaimana amal usahanya apakah ia bekerja keras atau malas-malas Allah akan memberikan hasilnya terhgantung kesungguhan orang tersebut.

Percaya Anda dapat berhasil, maka Anda pun akan benar-benar berhasil, Keberhasilan seseorang ditentukan oleh besarnya cara berpikir seseorang, Anda tidak dapat memindahkan gunung hanya dengan “mengangankannya”, perlu kepercayaan yang kuat. Cara terbaik untuk memperoleh keberhasilan adalah dengan percaya bahwa anda dapat berhasil, Kesangsian berjalan bersama-sama dengan kegagalan, Kesangsian adalah kekuatan negatif, Ketika pikiran tidak percaya atau ragu, pikiran tersebut menarik “dalih” untuk menyokong ketidakpercayaan itu. Anda ingin berhasil dalam meraih prestasi. Prestasi tidak akan diperoleh untuk orang-orang yang malas, tetapi prestasi akan tercapai bila anda semangat rajin dalam belajar, tentunya ini tidak mudah, maka anda niatkan dalam hati anda bahwa anda mampu untuk memperoleh prestasi tentunya harus dengan usaha anda sendiri yaitu rajin belajar
Keraguan, ketidakpercayaan, keinginan bawah sadar untuk gagal, perasaan tidak benar-benar ingin berhasil, bertanggung jawab atas sebagian besar kegagalan. Berpikir ragu maka Anda gagal. Berpikir menang maka Anda berhasil. Kepercayaan diri berhubungan dengan rasa berharga dalam diri manusia. Setiap orang adalah produk dari pikirannya. Percayalah akan hal-hal yang besar.

Luncurkan serangan sukses dengan kepercayaan jujur dan tulus bahwa anda dapat berhasil. Percayalah akan kebesaran dan tumbuhlah dalam kebesaran.
Langkah pertama (dasar) menuju keberhasilan adalah percayalah kepada diri sendiri, percayalah bahwa Anda dapat berhasil.


Tiga Pedoman untuk mendapatkan dan mengokohkan kekuatan kepercayaan.

1. Berpikir sukses, jangan berpikir gagal.
2. Ingatkan diri Anda secara teratur bahwa Anda lebih baik dari yang anda kira.Orang sukses hanyalah orang biasa yang telah mengembangkan kepercayaan kepada diri sendiri dan apa yang mereka kerjakan. Jangan pernah mengakui keraguan anda atau mengesankan kepada orang lain bahwa anda bukan orang kelas satu.
3. Percaya besar, besar kecilnya keberhasilan anda ditentukan oleh besar kecilnya kepercayaan anda

Prestasi dan Prestise

Prestasi dan Prestise


Keberhasilan anak memang menjadi tolak ukur bagi keberhasilan orang tua. Walaupun mungkin ada sebagian orang tidak setuju dengan ungkapan ini setidaknya ada juga sebagian masyarakat yang menganggap ini benar. Hal ini kemudian berkembang di kehidupan masyarakat sehingga membuat para orang tua untuk berlomba-lomba melakukan berbagai macam cara agar anaknya lebih pintar dibanding anak lain yang sebaya.

Apabila orang tua mengutamakan prestise dan mencapai hal itu dengan menggunakan resource yang dimiliki oleh anak maka yang terjadi adalah adanya pemaksaan kepada anak. Ingat bahwa motivasi yang paling kuat untuk mendorong anak belajar adalah motivasi yang timbul dari dalam (motivasi intrinsik) Bila kita mengutamakan prestise maka yang cenderung kita lakukan adalah memaksanya untuk belajar agar bisa mencapai sesuatu yang kita harapkan.

Hal ini tentunya membuat anak merasa tidak bebas dan tidak semangat lagi untuk melakukan tugasnya yaitu belajar. Namun demikian memang untuk beberapa hal seperti menjadi juara kelas dan mencapai nilai terbaik pada salah satu mata pelajaran yang terkenal sulit merupakan salah satu prestasi yang harus di capai siswa.
Dalam hal ini sebaiknya ibu mengutamakan prestasi yang akan dicapai anak. Bila kemudian anak mendapatkan juara kelas maka prestise yang ibu dapat hanyalah sebatas bonus akan apa yang telah ibu lakukan untuk membimbing anak belajar. Bila ibu mengutamakan prestise maka ketika anak tidak berhasil mencapai apa yang ibu standarkan, si anak akan merasa bersalah dan tidak mampu untuk mencapai apa yang diinginkan orang tuanya.

Pencapaian prestise hanya akan membuat anak depresi. Bila mungkin sebaiknya anak diberikan motivasi ringan seperti hadiah (reward) yang akan ibu berikan bila si anak juara kelas, mendapat nilai tertentu dalam mata pelajaran atau mendapatkan peningkatan nilai yang cukup baik antara raport tahun lalu dan raport tahun bersangkutan.

“Minat dan bakat tidak selalu dibawa sejak lahir tetapi justru diperoleh dari lingkungan dan proses pembeajaran” oleh karena itu, minat dan bakat tidak dapat lepas dari kesempatan anak untuk mengalami sendiri pada suatu bidang atau kegiatan yang tersedia.